Tinjauan Hukum Pidana dalam Kasus Silariang


Di Sulawesi Selatan sejak dari dulu hingga kini, kasus silariang (kawin lari) masih sering terjadi. Walaupun sanksinya berada di ujung badik bagi sipelaku silariang, namun masyarakat Sulsel khususnya bagi suku Makassar, namun sanksi itu, tak dihiraukan. Selama cinta  bersemi bagi kedua belah pihak, sanksi mautpun akan tetap dihadapi. Dalam kasus silariang ini tidak jarang, bagi si pelaku  dihadang oleh Tumasiri’ (dari pihak keluarga perempuan yang kadang berakhir dengan penganiayaan atau bahkan pembunuhan bagi sipelaku silariang yang disebut Tumanyala atau keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’.
Bagi suku Bugis Makassar, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut masalah siiri, dan disisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum pidana. Kedua hukum yang hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus dilariang saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum adat  mengatakan, membunuh  si pelaku silariang dengan alasan siiri’ tidak bisa dikenakan hukuman, karena ia  dianggap sebagai pahlawan yang  membela siri’nya. Disisi lain, dalam hukum pidana , tidak menerima alasan  kalau ada terjadi kasus pembunuhan termasuk  alasan siri’, dan pelakuya bisa dikenakan  pasal pembunuhan atau penganiiayaan dalam KUHP. Lalu bagaimana tinjauan hukum pidana terhadap adanya pembunuhan atau penganiayaan dalam kasus silariang?
Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara  sepasang laki-laki dan perempuan dan keduanya sepakat untuk melakukan kawin lari. Jadi disini yang dimaksud laki-laki dan permpuan, tidak terbatas pada kaum pemuda dan pemudi yang belum beristri, tetapi juga  berlaku bagi   laki-laki dan perempuan yang sudah kawin. Apakah mereka kawin lari sama-sama  anak muda atau kedunya sudah kawin atau yang satu sudah kawin yang satu lagi belum beristri atau suami.
Menurut Dr. TH. Chabot dalam bukunya Verwatenschap Stnd en Sexse in Suid Celebes mengtakan, Perkawinan Silariang adalah apabila gadis/perempuan dengan pemuda / laki-laki setelah lari bersama-sama..
Pengertian Silariang ini diperjelas oleh budyawan Suilsel H. Moh Nasir Said   mengatakan : Perkawinan Silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah pemuda / laki-lki dengan gadis / perempuan lari bersama-sama atas kehendak sendiri-sendiri. (H. Moh Nasir Sair, Siri’ dalam Hubungnnya dengan Perkawinan Adat Mangkasara, P. Sejahtera, makaar, 1962, hal.26)
Hal senada juga disampaikan oleh Bertlin dalam bukunya Huwelijk en Huwelijkenreht in Zuid Celebes mengatakan; Silariang adalah apabila gadis/perempuan dengan laki-laki setelah lari bersama atas kehendak bersama.


Dari pengertian tersebut diatas jelas bahwa  kawin silariang itu apabila memenuhi syarat yakni :
1.    Dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan
2.    Sepakat untuk lari bersama untuk menikah
3.    Menimbulkan siri’ bagi keluarganya dan dapat dikenakan sanksi
Dari unsur tersebut  diatas  sangat jelas, bahwa kawin silariang itu dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Jadi disini tidak terbatas pada bujang  dan gadis, tetapi juga bagi  laki-laki yang sudah beristri  atau perempuan yang sudah bersuami bisa melakukan silariang, baik  yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Bisa juga sama-sama  belum menikah alias  bujan atau gadis. Bisa juga  bersilang  misalnya laki-laki yang sudah beristri dengan  gadis atau bujang dengan orang yang sudah beristri..
Perkawinan silariang ini  dilakukan  atas kata sepakat dari kedua pelaku silariang, yakni dari pihak laki-laki  dan perempuan yang akan kawin lari, Mereka sepakat lari bersama menuju suatu daerah untuk menikah di depan penghulu. Biasanya daerah yang ditujuh agak jauh dari tempat tinggal semula, bisa juga menyeberang laut, supaya jauh dari Tumsiri’nya (keluarga pihak perempuan)
Penghulu atau imam yang akan menikahkan kedua pasangan ini, terlebih dahulu menghubungi  pihak keluarganya, terutama kedua orang tuanya untuk dimintakan persetujuan atau  Rella, Bilamana tidak ada persetujuan dari orang tua,  cukup keluarga dekatnya . Bila tak ada rella, maka Imam  dengan melihat kondisi yang ada, tetap menikahkan kedua pasangan ini menjadi suami istri. .Imam khawatir, kalau tidak cepat dinakahkan, akan terjadi persinahan dari kedua pasangan ini..
Pada kawin silariang ini pula, bagi suku Makassar jelas  menimbulkan siri’ utamanya bagi pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’. Dengan alasan Siri’ , maka pihak keluarga perempuan oleh hukum adat Makassar diwajibkan baginya untuk menegakkan siri, bahkan tidak sedikit diantaranya penegakan siri’ ini berakhir dengan  pembunuhan pada pelaku silariang yang disebut Tumannyala.
Pada zaman dulu, kala  komunikasi belum secanggih sekarang ini, menurut budayawan Gowa H. Halik Mone, anak gadis yang ada  dalam  rumah tangga itu bagaikan mahkota yang harus dijaga keahliannya. Ibarat telur, kalau pecah sedikit maka tidak ada lagi harganya. Untuk itu, orang tua maupun keluarga dari gadis tersebut tidak menginginkan anak  gadisnya dipermainkan orang.
Selanjutnya dikatakan, seorang gadis, sangat rawan dengan siri’. Pada masa dulu, bila seorang pemuda  melihat aurat gadis,  maka gadis itu  malu.  Biasanya gadis itu  mandi di sumur, tiba-tiba aa pemuda yang lewat, dan secara tidak sengaja kain yang dipakai gadis itu melorot hingga kelihatan, maka peristiwa itu bagi gadis dianggap siri’. Untuk menutupi rasa malu, maka gadis  itu minta dinikahkan. Kalau orang tua tak setuju, itulah terjadi kawin silariang. 
Orang tua menginginkan, kalau gadis atau pemuda itu tiba  masanya untuk kawin, maka mereka bisa  melkukan prosesi perkawinan yang dimulai dengan acara melamar (ajjangang-jangang). Kalau lamaran diterima, tinggal ditentukan kapan pestanya. Namun yang menjadi masalah, kalau orang tua dari pihak perempuan tidak menyetujui laki-laki yang dicintai anak gadisnya. Orang tua tak menyetujui mungkin karena perilaku  laki-laki itu tidak baik, misalnya sukaa mencuri, pemabuk, pemain perempuan dan sebagainya,m atau karena perbedaan strata sosial atau faktor ekonomi , mungkin karena miskin, sehingga lamaran ditolak.
Kalau lamaran sudah ditolak, lalu kedua sejoli ini ingin sehidup semati, maka jalan yang ditempuh adalah  silariang. Silariang ini dilakukan oleh kedua pasangan ini sebagai protes atas ketidak setujuan orang tuanya pada pemuda pilihannya.
Gadis atau perempuan  dengan pemuda atau laki-laki yang mau kawin lari ini  harus melakukan siasat. Agar tidak diketahui oleh keluarganya. Siasat itu  antara lain, perempuan itu biasanya mencuci pakaian di sungai. Disaat hendak ke sungai, maka pakaian yang akandibawa itu disembunyikan disela-sela semak belukar atau di rumah  sahabatnya  yang dipercaya tidak akan membuka rahasia.
Setelah semua sudah siap, maka laki-laki yang akan menjemput perempuan tersebut, biasanya dilakukan pada palam hari, sebab kalau siang khawatir ketahuan, banyak orang yang lihat.  Kedatangan laki-laki untuk m,enjemput perempuan, harus dengan kode tertentu, misalnya memukul benda-benda atau tepuk tangan atau kode apapun sesuai  kesepakatan mereka.
Kalau laki-laki itu sudah ada disekitar rumah perempuan, maka perempuan itu perlhan-lahan melangkah  ke pintu belakang, lalu turun melalui tangga. Setelah keduanya ketemu, barulah keduanya bergeras mengambil barang-barang yang disimpan di semak-semak atau di rumah sahabatnya. Setelah semua persiapan sudah ada, maka keduanya lari ke suatu daerah menuju rumah penghulu atau imam dengan tujuan untuk menikah sebagai suami isteri.
Biasanya laki-laki dan perempuan yang akan lari, mengajak teman-temannya untuk mengantar ke rumah imam. Bantuan pada rekan-rekannya itu dimaksudkan, karena perjalanan pada malam hari ini sangat  rawan, terutama bila diketahui keluarga  dari pihak perempuan, maka bisa saja celaka mati di ujung badik. Kalau ada temannya, bisa saja membantu  mereka disaat  menemui rintangan.
Keesokan harinya, setelah peristiwa silariang, maka orang tua gadis itu mencari anak gadisnya, kemana gerangan. Setelah dicari informasi, terdengar berita dari kampung seberang, bahwa anak gadisnya itu  melakukan silariang dengan laki-laki pilihannya.
Setelah mengetahui bahwa anak gadisnya itu  melakukan kawin silariang, maka orang tua gadis itu melakukan  abburitta atau memberitahu pada sanak keluarganya bahwa anak gadisnya itu melakukan silariang atau A’lampa kodi (pergi meninggalkan rasa malu). Pihak keluarga yang sudah mendapat berita itu, juga selalu siap untuk mengambil tindakan penegakan siri’ bilamana  menemukan  kedua pelaku yang dianggap mempermalukannya itu. Pihak keluarga perempuan  yang mengetahui itu, tidaklah  sengaja mencari kedua pelaku sampai ketemu, akan tetapi  bila secara kebetulan ketemu di sebuah jalan, lantas laki-laki itu tidak lari, maka ia dianggap laki-laki tidak tahu diri dan pihak keluarga perempuan bisa bertindak untuk memburuh pelaku silariang tersebut. Biasanya kalau laki-laki tidak cepat minta perlindungan, terjadi peristiwa berdarah.

Nilariang
Sulain itu,  ada juga satu jenis perkawinan yang dilarang oleh adat Makassar yang disebut   kawin  Nilariang.  Kalau kasus Silariang ini dilakukan atas kata sepakat bagi kedua pelaku silariang untuk lari bersama untuk  kawin, maka  dalam kasus Nilariang ini, kehendak untuk kawin lari, datangnya dari pihak laki-laki.  Kalau kehendak kawin lari datangnya dari pihak laki-laki, maka itu berarti,  perempuan yang akan dilarikan itu  dilakukan secara paksa atau tipu muslihat.
Ini sering terjadi, kalau laki-laki itu sangat mencintai  gadis yang diinginkan, kemudian  setelah  melamar gadis itu,  orang tuanya menolk atau gadis itu sendiri yang menolak  dengan berbagai alasan. Biasanya, disertai dengan kata-kata yang kurang enak di dengar oleh pihak laki-laki, sehingga laki-laki yang melamarnmya itu merasa sakit hati. Sakit hati  laki-laki itu, membuat ia dendam.  Laki-laki itu mau balas dendam dengan berbagai cara, anatara lain menculik gadis itu, kemudian membawanya ke sebuah tempat,  lalu memperkosanya.
Atau juga gadis itu,  saat diculik, ia berada dalam ancaman. Bilamana tak mau mengikuti kemauan laki-laki itu, ia diancam dibunuh atau diapakan, sehingga  gadis yang diculik itu, mau menuruti apa saja yang menjadi kemauannya, termasuk dinikahkan dengannya menjadi suami istri.
Ada pula yang dilakukan dengan cara tipu muslihat, yakni  gadis itu dijanjikan sesuatu, misalnya pekerjaan  atau hadiah, kemudioan dibawa ke suatu tempat. Di tempat yang sunyi dan sepi itulah,  gadis itu dipaksa menuruti kemauan laki-laki itu,  kalau menolak, laki-laki itu memperkosanya hingga hamil.
Kasus semacam ini banyak terjadi, hingga membuat  gadis itu jadi pelacur di tempat prostitusi. Merka pertamanya diiiming-imimng sebuah pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tapi apa daya, ternyata hanya tipu muslihat dan tidak ada kekuatan bagi   seorang wanita untuk melakukan perlawanan, mereka poasrah diapakan saja, termasuk berhubungan badan. Bila sudah terlanjur, maka, perempuan itu akhirnya melacuran diri, seperti yang banyak terjadi sekarang ini.* 

Erang Kale
Jenis lainnya dari   silariang adalah, ada yang dinamakan kawin Nilari atau Erang Kale. Pada kasus kawin  Erang kale atau Nilari ini  datangnya dari pihak perempuan. Perempuan itu lari ke rumah imam, lalu menunjuk  laki-laki yang pernah menggaulinya.  Dengan demikian, laki-laki yang ditunjuk itu harus bertanggung jawab atas perbutannya untuk mengawini perempuan yang menunjuknya.
Perempuan seperti ini, mereka biasanya larut dalam pergaulan bebas. Ia bnyak berhubungan laki-laki satu dengan laki-laki lainnya. Disaat berduaan, kadang  setan  menggodanya untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, mka terjadilah perbuatan  seperti layaknya suami istri.
Setelah  perempuan itu hamil, maka laki-laki yang pernah diajaknya berhubungan,  sudah tidak nampak lagi. Mereka melarikan diri dan tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, sengakna perempuan yang pernbah digaulinya  sedang hamil dan berada dalam ancaman dari pihak keluarganya terutama orang tuanya.
Untuk menyelamatkan jiwanya, maka perempuan itu lari  ke rumah imam. Di rumah imam itulah, baru perempuan iotu menunjuk laki-laki yang pernah menggaulinya. Bila laki-laki itu ada, maka   dipaksa untuk menikahinya, kalau tidak mau, maka  tumasiiri’ (keluarga dari pihak perempuan) akan menindakinya , biasanya  membunuh laki-laki itu, karena dianggap mempermainkan  anak gadisnya hingga hamil dan itu dianggap siri’..
Biasanya , kalau tidak ada laki-laki yang mau bertanggung jawab, maka biasanya, ditunjuk  laki-laki yang mau secara sukarela mengawini  perempuan tersebut. Perkawinan seperti ini disebut Pattongkok siiri’ (penutup malu).

Anynyala Kalotoro
Ada juga  kasus yang dilakukan oleh  gadis atau perempun yang sudah beristri dengan jalan lari ke rumah imam tanpa  ada laki-laki yang ditunjuk untuk mengawininya. Wanita itu  mungkin sudah hamil, tapi ia tidak tahu laki-laki mana yang ditunjuk  bertanggung jawab. Disisi lain, pihak keluarganya juga mempertanyakan kehamilannya, dan siapa laki-laki yang menghamilinya. Untuk menyelamatkan jiwa perempuan itu, biasanya   ia lari ke rumah imam untuk minta perlindungan dan mencarikan solusinya.
Ini juga termasuk perempuan yang suka bergaul bebas. Mereka banyak berhubungan dengan laki-laki siapa saja yang dikenalnya, dan mereka menuruti ajakan laki-laki yang membawanya itu, termasuk berhubungan badan.  Laki-laki yang pernah berhubungan dengannya, bukan hanya satu, tetapi banyak, sehingga bila permpuan tu hamil, sulit menunjuk, siapa laki-laki yang bertanggung jawab. Untuk menyelamatkan jiwanya, perempuan malang itu lari ke rumah imam tanpa ada laki-laki yang membawanya.
Biasanya, pada kasus ini, kalaun tak ada laki-laki yang  mau bertanggung jawab, maka ditunjuk laki-laki mana saja yang mau menikahinya, setelah itu apakah mereka meneruskan parkawinan atau cerai, yang penting sudah ada   laki-laki yang mau bertannggung jawab. Peristiwa semacam ini disebut Annyala Kalotoro yakni perempuan  kawin lari tanpa  ada laki-laki yang bertanggung jawab.*

Salimara
Ada pula jenis perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat, karena terkait dengan adanya hubungan darah yang sangat dekat, misalnya antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya atau sesama saudara. Perkawinan seperti ini oleh orang Makassar disebut Salimara.
Kalau kasus silriang, nilariang atau Erang Kale masih ada jalan keluarnya, yakni setelah mereka dinikahkan, maka  persoalan sebagai suami istri sudah selesai. Tetapi pada kasus Salimara,  merupakan kasus yang tak berujung. Keduanya sulit dikawinkan, karena terikat hubungan darah yang terlalu dekat. Pada kasus Salimara ini, pada zaman dulu, biasanya kedua pelaku Salimara dikenakan hukuman niladung. Hukuman Niladung adalah  kedua pelaku itu diikat, lalu digantung batu sebagai pemberat, lalu keduanya ditenggelamkan ke tengah  laut atau sungai hingga mati.
Ada kepercayaan dari masyarakat Bugis Makassar tentang adanya kasus ini. Bila ada kasus Salimara terjadi di sebuah kampung, maka itu menurut kepercayaan masyarakat, nasib sial yang akan melanda  kampungnya dan seluruh warga dalam kampung itu akan merasakan akibatnya, misalnya  tanaman rusak, ikan pada menghilang di kali, hewan piaraan mati dan penyakit akan  melanda masyarakat. Dari pada seluruh masyarakat merasakan akibatnya, itulah sebabnya, masyarakat setempat harus melenyapkan kedua pelaku salimara tersebut dengan jalan  Niladung.
Kalau pelaku Salimara ini tidak dikenakan hukuman niladung, maka biasanya keluarga atau wrga setempat menganggap pelaku ini sudah mati atau Nimateangi. Kalau sudah ada sanksi Nimateangi, maka  baik hunungan kekeluargaan maupun  harta  warisan dari orang tuanya, sudah putus, karena dianggap pelaku ini sudah mati, walaupun kenyataannya masih ada.
Baik kasus Silariang, Nilariang,  Erang Kale atau Nil;ari, Annyala Kalotooro  dan Salimara, semuanya itu berkibat siri’ (malu) bagi pihak keluarga  perempuan. Siri’ disini bukan hanya diartikan sebagai malu-malu, tetapi  lebih mendalam lagi, siri’ merupakan harga diri, kehormatan atau martabat sebagai seorang manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah SWT.
Menurut budayawan Makassar, H,. Abd Haris Dg Ngasa, bahwa arti Siri’ itu merupakan akronim dari kata Sikedde Rinring (sedikit atau tipis dinding). Ini berarti martabat atau sifat antara   manusia dan binatang  dinding atau pembatasnya sangat tipis. Itulah sebabnya, ada orang yang wujudnya seperti manusia, tapi perbuatannya seperti binatang. Dikatakan perbuatannya seperti binatang, karena mereka   melakuklan hubungan badan tanpa nikah sama dengan binatang. Kata orang Batak Amanimanuk (kawin seperti ayam). Jadi disini, dinding pembatas antara sifat manusia dan binatang sangat tipis.
Dengan alasan Siri’ inilah, mak kasus membela harga diri bagi suku Makassar tidak bisa lagi ditolerir. Dalam hukum adat mengharuskan pada seseorang yang merasa dipermalukan (dari pihak keluarga perempuan) untuk menegakkan siiri’ keluargnya. Dan biasanya berakhir dengan  pembunuhan atau penganiayaan.
Keluarga dari pihak perempuan, setelah mendengar anaknya mel;akukan  silariang,  mereka akan menemui   kaluarganya untuk Appala Siri (minta bantuan pada keluarga untuk menegakkan siiri’nya). Pihak keluarga yang tahu bahwa  anak kemenakannya itu   silariang maka mereka  siap-siap mengambil tindakan, bilamana di suatu saat atau di suatu tempat ketemu orang yang melarikan anaknya, mereka   bisa menindakinya, baik dengan cara mengusir,  memukul atau tidak sedikit diantara pelaku silariang ini menemui ajalnya di ujung badik.
Sebaliknya bagi pelaku Silariang, mereka juga melakukan kawin Silariang, karena  beberapa alasan, antara lain, karena  pinangannya ditolak, mungkin ditolak karena  perbedaan strata sosial,  karena miskin atau karena punya  istri atau alasan lainnya. Mereka  melakukan kawin silariang dengan tekad yang bulat, yakni muntuk membentuk keluarga. Walaupun  mereka tahu, bahwa ini mengandung resiko yang sangat berat, yakni bisa saja kedua-duanya  celaka mati di ujung badik dari tangan pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’.
Walau rintangan  seberat itu menghadang, tapi bagi pelaku silariang yang disebut Tumannyala, tak gentar menghadapinya., apapun resikonya, termasuk  maut. Para pelaku silariang, khusunya  laki-laki, biasanya ia selalu siap sedia senjata tajam dengan menyelipkan badik di pinggangnya, kemanapun ia pergi. Ini dimaksud, bila mana suatu saat mendapat tantangan  maka ia melakukan pembelaan diri.
Walaupun sanksi yang ditetapkan pada pelaku Silariang atau Tumannyala ini sangat berat, akan tetapi  Hukum Adat Makassar juga memberikan batasan pada Tumasiri’ untuk mengambil tindakan pada Tumannyalanya. Para Tumasiri’ tidak bisa mengambil tindakan sembarangan. Mereka harus mengetahui di tempat mana yang boleh atau tidak boleh melakukan tindakan.
Hak Asyil Dalam Hukum Adat Makassar
Dalam hukum Adat Makasar, batasan bagi Tumasiri’  untuk memngambil tindakan dibatasi  dalam hal-hal tertentu. Bilamana Tumasiiri’ memburu Tumannyala, kemudian Tumannyala melemparkan apa yang melekat di badannya, misalmnya songkok atau baju masuk dalam pekarangan orang lain,  atau kalau berada di pematang sawah di buruh kemudian menghindar turun ke sawah, maka itu berarti  Tumannyala dianggap  sudah minta perlindungan. Dan kalau Tumannyala sudah minta perlindungan seperti itu, maka Tumasiri’ tak boleh lagi melakukan tindakan pada Tumannyalanya. Dalam Hukum Internasional, hak hak minta perlindungan disebut hak suaka atau hak asyil.
Hak asyil atau hak minta perlindungan atau hak suaka dalam hukum adat Makassar sebenarnya sudah  ada sejak \zaman nenek moyang kita dulu yang mengatur tentang  sanksi yang bola atau tidak bola diberikan oleh Tumasiri pada  Tumannyalanya. Ternyata, hak asyil ini  ternyata ada persamaan   dalam hukum Internasional yakni hakl untuk minta suaka politik.
Dalam suatu negara, bila ada warga negara yang melakukan pelarian politik ke suatu negara, maka  cukup warga negara itu masuk ke kantor kedutaan besar   dari negara yang diinginkannya atau larui ke negara yang diinginkan, kemudian minta pada pemerintah negara  itu  atau duta besarnya, supaya dilindungi dari kejaran dari petugas hukum  dari negara asalnya.
Ini kalau  ada kasus demikmian,  kalau seseorang sudah memasuki kedutaan besarnya dan minta perlindungan, maka polisi atau penegak hukum lainnya tak bisa berbuat apa-apa, sebab dianggap sudah masuk dalam wilayah hukum negara yang  asing itu. Polisi Indonesia tak bisa berbuat apa-apa dan itu sudah masuk wewenang   pemerintah negara yang dimasukinya, misalnya kedutaan besar belanda. Itu menjadi wewenang pemerintyah Belanda.
Kemudian, apakah hukum Internasional  meratifikasi hukum Adat Makassar atau kebetulan  sama bentuknya antara hukum adat Makassar dengan hukum Internasional. Kalau memang kebetulan sama, berarti hukum Adat Makassar lebih dulu menerapkan hak suaka dibanding hukum Internasional.*
Abbaji
Antara Tumannyala dan Tumasiri’ ini bagaikan kucing dan anjing. Tak bisa akur  selama dalam proses silriang. Akan tetapi, bila pelaku Silariang ini, meminta rela  kepada  kedua orang tua perempuan  dan disetujui, maka selanjutnya dilakukan acara  damai yang disebut Abbaji.
Para Tumannyala, biasanya melakukan silariang  bertahun-tahun lamanya, bahkan ada sampai becucu di tempat pelariannya baru kembali  berdama dingan orang tuanya. Tapi ada pula yang hanya beberapa bulan, orang tua yang berangkutan memberikan rella atau persetujuan untuk kembali berdamai.
Dalam kasus silariang , biasanya kedua orang tua   setuju kalau  anaknya  kembali  abbaji, tapi ada salahg satu keluarganya, misalnya saudaranya yang  tegas menolak  Tu,annyalanya itu untuk datang abbaji. Bila Tumannyala  menemui kasus seperti itu, bisanya  proses  menuju perdamaian   agak lama dan bahkan tidak kunjung jadi abbaji lantara   ada salah satu keluarganya yang menolak kedatangannya.
Bilamana sudah  ada acara Abbaji ini, maka  anak yang anak atau kedua pelaku silariang ini, tadinya dianggap musuh bersama dari pihak keluarga perempuan, kemudian, berbalik seratus persen. Kedua pelaku silariang itu   sudah dianggap anak. Bila sudah ada acara Abbaji, maka tidak ada lagi namanya Tumasiri’ dan Tumannyala, sanksi adatpun tidak bisa diperlakukan.*.

Silariang di Abad Modern
Perkawinan silariang pada zaman dulu sangat jauh beda dengan abad sekarang ini. Kalau dulu, untuk ketemu dengan sang kekasih saja sangat susah.  Pertemuan sering terjadi bila ada pesta rakyat, musalnya acara olahraga A’raga (main raga), tau ganrang pakarena (gendang tradisionil). Pada saat itu gadis dan laki-laki ketemu, dan dari situlah mulai terjadi komunikasi akhirnya menjurus pada pacaran (Abbayuang) . Bila  laki-laki dan gadis itu abbayuang,  kemudian lanjut ke jenjang berikutnya untuk membentuk suatu rumahtangga.
Namun  kawin silariang di abad modern ini cukup mudah dilkukan, karena bisa saja kedua belah pihak, pemudan dan gadis  berjauhan atau bahkan diantarai samudra yang luas, tetapi komunikasi mereka sangat dekat. Sebab bisa saja mereka bicara setiap saat lewat telpon atau HP atau bahkan internet atau facebook yang marak sekarang dilakukan oleh kawula muda.
Dalam komunikasi lewat alatb teknologi canggih tersebut, mereka bisa saja janjian ketemu di sebuah tempat untuk memadu kasih atau bermesraan tanpa diketahui oleh keluarganya. Baik gadis maupun pemuda sekarang sudah bebas  berkeliaran  kemana saja dengan berbagai alasan, misalnya me rumah teman atau ke  sekolah, ke kantor dan alasan lainnya, tetapi sasarannya menuju ke sebuah tempat yang telah disepakati untuk memadu kasih.
Kalau dulu, pergaulan anatara laki-laki dan perempun sangat dibatasi,  orang tua mereka melarang anak gadisnya keluar rumah bila tak jelas tujuannya, pkaiannyapun harus menutup aurat. Sekarag ini,  pakaian yang you can see sudah tidak tabu lagi dugunakan oleh kaum hawa  Walau banyak diantara kaum hawa yang berpakaian menutup aurat, tapi pergaulan mereka cukup luas.
Untuk melakukan silariang di abad modern ini, sangat mudah. Laki-lki cukup berkomunikasi dengan kekasihnya, kemudian janjian ditunggu di sebuah tempat. Setela keduanya ketemu, mereka bisa saja menuju ke sebuah tempat di rumah imam untuk dinikahkan. Imam yang menerima kedua anak ini,  bisa melakukan komunikasi lewat HP pada orang tunya bahwa anaknya  silariang dan minta rella untuk dinikahkan.
Sering kita dengar sekarang, hanya  karena main facebook. Seorang gadis melarikan diri pada teman facebooknya.  Untng kalau  gadis itu lari kemudian  nikah, tetapi kalau  pertemuannya   hanya untuk memadu kasih dan  akhirnya bersina, maka sangat berbahaya bagi kaum perempuan. Sebab dalam pergaulannya diluar  batas itu, bisa saja perempuan itu hamil diluar nikah, kalau laki-laki mau bertanggung jawab, tak ada masalah, tapi kalau tidak, maka perempuan itu sangat menderita, sebab tak ada laki-laki yang bisa ditunjuk untuik bertanggung jawab.
Itulah sebabnya, silariang sekarang, bukan lagi perempuan itu dijemput di rumahnya untuk lari bersama , tetapi perempuan itu  sendiri yang membawa dirinya (erang kale) ke  laki-laki , kemudian lari bersama  ke rumah penghulu untuk nikah.  Atau ada juga yang dilakukan dengan tipu muslihat, yakni sengaja dipacari  perempuan itu, kemudian setelah perempuan itu hamil, mereka lari dari tanggung jawab., membuat perempun itu  merana sepanjang masa.**

Selingkuh dan Silariang
Perzinahan atau dalam bahasan krennya adalah perselingkuhan sangat erat kaitannya denga  kasus silariang, Dari hasil penelitian penulis di masyarakat , banyak kasus silariang yang  didahului dengan  kasus perselingkuhan. Selingkuh bisa membuat wanita itu hamil. Bila   wanita selingkuhannya itu hamil, biasanya mereka melakukan jalan pintas, yakni silariang denga  pacar selingkuhannya.
Walaupun dalam hukum islam, perselingkuhan dilarang keras, tapi kenyataannya banyak juga yang melanggar noirma ini. Mereka tergoda dengan   nafsu syetan yang membuat mereka nekat melakukan perbuatan selingkuh.
Dalam Surah Al Isra ayat 32 secara jelas dikatakan : Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk.
Dari bunyi ayat tersebut jelas melarang setiap orang untuk menghapiri zina, apalagi kalau sampai melakukannya, sungguh itu   adalah dosa besar bagi yang melakukannya.
Pada negara-negara barat, melakukan hubungan seks sebelum  nikah, nampaknya sudah membudaya dikalangan masyaeakat, khusunya  dikalangan remaja poutra dan putri. Jangankan di negara barat, di negara  kita Indonesia, banyak terjadi  kasus persel;ingkuhan  atau kasus  pezinahan  di tempat protitusi. Dalam hukum adat Makassar, perbuatan  seperti ini dikategorikan sebagai siri’ dan pelakunya dapat dikenalan tindakan pembunuhan.
Beberapa pakar seksologi dari belanda mengemukakan hasil peneliitiannya, yakni :
1.    Dr C. Van Ende Boas, seorang sexulogi Belanda mengemukakan,  wanita-wanita muda yang kawin sekarang ini, sekitar 90 persen tidak gadis lagi diwaktu mereka menikah. Kebanyakan dari mereka sudah melakukan hubungan kelamin dri orang lain selain dengan calon suaminya.
2.    Dr. H. Musaph berpendapat,  dalam jangkla beberapa tahun terakhir, dibawa pengaruh perubahan-perubahan sosial, timbul anggapan bahwa melakukan hubungan seks dengan  teman tetapnya adalah soal biasa atau lumra dan itu adalah hak mereka.
3.    Dr. Elco D Wassenaar, sarjana Psykologi Berlanda, mngatakan, agama tidaklah memegang peranan penting lgi dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Dahulu orang masuk dalam salah satu gereja karena mengharapkan jaminaan sosialnya. Sekarang jaminan sosial adalah diadakan oleh pemerintah, sehingga agama tidak diuperlukan lagi. (Dr. H. Ali Akbr, Merawat Cinta Kasih, Pustaka Antara, Jakarta, 1984, hal 168).
Dari apa yang dikemukakan oleh pakar seksulogi Belanda diatas, menandaakan  bahwa freeseks di negara barat sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Nampaknya anggapan seperti itu, sudah masuk ke Indonesia, baik di kota besar maupun di daerah pedesaan. Terbukti,  pada setiap pemberitaan mass media, baik elektoronik maupun media cetak, setiap saat banyak terjadi kasus  perzinahan atau selingkuh.
Budaya freeseks di Indonesia juga sudah menjamur dimana-mana. Hal dapat dibuktikan dengan  menjamurnya tempat pelacuran, bahkan secara terang-terangan  perselingkuhan atau perzinahan banyak dilakukan si tempat prostitusi, belum lagi  namanya kumpul kebo’ atau  lebih kejam lagi berselingkuh sambil memvidiokan  dan menyebarrkan ke publik.
Dalam pasal 284 KUHPidana juga sangat  mempersempit pengertian zina, yakni hanya orang yang sudh bersuami atu beristri melakukan hubungan seks diluar nikah. Bilamana hal ini terjadi pafa  remaja, maka itu  menurut KUHP tidak dikategorikan zina.
Dengan demikian, yang dimaksud zina dalam KUHP adalah laki-laki atau perempuan yang sudah beristri (bukan suami istri) melakukan hubungan seks secara tidak sah. Kalau ada salah satu pelaku yang belum bersuami atau beristri (bujan/gadis) melakukan hubungan seks dengan seseorang bersuami atau beristri, maka dalam KUHP yang dianggap sebagai pelaku utama adalah orang yang sudah bersuami atau beristri, sedangkan gadis atau bujang yang terlibat dalam kasus tersebut, hanya masuk sebagai pembantu terlaksananya perbuatan zina atau selingkuh tersebut.
Jadi kalau begitu, bagaimana halnya yang berzina itu adalah orang yang belum bersuami atau beristri (jejaka dan gadis). Aoakah ini masuk zina? Tentunya kasus ini tidak diatur dalam KUHP, tau tidak dapat dikatakan sebagai suata kejahatan seksual. Apa lagi kalau perbuatan seks itu  dilakukan atas dasar suka sama suka.
Walupun kasus ini masuk ke pengadilan, hakim yang berpedoman pada KUHPidana jelas membebaskan para terdakwanya. Pernah salah seorang guru menggagahi anak muridnya, dan kasusnya diproses sampai ke Pengadilan, tapi  hakim  memutus bebas  perkara tersebut dengan alasan perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan keduanya sudah dewasa  tapi belum menikah (Bismar Sioregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional . Hal 138)
Dengan adanya kasus pembebasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dari kasus asusila tersebut, maka bila kasus ini dilihat dari  kacamata adat istiadat yang berlaku di negara kita ini, hakim tak sepantasnya membebaskan terdakwa dari kasus tersebut, karena itu berarti menginjak-injak perasaan masyarakat. Kemana lagi mereka akan meminta perlindungan hukum. Hal ini juga mengancam kehidupan generasi dimasa datang dari kasus kesusilaan. Seorang hakim yang baik, tentunya jangan terlalu kaku menafsirkan aturan yang berlaku. Menghukum suatu perbuatan yang tidak diatur dalam  KUHP itu sangat dimungkinkan oleh Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 tahun 1970 khususnya pasal 14 ayat 1 dijelaskan :
“Pengadilan tidak akan boleh menolak untuk memeriksa dan mengadiili suatu perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum  tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadlijnya
Dari kasus tersebut, memang hakim tetap mengadili kasus kesusilaan , tetapi dalam putusannya nanti, tetap membebaskan terdakwa dari hukuman. Putusan tersebut, bila dilihat dari segi keadilan hukum, memang adil, karena memang KUHP tidak  menghukum kalau hubungan seks dilakukan  atas dasar suka sama suka pada orang yang masih gadis atau bujang. Tetapi dilihat dari segi keadilan hukum  masyarakat, itu tidak adil. Tentunya mereka tidak ingin generasinya terjerumus dalam perbuatan asusila itu.
Hubungan seks  antar lki-laki dan perempuan tnpa nikah disebuit dengan freeseks dan dalam islam disebut zina (H. Ali Akbar: hal 94).
Hukuman  zina  atau selingkuh  daalam Islam jelas diatur dalam Surah An Nur ayat 2 “ disebutkan: :Pezina perempun dan pezina laki-laki masing-masing mereka hendaklah  mereka kamu hukum dera sertus kali, dan jangan kamu dipengaruhi belas kasihan terhadap hukum agama Allah. Jika kamu sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan hari kiamat, hukumann itu hendaklah disaksikan oleh sejumlah kaum muslimin”.
Karena negara kita berdasarkan Pancasila yng menjunjung tinggi nilai-nila KeTuhanan Yang Mahaesa, maka dalam pelaksanaan  aturan di negara ini, harus dilandasi dengan nilai-nilai KeTuhanan yang tertdapat dalam ajaran agama.
Demikian pula dalam hukum adat kita yang beraneka ragam, tidak  satupun hukum adat yang mewajibkan adanya kasus freeseks di masyarakat, kalaupun itu ada, sungguh sangat bertentangan dengan  falsafah negara kirta yakni Pancasila.
Khusus dalam hukum adat Bugis Makassar, ada yang dinamakan siiri’. Siri’ ini melarang bagi setiap orang untuk melakukan hubungan seks sebelum nikah (zina atau selinmgkuh) dan freeseks. Apabila ada orang yang melanggar aturan ini, sanksinya cukup berat. Yakni pembunuhan terhadap sipelaku.
Apa lagi kalau teman selingkuh sampai hamil, bila mereka berada dalam area hukum adat, mereka akan dihajar habis-habisan. Biasanya pelaku menghindari sanksi adat tersebut dengan jalan melakukan silariang ke rumah imam  lalu  nikah.*


Perkasa, Perkosa , Silariang
Perkosa dan perkasa adalah dua  suku kata yang hampir sama , tetapi maknanya  sungguh jauh berbeda. Orang mendengar kata perkosa,  pasti orang sangat benci pada sipemerkosa dan merasa iba terhadap korban pemerkosaan. Sedangkan mendengar kata perkasa, menjadi dambaan bagi kaum laki-laki yang ingin memiliki tubuh perkasa. Bagi kaum perempuan, khususnya cewek-cewek ingin  menjadi pria dambaanya.
Kasus perkosaan ini bisa saja berakibat silariang, Nilariang atau Erang kale, bahkan Annyala Kalotoro (Lari tanpa ada laki-laki yang bertnggung jawab) .. Kasus perkosaan yang berakibat hamilnya gadis atau perempuan, mereka bisa menyelamatkan dirinya dengan jalan lari ke rumah imam, lalu menunjuk orang yang pernah menggaulinya untuk bertanggung jawab, atau bisa juga kawin dengan pria mana saja sebagai kawin Pattonkok siri’ untuk menutupi aibnya, agar anak yang lahir kelak punya ayah dan ibu  juga sudah nikah.
Kasus perkosaan, hampir setiap harinya banyak menghiasi media.  Sipemerkosa tidak lagi memilih perempuan dewasa, tetapi juga anak gadis yang masih  umur belia, anak-anak, bahkan ada orang tua yang memperkosa anaknya sendiri hingga hamil dan melahirkan anak.
Kasus perkosaan ini diatur dalam  pasal 285 KUHP. Dalam pasal tersbut, ditegaskan “Barang sip dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istriny bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas ada beberapa unsur yang perlu dijelaskan, yakni : Barang siapa. Kata  tersebut berarti, orang yang melakukan pemerkosaan atau pemerkosa. Sipemerkosa ini umumnya dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh kaum wanita, namun ini jarang terjadi, kebanyakan dilakukan oleh kaum pria memperkosa perempuan, karena  dilihat dari segi kekuatan  fisik laki-laki lebih kuat dari kaum waanita.
Adapun perempuan yang  sering melakukan perkosaan, adalah mereka yang menderita kelainan seks tu disebut Nymphomania ykni kelebihan seks pada wanita. Untuk melampiaskan nafsunya, bolleh saja perempun itu memperkosa laki-laki yang kemungkinan bisa ia lawan.
Namun dalam KUHP, kasus pemerkosaan itu hanya ditujukan kepada   kaum laki-laki. Pasal ini untuk melindungi kaum wanita dari kejahatan perkosaan. Artinya, kalau ada wanita yang menjadi korban perkosaan, malka laki-laki sipemerkos bisa dikenakan hukuman penjkara. Dalam pasal tersebut terdapat kata ‘memksa seorang perempuan untuk bersetubuh dengannya”. Ini menndakan bahwa wanita yang diperkosa itu tak berdaya, sehingga ia pasrah merelakan kegadisannya direnggut.
Unsur berikutnya adalah paksaan dari pihak laki-laki untuk bersetubuh. Makna kata itu berarti, ada dua kemauan yang saling bertentangan, yakni, kemauan laki-laki supaya wanita itu bisa disetubuhi dibawa ancamannya, Sedangkan kemauan wanita, ingin terbebas dari kasus perkosaan. . Sebab kalau sama-sama mau, berarti itu bukan perkosaan, tetapi masuk perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka.
Wanita yang diperkosa itu, diberikan  dua pilihan, hilang nyawa atau hilang kegadisan. Tapi  wanita yang dibawa ancaman maut, pasrah dan merelakan apa maunya  laki-laki itu untuk memperkosanya. Ada juga wanita diperkosa berontak dan mereka memilih mati dari pada  hilang kegadisannya.
Kasus perkosaan ini banyak diantaranya disertai pembunuhan. Kasus pembunuhan terhadap wanita yang sudah diperkosa umunya dilakukan, karena keduanya (pemerkosa dan korban) sudah saling mengenal, sehingga dikhawatirkan perempuan itu akan membuka aibnya dan bisa menyeretnya ke pengadilan.
Ancaman pasal 285 KUHP tersebut adalah 12 tahun. Setiap kasus pemerkosaan yang ditangani hakim, tidak mutlak 12 tahun, bisa kurang dan bisa juga lebih dari 12 tahun, tergantung dari berat ringannya kesalahan. Kalau banyak unsur yang meringankan kesalahan, maka hukumannya bisa saja kurang dari 12 tahun. Tapi kalau ada unsur yang memberatkan, misalnya disertai pembunuhan, maka hukuman bisa lebih dari 12 tahun atau bahkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Seiiring adanya kasus pemerkosaaan, setelah diproses pengadilan, akhirnya hakim memvonis bebas terdakwa  dengan alasan bahwa  kasus itu bukanlah perkosaan dan hanya dilakukan atas dasar suka sama suka, apa lagi keduanya sama-sama dewasa dan dalam KUHP tidak mempersoalkannya.
Pada kasus tersebut, menurut mantn Hakim Agung Prof.  Bismar Siregar, SH, dapat menimbulkan keresahan bagi :
1.    Si korban merasa tidak mendpat perlindungan hukum.
2.    Si pengusut, penyidik tidak terkecuali penuntut umum akan meraasa kecewa dan kecewa sekli. Bukankah segala jerih payah mereka sia-sia, hanya karena  dasar hukum formal emata.
3.    Masih ada lagi pihak yang ikut berkepentingan yakni masyarakat ituy sendiri. Kekhawatiran  menyelimuti hbti mereka. Siapa tahu kalau bukan hari ini, mungkin besok atau suatu ketika , akan terjadi yang demikian bagi diri dan keluarga. Sehingga mereka berkata, apakah kalau  yang terjadi korban itu keluarga hakim bru ia merasakan apa arti dan akibat korban perkosaan.
4.    Dari satu sisi, si hakim tepat dan benar untuk membuktikan perbuatn tentang perkosaan itu sulit sekali. Jarang terjadi perbuatan perkosaaan tertangkap basah. Pada umumnya laki-laki lihai dan berpengalaman, ia akan berupaya supaya lepas dri jeratan hukum. Karena hukum yang ada sekarang secara formal sulit diterapkan. Setiap perkosaan secara kasar disemak-semk atau secara halus diawali di remang-remang, sudah siap dengan dalih dan alasannya membela diri terutama dari segi hukum mural ( Prof. Bismar Siregar, SH. Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukuim Nasional, CV Rajawali, Jakrta 1986, hal 138).
Pada kasus tersebut, kalau dilihat dari segi KUHP, nampknya bukanlah suatu kasus perkosaan, melinkan kasus perzinahan yang dilaksanakan atas dasar  suka sama suka. Dengan demikian, hakim akan membebaskan dari tuntutan hukum.
Semua orang sependapat tentang pengertian perkosaan yang terdapat dalam KUHP yakni harus ada unsur paksaan kepada pihak perempuan untuk disetubuhi. Kalau tidak ada unsur paksaan, berarti namanya persinahan.
Banyak kasus yang terjadi, pertamanya dimulai dengan kasus perkosaan, tetapi setelah lama, kemudian dilakukan atas dasar suka sama suka. Mungkin karena ketagihan, sehingga aksi berontak itu akan menghilang dan berubah menjadi sukan sama suka.
Bismar Siregar jelaskan, yang dimaksud dengan perkosaan tiada lain adalah termasuk pengertian persinahan. Hanya saja yang berbeda, persinahan itu dilakukan atas dasar  keinginan bersama, hanya saja tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dan labih tegas lagi kita bagi kita yang menganut ajaran agama. Batas zina dengan bukti sina cukup sederhana, hanya secarik kertas berdasarkan ikrar dihadapan Tuhan dan saksinya manusia, bahwa akan menjadi suami istri kekal  dan lestari. Sedangkan sina, kesepakatan itu melanggar hukum, baik yng formal maupun moral. Perkosaan disatu pihak memaksakan kehendaknya, sedang dilain pihak dipaksakan menerimanya (Bismar, opcit hal 145)
Pada pengertian diatas, pada umumnya Bismar rtidak terlalu mempersoalkan poerbedaan antara perkosaan dan zinah. Bahkan dalam penuntutan sutu kasus persinahan tersebut sebagai suatu kejahatan perkosaan / persinahan. Melainkann dituntut dengan kasus penipuan, yang kasusnya terkenl dengan kasus barang.
Menurut Bismar, yang dinamakan barang, karena si pria dengan rayuan gombalnya membujuk si wanita, tetapi kemudian mengingkari janjinya. Oleh Pengadilanm Negeri Medan dipidana ringan. Namun begitu, terdakwa tidak puas dan naik banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Ternyata PT Sumut membatalkan putusan PN Medan, llu menggantinya kasus persinahan dengan kasus penipuan . Dengan pasal persinahan diganti menjadi pasal penipuan, hukumannya bertambah berat, yakni dari 4 bulan untuk kasus persinahan  pada putusan PN Medan  menjadi 4 tahun di PT Sumut  pada kasus penipuan..
Kasus perkosaan bagi masyarakat Bugis Makassar  dikategorikan sebagai siri’. Siri’ itu berarti merendahkan martabat dari pihak perempuan, dan pihak keluarga perempuan oleh hukum adat diwajibkan untuk menegakkan siiri’nya yang biasa berakhir dengan duel maut.
Namun ada  kasus, pertamanya bermotif perkosaan, tapi kemudian perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka, yang berarti unsur paksaan sudah tidak ada. Namun beberapa bulan kemudian, sigadis yang pernah  diperkosa kemudian lanjut persinahan itu hamil. Kalau laki-laki yang menghamilinya mau bertanggung jawab, maka  tak begitu bermasalah, sisa  dinikahkan, selesai masalah. Tapi kalau laki-laki yang ditunjuk tidak ada, atau tidak jelas, maka perempuan itu berstartus Annyala klotoro (kawin lari tanpa ada laki-laki) dan nikahnya bisa dilakukan dengan  sistem pattongkon siri’.
Ada juga setelah diperkosa, laki-laki itu kemudian membawa paksa perempuan (nilariang) ke rumah imam untuk dinikhkan. Perempuan yang  merasa terhina itu akhirnya malu kembali ke rumah orang tuanya . Apa lagi laki-laki yang membawanya mau bertanggung jawab, maka  ia hanya pasrah untuk kawin silariang dengan pemuda yang membawanya itu.**




Pengertian Siri’
Pengerian siri’ telah banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak, baik masyaerakat Suksel, masyarakat diluar Sulsel  dan bahkan dari  para ahli hukum adat  Dalam kajian yang berbed itu, membuat persepsi tentang siri’. Berbeda pula, tergantung dari bagaimana cara mereka memandang siri’ dalam kehidupn masyarakat Makassar.
Bagi masyarakat luar Makassar  banyak yang beranggapan bahwa siri’ itu identik dengan perbuatan kriminal, misalnya menganiaya atau membunuh Tumnasiri’ dianggapnuya perbbuatan kriminal yang dapat  dihukum.
Pandangan ini, hanya melihat dari segi akibatnya. Yakni Tumasiri mambunuh Tumannyalanya dengan alasan siri’. Tapi mereka tidak melihat,  kalau siiri’ ini tidak  ditegakkan, baagaimana kehidupan manusia kedepan. Terbukti, setelah nilai-nila siiri’ bergeser, maka kasus kejahatan seksual merajalela  dimana-mana. Apakah ini ini tidak lebih jahat, bila dibanding dengan membunuh pelaku yang melakukan ejahatan seksual, termasuk  orang yang melakukan silariang, karena biasanya mereka silariang,m karena terlebih dahulu ada hubungan seksuaal diluar nikah dari kedua pasangan itu.
Prof. Cassuto lam bukuny : Het Adat Strafreht in den Nederllanch Achipel, mengatakan, Siri merupakan pembalasan berupa kewajiban moril untuk membunuh puihak yang melanggar ada (dikutip dri buku Prof Moh. Natsir Said : hal 50).
Sedngklan Prof Nasir Said sendiri berkesimpulan bahwa siri’ adalah suatu perasaan malu (krinking / belediging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluaarga / famili yang dialnggar norma adatnya. (Moh Nasir Said : hal 50).
Bagi masyarakat Sulsel khususnya  suku Makassar. Siri’ itu adalah harga diri atau martabat manusia sebagai manusia yang s ebenarnya. Sebab banyk orang yang berwujud manusia, tapi perbuatannya seperti binatang, karena kawin sembarangan , sama seperti binatang.
Dengan adanya Siri’ melarang manusia untuk melakukan hubungan  seksual diluar nikah, karena itu  sama saja seperti binatang, dan keturunan yang dilahirkan adalah lahir dari perbuatan sina dari edua oorang tuanya.
Siri’ disini dimaksudkan untuk memanusiakan manusia. Bagaimana  seorang manusia itu kelakuannya mengikuti tata krama, sopan santun dan aturan yang berlaku di masyarakat.  Bila kelakuannya seperti binatang, maka, jeas sanksi aaat akan berlaku padanya. Hukum Adat Makassar, khusunya masalah siri’ agar  pembentukan rumah tangga itu harus dimulai dengan perkawinan.
Sanksi Siri dimaksudkan untuk  mencegah seseorang melakukan perbuatan yang bisa dikategorikan dengan siri’. Seperti  berhubungan badan  lain jenis tanpa  nikah. Sanksi yang sangat berat itu, supaya orang yang akan melakukan silariang harus lebih berhati-hati dan berupaya untuk mencari jalan terbaik melalui perkawinan.*



Pergeseran Nilai Siri’
Siri’ pada zaman dulu sudah jauh beda dengan siri’ di zaman sekarang. Mengapa orang tua dulu menjaga anak gadisnya  keluar rumah, karena  anak gadis dianggap sebagai mahkota dalam rumah tangga. Kalau mahkota itu rusak, maka rusak pulalah  rumah tangganya kedepan. Paara orang trua dulu tak mau kalau  lahir cucunya dengan perzinahan.
Sekarang ini, pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dilarang untuk berhubungan dengan temannyn, dan ini termasuk siri’.. Sekarag ini, perempuuan dan laki-laki dapat dengan bebas berjalan bersama, berboncengan motor,  atu sama-sama satu mobil, kemudian apa yang diperbuat dalam mobil sudah bukan lagi persoalan.
Dengan adanya pergaulan bebas itu, sekarang ini banyak di dengar berita, ada perempuan yang hamil diluar nikah. Kalau anaknya lahir, kemudian dicekik sampai mati, karena malu, kalau dikethui oleh orang tuanya, bahwa anak yang dilahirkan itu adalah hasil hubungan gelap.
Siri’ merupakan harga diri atau martabat seseorang yang perlu dijaga, agar manusia itu berwujud seperti manusia yang sebenarnya. Manusia yang tidak punya siri’, wujudnya memang seperti manusia, tapi sifatnya seperti binatang. Inilah yang banyak terjadi, terutama di tempat prostitusi, dimana di temopat itu banyak  manusia yang memiliki sifat binatang, mereka kawin seperti binatang tanpa melalui proses nikah.
Menurut budayawan Sulsel, H. Abd Haris Dg Ngasa,  antyara sifat manusia dan sifat binatang itu hanya dibatasi oleh  sebuah dinding yang sangat tipis. Itulah yang disebut Sikedde rinring (sedikit dinding). Kalau dinding itu sempoat jebol, maka  manusia akan  berubah sufatnya  menjadi sifat binatang. Itulah sebabnya, mengapa sanksi ada pada siri’ ini sangat  keras  bagi masyarakat suku Makassar di Sulawesi Selatan, karena tujuannya untuk memanusiakan manusia.
Suku Makassar dalam menegakkan siri’ sering diistilahkan Pabbambangan na tolo (Pemarah l;agi bodoh). Ungkapan ini  menurut Dg Ngasa, tidak selamanya benar. Mengapa orang  tega membunuh anaknya atau laki-laki yang membawa lari itu, padahal setelah  dilakukan acara  abbaji (damai) kedua pelaku silariang itu   sudah dianggap anaknya sendiri. Inilah pemikirang orang-orang yang tak mengerti tentang siri’
Adalah lebih bodoh, kalau melihat  anak gadisnya dipermainkan oleh laki-laki lain di depan matanya, kemudian tidak mengambil tindakan tegas. Itulah sebabnyta pada orang tua dulu,  bila melihat anak gadisnya dipermainkan oleh laki-laki atau  silariang, maka sanksinya memang sangat tegas, yakni bisa saja mereka mati di ujung badik.
Kalau siri’ ini ada pada  tiap manusia,  maka manusia itu tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang bisa mempermalukan keluarganya. Orang tua takut kalau anaknya jatuh ke tempat prostitusi, atau  kalau mendengar anak gadisnya pernah  melakukan hubungan terlarang dengan laki-laki, maka orang tua  yang punya siri’ sangat marah pada anak gadisnya. Kalau  mereka tahu, bahwa anaknya hanya dipermainkan, maka orang tua atau keluarganya mewanti-wantii laki-laki itu untuk diambil tindakan tegas pada pemuda yang mempermainkan anak gadisnya itu.*

Tinjauan Hukum Pidana
Dalam Hukum pidana (KUHP) kalau menyangkut masalah nyawa seseorang, terutama menyangkut masalah penganiayaan atau pembunuhan, maka   tidak ada  satu alasanpun untuk melakukannya, termasuk alasan siri’ mereka  bisa dikenalan hukuman pidana penjara.
Bagi para Tumasiri’. Bila sudah mendengar berita, bahwa anaknya atau keponakan  atau sanak keluarganya melakukan silariang, mereka dituntut oleh hukum Adat untuk menegakkan siri’nya. Sebab kalau tidak bertindak, mereka dicap oleh masyarakat sebagai ballorang (alias penakut). Tertapi mereka harus berani, tampil sebagai pembela martabat keluarga.
Dalam  ungkapan  orang Makassar ada yang disebut Eja Tonpi sen Na Doang (nanti merah baru terbukti udang). Maksudnya,  penegakan siri’ itu memang  banyak resiko, terutama membunuh dan  akhirnya masuk penjara. Tetapi resiko seperti itu, tidak terpikirkan dulu. Nanti kalau sudah berhasil menegkkan siri’ barulah terbuklti bahwa udang itu kalau sudah dimasak merah.
Kemudian ada pula istilah yang mengatakan, bahwa orang Makassar itu kalau menegakkan siri,  luka tusuk senjata tajam itu,  bukan berada di belakangnya, tetapi  harus ada dimuka. Kalau  luka tusuk berada di belakang badan ,itu berarti pengecut atau penakut, tapi kalau  luka ada di bagian depannya, itu berarti pemberani.  Dalam ungkapan orang Makassar disebutkan Tiai Mangkasara punna Bokona Loko’ (bukan orang Makassar kalau bagian belakang badannya terluka).Inilah yang disebut Tubarani.
Bagi Tumannyala (pelaku silariang), juga bertekad, resiko  apapun yang menimpa dirinya, harus mereka jalani, termasuk maut demi  mendapatkan si buah hati belahan jantung.  Mati itu urusan Tuhan,  tapi semangat untuk menyatukan dirinya dengan  gadis pelihannya tak bisa dibendung, walau itu maut sekalipun. Cinnaku Cinnana pakkekkepa pasisa’laki (Cintaku dan cintanya, hanya linggislah yang bisa memisahkannya). Begitu eratnya cinta kedua Tumannyala, sehingga mereka nekad kawin lari.
Bagaimana dalam hukum pidana?. Pada kasus Silariang, tindak pidana yang banyak terjadi adalah, kasus pengniayaan  dan kasus pembunuihan.  Kadang Tumasiri’ bila menemukan Tumannyalanya di suatu tempat, misalnya di jalanan, mereka sering memburuh Tumannyalanya, dan bila Tumannyala tidak mendapat perlindungan, biasanya terjdi perkelahian. Kalau ada orang yang melerai,  mungkin nyawa salah satu pihak masih bisa diselamatkan, maka dalam hal ini dapat dikenakan pasal penganiayaan (351 KUHP), tapi kalau mereka membawa senjata tajam dan tidak ada yang melerainya, maka biasanya kasus ini berakhir dengan  maut atau pembunuhan, maka si pelaku dapat dikenakan pasal pembunuhan yakni pasal 340 KUHP untuk pembunuhan berencna dan pasal 338 tentang pembunuhan biasa.
Selain itu, dalam kasus silarian, tentunya kedua belah pihak, baik Tumannyala maupun Tumasiri’  keduanya  selalu siap senjata tajam berupa badik yang terselip di pinggangny. Ini juga  melanggar pasal dalam Undang-undang Darurat tahun 1957.
Kemudian pada kasus silariang, karena ini dilakukan atas kesepakatan  kedua belah pihak yang mau kawin lari, maka dalam KUHP tidak ada satu pasalpun yag melarang mereka untuk  kawin lari. Kecuali dalam agama, biasanya pada kasis Silariang ini, sebelumnya disertai dengan perzinahan, maka  kasus sin itu melanggar aturan agama Islam.
Untuk kasus Nilariang, ini dapat  dikenakan pasal dalam KUHP, sebab  pihak perempun itu dipaksa untuk kawin dengan cara menculik atau tipu muslihat. Pihak laki-laki yang melakukan kawin Nilariang ini dapat dikenakan pasal penculikan atau  pasal penipuan.
Dari aspek sosial, pada kasus silariang ini, merupakan  aib bagi keluarga kedua belah pihak, baik keluarga laki-laki lebih-lebih bagi keluarga perempuan yang merasa  sangat dipermalukan oleh ulah anaknya. Masyarakat  mencelh perbuatan ini dan mencapnya sebagai orang yang tak mampu mendidik anak-anaknya, serta menyalahi aturan adat dan agama.

Silariang Dalam Aspek Kriminologi
Kriminologi berasal dri kata crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatn (Prof. Hari Sangaji, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta hal 9).
Selanjutnya Shutterland mengemukakan, kriminologi adalah kumpulan  ilmu pengetahuan yang mempelajari kejhatan sebagai masalah manusia, seperti Anthropologi, Psykiatry, psyhologo dan ain-lain.
Luasnya ruang lingkup kriminologi terhadap berbagai aspek disiplin ilmu, sehingga  Kriminologi  mendapat julukan  sebagai King Without Country (Raja tanpa negara). Artinya kriminologi meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, walaupun hanya sedikit-sedikit saja, seperti yang terdpat dalam ilmu pengetahuan hukum, sosiologi, Anthropologi dn sebaginya (Prof. Dr. Ronny Niiti Baskara, Catta kuliah di Univ. Muhammadiyah Jakarta tahun 1989).
Luasnya cakupan lingkup kriminologi tersebut, sehingg  dlam tulisan ini, penulis batasi dengan mengupas sejauhmana aspejk kriminologi terhadap perkawinan silariang bagi suku Makassar.. Untk mengetahui, perlu ditunjauasp[ek   kebudayaan terhadap kawin silariang.
Selnjutnya Prof. Dr. Koentjaraningrat, dlm bukunya Kebudyan  Mentalitas dan Pembangunan, mengemukakan, ada tujuh unsur universal dari kebudayaan yaitu:
1.    Sistem religi dan upacara keagamaan
2.    Sistem  dan organisasi kemasyarakatan.
3.    Sistem pengetahuan
4.    Bahasa
5.    Kesenian
6.    Sistem  matapencaharian
7.    Sistem teknologi dan perlatan (Koentjaraningrat, hal 12).
Dihubungkan dengan perkawinan Silariang, maka termasuk manakah silariang dalam unsur universal kebudayaan itu?
Penulis berpendapat, bahwa bahwa silariang masuk dalam unsur  sistemn dan organisasi kemasyarakatan. Tiap satu daerah di Indonesia, terapat persekutuan hukum, seperti yng  disebut Desa, ngari (minang) dan sebaaginya. Dalam persekutuan desa itu, terdapat item kecil, namanya sistem perkawinan. Kemudian item kecilnya lagi dari sistem perkawinan, bagi suku Makassar terdapat item  kawin silariang.
Jadi dalam hal ini, item pertama adalah sistem organisasi kemasyarakatan, item kedua  adalah persekutuan desa, item ketiga adalah sistem perkawinan dan item keempat adalah silariang dan item kelima  adalah siri’ dan item selanjutnya adalah kejahatan pembunuhan.
Ada beberapa aspek budaya yang mengandung unsur kriminil, seperti kesenian jaipongan, tuyuban dan masih banyak lainnya. Jenis kesenian ini  jelas memperlihatkan keindahan dan nilai seni. Tapi dibalik keindahan itu, sebenrnya mengandung adegan yang berbau pornografi, dimana dalam kriminologi dikategorikan sebagai  kejahatan (Prof.Niti Baskara, catatan kuliah 1989).
Demikian halnya persoalan siiri’ dalam kasus silaring bagi suku Makassar. Prof. Andi Zainal Abidin Farid dalam bukunya Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum dan Dunia Luar, mengemukakan,  Membunuh seseorang laki-laki yang melarikan sanak saudara, maka sipembunuh  adalah yustification menurut hukum adat lama, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral. (Hal 107).
Persoalan lembunuhan dengan alasn siri pada kasus Silariang, menurut  hukum adt Makassar dinggap sebagai suatu kewajiban moral yang harus dilekukan oleh pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’. Akan tetapi kasus pembuhuhan yang bertlatar belakang siri’ oleh hukum pidana, sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk membunuh seseorang. Bila terjadi kasus pembunuhan atau penganiayaan   dengan alasan siri, dalam hukum pidana pasti dikenakan pasal pembunuhan datau penganiayaan  dalam KUHP.
Jadi disini ada dua aspek hukum yang saling bertolak belakang. Disatu sisi, hukum adaat Makassar mewajibkan seseorang yang dipermlukan (tumasiri’) untuk melakukan tindakan kriminil, apoakah itu penganiayan atau pembunuhan terhadap pelaku silariang yang disebut Tumannyala. Disis lain, hukum pidana melarang sama sekali Tumasiri melakukan tindakan kriminil, termasuk alasan siri’. Inilah yang mkenjadi sorotn kriminologi dalam  pembahasan tulisan ini.
Dalam kriminologi yang mempalajari masalah kejahatan,  dalm  kriminologo, ada tiga jenis kejahatan yang terdapat dalam kasus silariang. Gerson Bawengan dalam bukunya Psykologi kriminil :
1.    Kejahatan daalam arti praktis
2.    Kejahatan dalam arti religius
3.    Kejahartan dalam arti yuridis
(Gerson Bawengan , Psikologi Kriminil : hal 20)



Kejahatan Dalam Arti Praktis
Kejahatan dalam arti praktis adalah suatu pengertian yang merupakan campur bauran  dan bermacam-macam norma.
Pelanggaran dari berbgai macam norm, baik norma agama, adat istiadat, kebiasaan, kesusilaan dan norma hukum, sehingga dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat, baik berupa hukuman pidana, cemoohsn dan pengucilan dari masyarakat. Misalnya seseorang guru  berbuat kejam terhadap muridnya, maka guru tersebut dianggap sebagai penjahat. Seseorang yang suka memukuli temannya, maka sipemukul dapat dicap sebagai penjahat dlam arti praktis.
Demikian halnya pada kasus siri’ silariang yang telah melanggar norma-norma hukum, maka sipel;ku silariang juga dicap sebagai kejahatan dalam arti praktis. Bila terjadi  kasus poembunuhan dan penganiayaan   dari Tumasiiri’ terhadap Tumannyala, maka itu juiga diktegorikan sebagai penjahat dalam arti prktis.

Kejahatan Dalam Arti Religius
Kejahatan dalam arti religius adalah suatu pengertian yang mengidentifikasikan jahat denganb dosa. Dalam arti ereligius merupakan sinonim, bahwa jahat adalah berbuat dosa. Demikin pula sebaliknya, berbuat diosa adalah jahat.
Sebagai manusia yang bergama (islam) telah mempercayai adanya kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Dalam Al Qur’an tersebut, mengandung suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan larangan yang harus dijauhi oleh setiap umt.
Dengan mengacu pada pengertian religius, berarti orang-orang yang  melakukan perbuatan dosa dicap sebagai  sebuah kejahatan. Misalnya, tidak melaksanakan shalat lima waktu, puasa, mencuri, merampok dan sebagainya. Demikian halnya sanksinya, tidak hanya didaopatkan di dunia, juga lebioh-lebih di akhirat nanti.
Dalakm kasus siri’ dan silariang, perbuatan melarikan anak gadis, bersina atau bahkan membunuh seseorang, itu adalah suatu  perbuatan dosa yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan..
H. Moh. Syukri Daeng Limpo, dalam artikelnya Kawin Silariang, mengatakan, laki-laki yang telah menodai kehormatan (appakatianang) atau melarikan gadis keluarga sendiri yang haram dikawini (muhrin) disebnut salimara, , maka keduanya dikutuk oleh keluarga kedua belah pihak, dan dikutuk oleh seluruh anggota masyarakat, sebab dianggap telah melakukan pelanggaran besar yang merusak, bukan hanya norma adat dan agama, juga menyebabkan hujan tidak mau turun. Konon pada zaman dulu, pelakunya dikenakan hukuman niladung (ditenggelamkan ke air dalam keadaan hidup hingga mati). SKU Mimbar Karya, 9  Desember 1984, hal 3).



Kejahatan dalam Arti Yurudis
Kejahatan dalam arti yuridis dapat dijumpai dalam KUHPidana yang membedakan secara tegas antara kejahatan dan pelanggaran. Pada buku kedua KHUP diatur delik kejahatan dan buku ketiga diatur delik pelanggaran.
Disamping itu, Memori van Toelicting telah membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Disebutkan, kejahatan adalah delik hukuim yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan dengan atau bertentangan dengan azas-azas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai hal yang terlarang (Gerson Bawengan, hal 5).
Lain halnya Prof. Mr Roeslan Saleh yang mengatakan,  semua perbuatan melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum, karena :
1.    Menurut bahasa, bersifat melawan hukum adalah sesuatu yang menunjuk ke jurusan bertentangan dengan hukum.
2.    Sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari perbuatan pidana yang berarti bahwa tanpa ada sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, maka tidak ada pula perbuatan pidana, dalam mana ia menjadi esensialnya. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dipandang tidak boleh dilakukan atau tercela jika dilakukan. Oleh karena apa?  karena bertentangan  dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
3.    Bertentangan tanpa hak dan melawan hak praktis menimbulkan konklusi yang berbeda-beda (Prof. Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukuim dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta 1981, hal 26 – 27).
Dalam kasus siri’ dan silariang jelas melanggar berbagai pasal dalam KUHP yang bisa dikategorikan sebagai sebuah kejahatan. Seperti halnya pasal 332  KUHP (silariang dengan gadis dibawa umur), pasal 340 KUHP (pembunuhan terhadap Tumannyala), pasal 285 KUHP tentang perkosaan dan masih banyak  pasal-pasal lainnya yang terkait dengan kasus siri’ dan silariang.
Prof. Mr. Roeslan Saleh selanjutnya mengutip pendapat Simon dan Hasuwinkel Suringa yang mengatakan:  Untuk dapat dipidana, perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam undang-undang. Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi diseliidiki, apakah merupakan perbuatan hukum atau tidak (Opcit hal 13 – 14)
Berdasar dari pendapat tersebut berarti, kasus silariang, baik  secara yuridis maupun non yuridis adalah mencakup semuanya, karena disamping melanggar peraturan tertulis (KUHPidna) juga melanggar norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Walau orang yang melakukan pembunuhan dengan alasan siri’ dalam hukum adat Makassar, tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral, namun dalam  KUHPidana, membunuh dengan alasan apapun, tetap dicap sebagai tindak pidana yang dapat dihukum.
Ada beberapa pasal yang menatur tentang kejahatan yang berlatar belakang siri’ dan silariang  dalam hukum adat Makassar.

Pasal 332 KUHP
1.    Paling lama tujuh tahun, barang siapa yang membawa pergi wanita yang belum cukup umur, tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik dalam maupun diluar perkawinan.
2.    Paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik dalam maupun diluar perkawinan.
Dari bunyi pasal 332 KUHP itu memperlihatkan bahwa  perkawinan silariang, melanggar hukum pidana bila wanita yang dilarikan itu masih dibawa umur, tipu muslihat, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Tetapi bilamana silariang itu sama-sama dilakukan oleh orang dewasa dan dilakukan atas persetujuan keduanya, maka disini KUHP tidak mempersoalkannya dan bukan  dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Namun perbuatan Silariang baik dibawah umur maupun sama-sama dewasa, apa lagi dilakukan dengan tipu daya atau kekerasan, dalam hukum adart Makassar, dikategorikan dengan perbuatan yang melanggar norma adat khususnya masalah siri’ dan kuluarga yang merasa dipermalukan yang disebut Tumasiiri; dapat mengambil tindakan paada sipelaku atayu Tumannyal.
Pasal 285 KUHP

Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan:
a.    Laki-laki yang beristri berbuat zina, sedang diketahui bahwa pasal 27 KUHPerdata sipil berlaku padanya.
b.    Perempuan beruami berbuat zina.
Biasanya sebelum terjadi kasus silariang, kadang terjadi  hubungan badan atau perzinahan diantara keduanya. Bilamana perempuan tersebut hamil, sedng kedua orang tuanya tak merestui laki-laki pilihannya, maka  disitulah  serin terjadi kasus silariang.
Namun dalam pasal 284 KUHP terlalu membatasi pegertian zina. yakni hanya laki-laki  yang sudah beristri atau perempuan yang  sudah bersuami melakukan hubungan seks diluar nikah. Sedang bila hal ini dilakukan oleh kaum muda mudi yang belum menikah atas dasar suka sama suka, maka menurut hukum pidana bukanlah merupakan tindak pidana. Kalaupun terjadi kasus semcam ini, ancaman hukumannya hanya 9 sembnilan bulan.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja atau rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana (moord) dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama kurun waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
Dri pasal tersebut diatas, pengaturan tentang pembunuhan berencana. Dalam kasus Silariang, kadang  terjadi namanya kasus pembunuhan dengan alasan siri’. Biasanya yang melakukan penyerangan adalah Tumasiri’ terhadap Tumannyala. Bila terjadi penyerangan, terjadi pergumulan, dan biasanya berakhir dengan duel maut, apakah yang mati itu tumannyala atau Tumasiri atau bahkan orang  yang melerai. Bila terjadi kasus pembunuhan dengan alasan siri’, maka penegak hukum, dalam hal ini  polisi, jaksa dan hakim menerapkan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan bila korban tidak mati. Biasanya pasal  yang didakwakan adalah pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana), pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) dan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.**

Kasus Salimara
Kisah Ayah Perkosa Putrinya
Pak....Aku Ini Anakmu
Kisah tragis menimpa seorang gadis dari  Kab. Gowa. Sebut saja Ira (18) (samaran) nama gadis itu, tubuhnya aduhaai dan cantiknya oke juga. Tapi sayang seribu sayang, cita-cita anak untuk menjadi orang baik, terkandas di tangan ayah kandungnya sendiri (Dg Mampo (nama samaran).  Ira diperkosa oleh ayak kandungnya sendiri hingga hamil dan melahirkan bayi.
Kasus ini bermula, ketika, Ira mandi di kamar mandi. Saat asyik mandi, tiba-tiba ada yang ketuk pintunya. “Siapa ..” tanya Ira dalam kamar mandi, mungkin mama kali, pikir Ira dalam benaknya. Setelah pintu dibuka, ternyata Ayahnya. Tanpa  basa basi, si ayah langsung saja nyelonong masuk kamar mandi  buang air . Sang puntri tidak keluar, karena ia pikir, ia adalah ayahnya, Setelah selesai buang air, ayah keluar.
Tahu-tahunya, setelah ayah keluar dari kamar mandi, ia tergiur melihat  tubuh putrinya yang molek. Nafsu syetanpun mulai merasuk  dalam diri  sang ayah. Mula-mula ia mendekati putrinya, sambil mencium, tangan ayahpun mulai nakal. Rabaan pertama ke buah dada, kemudian ke arah terlarang. Sang putripun berteriak. Namun Ira pikir,  ayahnya tak mungkin berbuat senonoh.
Tapi lama kelamaan, nafsu bejat ayah semakin menggila. Bukan saja meraba daerah terlarang, tetapi rural yang ia miliki  keluar dari sarangnya. Rudalnya kian tegang menbcari sasaran tembak. Karena sang punti baru saja mandi dan hanya sarung yang melekat di badannya, maka rudal scud sang ayah langsung nancap pada barang putrinya.
Diamnya si anak ini, membuat ayah semkin penasaran. Rudalpun bergerak mulau masuk sasaran. Aduh Pak...sakiiiit” keluh Ira. Memang begitu nak, sebentar lagi sembuh” nasehat ayah.
Nampaknya kontak pertama ayah dan anak ini, bukannya berakhir sampai disitu saja. Setiap ada kesempatan, bila ibu keluar misalnya ke pasar, dan adik-adiknya pergi ke sekolah, si ayah mulai lagi mendekati putrinya dan memulai lagi perbuatan bejatnya. Si anakpun tak kuasa membendung keinginan ayahnya. Cuma Ira   pernah melontarkan kata-kata : Aduuuhh.....Pak.. Aku ini anakmu., mengaapa ayah tega berbuat begini? Kat Ira pada ayahnya. Namun nasehat  sang anak  tak diperduli, rudal ayahpun terus mencari sasaran, dan terus melampiaskan  nafsu syetannya.
Ketika sang ibu tercinta menunaikan ibadah haji , meriupakan  kesempatan emas  bagi ayah dan anak untuk  mengulangi perbuatannya.  Pergaulan suami istri bebas dilakukan. Karena sudah terbiasa, maka tak ada lagi basa basi. Bila rudal ayah tegang, maka  ia langsuing saja masuk ke kamar anaknya untuk melampiaskan nafsunya.
Setelah sekian lama berhubungan badan, sang putripun mulai mentah-mentah, pertanda ia hamil. Si ayahpun mulai kelabakan. Perut sang putri dari bulan ke bulan  terus membuncit. Hinggga usia kandungan memasuki bulan keenam, Siayah mulai menghubungi Mak Nanong, salah seorang dukun beranak di kampungnya. Kedatangan Ira ke Mak Nanong dengan maksud untuk menggugurkan kandungannya alias aborsi. Namun Mak Nanong menolak untuk aborsi, ia menyarankan lebih baik ke rumah sakit bersalin di Sungguminasa. Nasihat Mak Nanong diterima, dan ia pergi bertiga ke  Rumah bersalin di Sungguminasa.
Di rumah sakit,  bayi aborsi ini lahir, ayah dan putrinyapun menghilang, entah kemana rimbanya. Putugas rumah bersalinpun mulai curiga, jangan-jangan bayi yang lahir adalah hasil hubungan gelap.
Akhirnya kasus ini mulai terbongkar. Polisipun mulai melakukan pengusutan  atas kasus ini. Setelah ditel;usuri, akhirnya polisi berhasil menciduk para pelaku, yakni Ira, ayahnya Dg Mampo, dan mak Nanong. Ketinganya tersangka langsung digirik ke kantor polisi dan akhirnya  dijobloskan ke Rutan Gunungsari.
Kasus ayah monodai anaknya banyak terjadi dimana-mana, seperti halnya di Medan, dari hasil hubungan gelapnya hingga melahirkan seorng anak. Demikian pula di Sumarorong Polmas juga  terdapat kasus serupa. Pada kasus ini oleh orang Makassar digolongkan pada perbuatan Salimara dimana hukummannya, para plaku baik ayah maupun putrinya dikenakan hukuman Niladung, yakni ditenggelamkan ke laut hingga mati.**


Zainuddin Tika, SH alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 1990. Jurusan Hukum Pidana. Sekarang menjadi  wartawan pada Tabloid Bawakaraeng sn Tabloid Deteksi, terbitan di Sulawesi Selatan. Juga selaku Ketua Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, yang kini sudah banyak menulis buku-buku yng bernuansa  sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan, antara lain buku  Silariang, Ammatoa (Suku masyarakat tradisionil Kajang di Bulukumba), Malino Berdarah dan masih banyak judul lainnya yang sudah mencapai 40 judul Khusus masalah  Silariang, ini  sebenarnya  adalah thesis S 1 di Fak Hukum UMJ yang kami garap kembali menjadi  buku..**




Daftar Pustaka
1.    Ali Akbar H. Dr , Merwat Cinta Kasih, Pustaka Antara, Jakarta 1984
2.    Andi Zainal Abidin Farid, Prof. Persepsi Orang Bugis Makassar Tentang Hukum dan Dunia Luar, Alumni,  Bandung 1983.
3.    Bismar Siregar, SH. Parof. Keadilan Hukum  Dalam Sspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta, 1986.
4.    Bertling C,T Mr. Huelijk En Huwelijrecht In Zuid Celebes.tth
5.    Chabot H.Th. Verwatenschap Stand En Sexe In Zuid Celebes t,  Groningen, Jakarta, 1950. Gerson Bawengan SH, Drs, Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
6.    Gerson Bawengan, Pengantar Psykologi Kriminil Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
7.    Koentjaraningrat, Kebudayaan Mmentalitet dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta 1985.
8.    Muin MG A. Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra, Siri’ na Pacce, Makassar Pres  1970.
9.    Nasir Said Moh, Siri’ dala Hubungannya dengan perkawinan ddi Masyarakat Mangkasara Sulsel,  P. Sejahtera, 1962, Ronny Niti Baskara, Prof.  Dr. Kriminologi, Diktat Kuliah di Fak. Hukum Universitah Muhammadiyah Jakarta 1988.
10.  Roeslan Saleh, Prof. Mr. Perbuatan 
Tinjauan Hukum Pidana dalam Kasus Silariang
Di Sulawesi Selatan sejak dari dulu hingga kini, kasus silariang (kawin lari) masih sering terjadi. Walaupun sanksinya berada di ujung badik bagi sipelaku silariang, namun masyarakat Sulsel khususnya bagi suku Makassar, namun sanksi itu, tak dihiraukan. Selama cinta  bersemi bagi kedua belah pihak, sanksi mautpun akan tetap dihadapi. Dalam kasus silariang ini tidak jarang, bagi si pelaku  dihadang oleh Tumasiri’ (dari pihak keluarga perempuan yang kadang berakhir dengan penganiayaan atau bahkan pembunuhan bagi sipelaku silariang yang disebut Tumanyala atau keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’.
Bagi suku Bugis Makassar, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut masalah siiri, dan disisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum pidana. Kedua hukum yang hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus dilariang saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum adat  mengatakan, membunuh  si pelaku silariang dengan alasan siiri’ tidak bisa dikenakan hukuman, karena ia  dianggap sebagai pahlawan yang  membela siri’nya. Disisi lain, dalam hukum pidana , tidak menerima alasan  kalau ada terjadi kasus pembunuhan termasuk  alasan siri’, dan pelakuya bisa dikenakan  pasal pembunuhan atau penganiiayaan dalam KUHP. Lalu bagaimana tinjauan hukum pidana terhadap adanya pembunuhan atau penganiayaan dalam kasus silariang?
Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara  sepasang laki-laki dan perempuan dan keduanya sepakat untuk melakukan kawin lari. Jadi disini yang dimaksud laki-laki dan permpuan, tidak terbatas pada kaum pemuda dan pemudi yang belum beristri, tetapi juga  berlaku bagi   laki-laki dan perempuan yang sudah kawin. Apakah mereka kawin lari sama-sama  anak muda atau kedunya sudah kawin atau yang satu sudah kawin yang satu lagi belum beristri atau suami.
Menurut Dr. TH. Chabot dalam bukunya Verwatenschap Stnd en Sexse in Suid Celebes mengtakan, Perkawinan Silariang adalah apabila gadis/perempuan dengan pemuda / laki-laki setelah lari bersama-sama..
Pengertian Silariang ini diperjelas oleh budyawan Suilsel H. Moh Nasir Said   mengatakan : Perkawinan Silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah pemuda / laki-lki dengan gadis / perempuan lari bersama-sama atas kehendak sendiri-sendiri. (H. Moh Nasir Sair, Siri’ dalam Hubungnnya dengan Perkawinan Adat Mangkasara, P. Sejahtera, makaar, 1962, hal.26)
Hal senada juga disampaikan oleh Bertlin dalam bukunya Huwelijk en Huwelijkenreht in Zuid Celebes mengatakan; Silariang adalah apabila gadis/perempuan dengan laki-laki setelah lari bersama atas kehendak bersama.


Dari pengertian tersebut diatas jelas bahwa  kawin silariang itu apabila memenuhi syarat yakni :
1.    Dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan
2.    Sepakat untuk lari bersama untuk menikah
3.    Menimbulkan siri’ bagi keluarganya dan dapat dikenakan sanksi
Dari unsur tersebut  diatas  sangat jelas, bahwa kawin silariang itu dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Jadi disini tidak terbatas pada bujang  dan gadis, tetapi juga bagi  laki-laki yang sudah beristri  atau perempuan yang sudah bersuami bisa melakukan silariang, baik  yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Bisa juga sama-sama  belum menikah alias  bujan atau gadis. Bisa juga  bersilang  misalnya laki-laki yang sudah beristri dengan  gadis atau bujang dengan orang yang sudah beristri..
Perkawinan silariang ini  dilakukan  atas kata sepakat dari kedua pelaku silariang, yakni dari pihak laki-laki  dan perempuan yang akan kawin lari, Mereka sepakat lari bersama menuju suatu daerah untuk menikah di depan penghulu. Biasanya daerah yang ditujuh agak jauh dari tempat tinggal semula, bisa juga menyeberang laut, supaya jauh dari Tumsiri’nya (keluarga pihak perempuan)
Penghulu atau imam yang akan menikahkan kedua pasangan ini, terlebih dahulu menghubungi  pihak keluarganya, terutama kedua orang tuanya untuk dimintakan persetujuan atau  Rella, Bilamana tidak ada persetujuan dari orang tua,  cukup keluarga dekatnya . Bila tak ada rella, maka Imam  dengan melihat kondisi yang ada, tetap menikahkan kedua pasangan ini menjadi suami istri. .Imam khawatir, kalau tidak cepat dinakahkan, akan terjadi persinahan dari kedua pasangan ini..
Pada kawin silariang ini pula, bagi suku Makassar jelas  menimbulkan siri’ utamanya bagi pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’. Dengan alasan Siri’ , maka pihak keluarga perempuan oleh hukum adat Makassar diwajibkan baginya untuk menegakkan siri, bahkan tidak sedikit diantaranya penegakan siri’ ini berakhir dengan  pembunuhan pada pelaku silariang yang disebut Tumannyala.
Pada zaman dulu, kala  komunikasi belum secanggih sekarang ini, menurut budayawan Gowa H. Halik Mone, anak gadis yang ada  dalam  rumah tangga itu bagaikan mahkota yang harus dijaga keahliannya. Ibarat telur, kalau pecah sedikit maka tidak ada lagi harganya. Untuk itu, orang tua maupun keluarga dari gadis tersebut tidak menginginkan anak  gadisnya dipermainkan orang.
Selanjutnya dikatakan, seorang gadis, sangat rawan dengan siri’. Pada masa dulu, bila seorang pemuda  melihat aurat gadis,  maka gadis itu  malu.  Biasanya gadis itu  mandi di sumur, tiba-tiba aa pemuda yang lewat, dan secara tidak sengaja kain yang dipakai gadis itu melorot hingga kelihatan, maka peristiwa itu bagi gadis dianggap siri’. Untuk menutupi rasa malu, maka gadis  itu minta dinikahkan. Kalau orang tua tak setuju, itulah terjadi kawin silariang. 
Orang tua menginginkan, kalau gadis atau pemuda itu tiba  masanya untuk kawin, maka mereka bisa  melkukan prosesi perkawinan yang dimulai dengan acara melamar (ajjangang-jangang). Kalau lamaran diterima, tinggal ditentukan kapan pestanya. Namun yang menjadi masalah, kalau orang tua dari pihak perempuan tidak menyetujui laki-laki yang dicintai anak gadisnya. Orang tua tak menyetujui mungkin karena perilaku  laki-laki itu tidak baik, misalnya sukaa mencuri, pemabuk, pemain perempuan dan sebagainya,m atau karena perbedaan strata sosial atau faktor ekonomi , mungkin karena miskin, sehingga lamaran ditolak.
Kalau lamaran sudah ditolak, lalu kedua sejoli ini ingin sehidup semati, maka jalan yang ditempuh adalah  silariang. Silariang ini dilakukan oleh kedua pasangan ini sebagai protes atas ketidak setujuan orang tuanya pada pemuda pilihannya.
Gadis atau perempuan  dengan pemuda atau laki-laki yang mau kawin lari ini  harus melakukan siasat. Agar tidak diketahui oleh keluarganya. Siasat itu  antara lain, perempuan itu biasanya mencuci pakaian di sungai. Disaat hendak ke sungai, maka pakaian yang akandibawa itu disembunyikan disela-sela semak belukar atau di rumah  sahabatnya  yang dipercaya tidak akan membuka rahasia.
Setelah semua sudah siap, maka laki-laki yang akan menjemput perempuan tersebut, biasanya dilakukan pada palam hari, sebab kalau siang khawatir ketahuan, banyak orang yang lihat.  Kedatangan laki-laki untuk m,enjemput perempuan, harus dengan kode tertentu, misalnya memukul benda-benda atau tepuk tangan atau kode apapun sesuai  kesepakatan mereka.
Kalau laki-laki itu sudah ada disekitar rumah perempuan, maka perempuan itu perlhan-lahan melangkah  ke pintu belakang, lalu turun melalui tangga. Setelah keduanya ketemu, barulah keduanya bergeras mengambil barang-barang yang disimpan di semak-semak atau di rumah sahabatnya. Setelah semua persiapan sudah ada, maka keduanya lari ke suatu daerah menuju rumah penghulu atau imam dengan tujuan untuk menikah sebagai suami isteri.
Biasanya laki-laki dan perempuan yang akan lari, mengajak teman-temannya untuk mengantar ke rumah imam. Bantuan pada rekan-rekannya itu dimaksudkan, karena perjalanan pada malam hari ini sangat  rawan, terutama bila diketahui keluarga  dari pihak perempuan, maka bisa saja celaka mati di ujung badik. Kalau ada temannya, bisa saja membantu  mereka disaat  menemui rintangan.
Keesokan harinya, setelah peristiwa silariang, maka orang tua gadis itu mencari anak gadisnya, kemana gerangan. Setelah dicari informasi, terdengar berita dari kampung seberang, bahwa anak gadisnya itu  melakukan silariang dengan laki-laki pilihannya.
Setelah mengetahui bahwa anak gadisnya itu  melakukan kawin silariang, maka orang tua gadis itu melakukan  abburitta atau memberitahu pada sanak keluarganya bahwa anak gadisnya itu melakukan silariang atau A’lampa kodi (pergi meninggalkan rasa malu). Pihak keluarga yang sudah mendapat berita itu, juga selalu siap untuk mengambil tindakan penegakan siri’ bilamana  menemukan  kedua pelaku yang dianggap mempermalukannya itu. Pihak keluarga perempuan  yang mengetahui itu, tidaklah  sengaja mencari kedua pelaku sampai ketemu, akan tetapi  bila secara kebetulan ketemu di sebuah jalan, lantas laki-laki itu tidak lari, maka ia dianggap laki-laki tidak tahu diri dan pihak keluarga perempuan bisa bertindak untuk memburuh pelaku silariang tersebut. Biasanya kalau laki-laki tidak cepat minta perlindungan, terjadi peristiwa berdarah.

Nilariang
Sulain itu,  ada juga satu jenis perkawinan yang dilarang oleh adat Makassar yang disebut   kawin  Nilariang.  Kalau kasus Silariang ini dilakukan atas kata sepakat bagi kedua pelaku silariang untuk lari bersama untuk  kawin, maka  dalam kasus Nilariang ini, kehendak untuk kawin lari, datangnya dari pihak laki-laki.  Kalau kehendak kawin lari datangnya dari pihak laki-laki, maka itu berarti,  perempuan yang akan dilarikan itu  dilakukan secara paksa atau tipu muslihat.
Ini sering terjadi, kalau laki-laki itu sangat mencintai  gadis yang diinginkan, kemudian  setelah  melamar gadis itu,  orang tuanya menolk atau gadis itu sendiri yang menolak  dengan berbagai alasan. Biasanya, disertai dengan kata-kata yang kurang enak di dengar oleh pihak laki-laki, sehingga laki-laki yang melamarnmya itu merasa sakit hati. Sakit hati  laki-laki itu, membuat ia dendam.  Laki-laki itu mau balas dendam dengan berbagai cara, anatara lain menculik gadis itu, kemudian membawanya ke sebuah tempat,  lalu memperkosanya.
Atau juga gadis itu,  saat diculik, ia berada dalam ancaman. Bilamana tak mau mengikuti kemauan laki-laki itu, ia diancam dibunuh atau diapakan, sehingga  gadis yang diculik itu, mau menuruti apa saja yang menjadi kemauannya, termasuk dinikahkan dengannya menjadi suami istri.
Ada pula yang dilakukan dengan cara tipu muslihat, yakni  gadis itu dijanjikan sesuatu, misalnya pekerjaan  atau hadiah, kemudioan dibawa ke suatu tempat. Di tempat yang sunyi dan sepi itulah,  gadis itu dipaksa menuruti kemauan laki-laki itu,  kalau menolak, laki-laki itu memperkosanya hingga hamil.
Kasus semacam ini banyak terjadi, hingga membuat  gadis itu jadi pelacur di tempat prostitusi. Merka pertamanya diiiming-imimng sebuah pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tapi apa daya, ternyata hanya tipu muslihat dan tidak ada kekuatan bagi   seorang wanita untuk melakukan perlawanan, mereka poasrah diapakan saja, termasuk berhubungan badan. Bila sudah terlanjur, maka, perempuan itu akhirnya melacuran diri, seperti yang banyak terjadi sekarang ini.* 

Erang Kale
Jenis lainnya dari   silariang adalah, ada yang dinamakan kawin Nilari atau Erang Kale. Pada kasus kawin  Erang kale atau Nilari ini  datangnya dari pihak perempuan. Perempuan itu lari ke rumah imam, lalu menunjuk  laki-laki yang pernah menggaulinya.  Dengan demikian, laki-laki yang ditunjuk itu harus bertanggung jawab atas perbutannya untuk mengawini perempuan yang menunjuknya.
Perempuan seperti ini, mereka biasanya larut dalam pergaulan bebas. Ia bnyak berhubungan laki-laki satu dengan laki-laki lainnya. Disaat berduaan, kadang  setan  menggodanya untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, mka terjadilah perbuatan  seperti layaknya suami istri.
Setelah  perempuan itu hamil, maka laki-laki yang pernah diajaknya berhubungan,  sudah tidak nampak lagi. Mereka melarikan diri dan tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, sengakna perempuan yang pernbah digaulinya  sedang hamil dan berada dalam ancaman dari pihak keluarganya terutama orang tuanya.
Untuk menyelamatkan jiwanya, maka perempuan itu lari  ke rumah imam. Di rumah imam itulah, baru perempuan iotu menunjuk laki-laki yang pernah menggaulinya. Bila laki-laki itu ada, maka   dipaksa untuk menikahinya, kalau tidak mau, maka  tumasiiri’ (keluarga dari pihak perempuan) akan menindakinya , biasanya  membunuh laki-laki itu, karena dianggap mempermainkan  anak gadisnya hingga hamil dan itu dianggap siri’..
Biasanya , kalau tidak ada laki-laki yang mau bertanggung jawab, maka biasanya, ditunjuk  laki-laki yang mau secara sukarela mengawini  perempuan tersebut. Perkawinan seperti ini disebut Pattongkok siiri’ (penutup malu).

Anynyala Kalotoro
Ada juga  kasus yang dilakukan oleh  gadis atau perempun yang sudah beristri dengan jalan lari ke rumah imam tanpa  ada laki-laki yang ditunjuk untuk mengawininya. Wanita itu  mungkin sudah hamil, tapi ia tidak tahu laki-laki mana yang ditunjuk  bertanggung jawab. Disisi lain, pihak keluarganya juga mempertanyakan kehamilannya, dan siapa laki-laki yang menghamilinya. Untuk menyelamatkan jiwa perempuan itu, biasanya   ia lari ke rumah imam untuk minta perlindungan dan mencarikan solusinya.
Ini juga termasuk perempuan yang suka bergaul bebas. Mereka banyak berhubungan dengan laki-laki siapa saja yang dikenalnya, dan mereka menuruti ajakan laki-laki yang membawanya itu, termasuk berhubungan badan.  Laki-laki yang pernah berhubungan dengannya, bukan hanya satu, tetapi banyak, sehingga bila permpuan tu hamil, sulit menunjuk, siapa laki-laki yang bertanggung jawab. Untuk menyelamatkan jiwanya, perempuan malang itu lari ke rumah imam tanpa ada laki-laki yang membawanya.
Biasanya, pada kasus ini, kalaun tak ada laki-laki yang  mau bertanggung jawab, maka ditunjuk laki-laki mana saja yang mau menikahinya, setelah itu apakah mereka meneruskan parkawinan atau cerai, yang penting sudah ada   laki-laki yang mau bertannggung jawab. Peristiwa semacam ini disebut Annyala Kalotoro yakni perempuan  kawin lari tanpa  ada laki-laki yang bertanggung jawab.*

Salimara
Ada pula jenis perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat, karena terkait dengan adanya hubungan darah yang sangat dekat, misalnya antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya atau sesama saudara. Perkawinan seperti ini oleh orang Makassar disebut Salimara.
Kalau kasus silriang, nilariang atau Erang Kale masih ada jalan keluarnya, yakni setelah mereka dinikahkan, maka  persoalan sebagai suami istri sudah selesai. Tetapi pada kasus Salimara,  merupakan kasus yang tak berujung. Keduanya sulit dikawinkan, karena terikat hubungan darah yang terlalu dekat. Pada kasus Salimara ini, pada zaman dulu, biasanya kedua pelaku Salimara dikenakan hukuman niladung. Hukuman Niladung adalah  kedua pelaku itu diikat, lalu digantung batu sebagai pemberat, lalu keduanya ditenggelamkan ke tengah  laut atau sungai hingga mati.
Ada kepercayaan dari masyarakat Bugis Makassar tentang adanya kasus ini. Bila ada kasus Salimara terjadi di sebuah kampung, maka itu menurut kepercayaan masyarakat, nasib sial yang akan melanda  kampungnya dan seluruh warga dalam kampung itu akan merasakan akibatnya, misalnya  tanaman rusak, ikan pada menghilang di kali, hewan piaraan mati dan penyakit akan  melanda masyarakat. Dari pada seluruh masyarakat merasakan akibatnya, itulah sebabnya, masyarakat setempat harus melenyapkan kedua pelaku salimara tersebut dengan jalan  Niladung.
Kalau pelaku Salimara ini tidak dikenakan hukuman niladung, maka biasanya keluarga atau wrga setempat menganggap pelaku ini sudah mati atau Nimateangi. Kalau sudah ada sanksi Nimateangi, maka  baik hunungan kekeluargaan maupun  harta  warisan dari orang tuanya, sudah putus, karena dianggap pelaku ini sudah mati, walaupun kenyataannya masih ada.
Baik kasus Silariang, Nilariang,  Erang Kale atau Nil;ari, Annyala Kalotooro  dan Salimara, semuanya itu berkibat siri’ (malu) bagi pihak keluarga  perempuan. Siri’ disini bukan hanya diartikan sebagai malu-malu, tetapi  lebih mendalam lagi, siri’ merupakan harga diri, kehormatan atau martabat sebagai seorang manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah SWT.
Menurut budayawan Makassar, H,. Abd Haris Dg Ngasa, bahwa arti Siri’ itu merupakan akronim dari kata Sikedde Rinring (sedikit atau tipis dinding). Ini berarti martabat atau sifat antara   manusia dan binatang  dinding atau pembatasnya sangat tipis. Itulah sebabnya, ada orang yang wujudnya seperti manusia, tapi perbuatannya seperti binatang. Dikatakan perbuatannya seperti binatang, karena mereka   melakuklan hubungan badan tanpa nikah sama dengan binatang. Kata orang Batak Amanimanuk (kawin seperti ayam). Jadi disini, dinding pembatas antara sifat manusia dan binatang sangat tipis.
Dengan alasan Siri’ inilah, mak kasus membela harga diri bagi suku Makassar tidak bisa lagi ditolerir. Dalam hukum adat mengharuskan pada seseorang yang merasa dipermalukan (dari pihak keluarga perempuan) untuk menegakkan siiri’ keluargnya. Dan biasanya berakhir dengan  pembunuhan atau penganiayaan.
Keluarga dari pihak perempuan, setelah mendengar anaknya mel;akukan  silariang,  mereka akan menemui   kaluarganya untuk Appala Siri (minta bantuan pada keluarga untuk menegakkan siiri’nya). Pihak keluarga yang tahu bahwa  anak kemenakannya itu   silariang maka mereka  siap-siap mengambil tindakan, bilamana di suatu saat atau di suatu tempat ketemu orang yang melarikan anaknya, mereka   bisa menindakinya, baik dengan cara mengusir,  memukul atau tidak sedikit diantara pelaku silariang ini menemui ajalnya di ujung badik.
Sebaliknya bagi pelaku Silariang, mereka juga melakukan kawin Silariang, karena  beberapa alasan, antara lain, karena  pinangannya ditolak, mungkin ditolak karena  perbedaan strata sosial,  karena miskin atau karena punya  istri atau alasan lainnya. Mereka  melakukan kawin silariang dengan tekad yang bulat, yakni muntuk membentuk keluarga. Walaupun  mereka tahu, bahwa ini mengandung resiko yang sangat berat, yakni bisa saja kedua-duanya  celaka mati di ujung badik dari tangan pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’.
Walau rintangan  seberat itu menghadang, tapi bagi pelaku silariang yang disebut Tumannyala, tak gentar menghadapinya., apapun resikonya, termasuk  maut. Para pelaku silariang, khusunya  laki-laki, biasanya ia selalu siap sedia senjata tajam dengan menyelipkan badik di pinggangnya, kemanapun ia pergi. Ini dimaksud, bila mana suatu saat mendapat tantangan  maka ia melakukan pembelaan diri.
Walaupun sanksi yang ditetapkan pada pelaku Silariang atau Tumannyala ini sangat berat, akan tetapi  Hukum Adat Makassar juga memberikan batasan pada Tumasiri’ untuk mengambil tindakan pada Tumannyalanya. Para Tumasiri’ tidak bisa mengambil tindakan sembarangan. Mereka harus mengetahui di tempat mana yang boleh atau tidak boleh melakukan tindakan.
Hak Asyil Dalam Hukum Adat Makassar
Dalam hukum Adat Makasar, batasan bagi Tumasiri’  untuk memngambil tindakan dibatasi  dalam hal-hal tertentu. Bilamana Tumasiiri’ memburu Tumannyala, kemudian Tumannyala melemparkan apa yang melekat di badannya, misalmnya songkok atau baju masuk dalam pekarangan orang lain,  atau kalau berada di pematang sawah di buruh kemudian menghindar turun ke sawah, maka itu berarti  Tumannyala dianggap  sudah minta perlindungan. Dan kalau Tumannyala sudah minta perlindungan seperti itu, maka Tumasiri’ tak boleh lagi melakukan tindakan pada Tumannyalanya. Dalam Hukum Internasional, hak hak minta perlindungan disebut hak suaka atau hak asyil.
Hak asyil atau hak minta perlindungan atau hak suaka dalam hukum adat Makassar sebenarnya sudah  ada sejak \zaman nenek moyang kita dulu yang mengatur tentang  sanksi yang bola atau tidak bola diberikan oleh Tumasiri pada  Tumannyalanya. Ternyata, hak asyil ini  ternyata ada persamaan   dalam hukum Internasional yakni hakl untuk minta suaka politik.
Dalam suatu negara, bila ada warga negara yang melakukan pelarian politik ke suatu negara, maka  cukup warga negara itu masuk ke kantor kedutaan besar   dari negara yang diinginkannya atau larui ke negara yang diinginkan, kemudian minta pada pemerintah negara  itu  atau duta besarnya, supaya dilindungi dari kejaran dari petugas hukum  dari negara asalnya.
Ini kalau  ada kasus demikmian,  kalau seseorang sudah memasuki kedutaan besarnya dan minta perlindungan, maka polisi atau penegak hukum lainnya tak bisa berbuat apa-apa, sebab dianggap sudah masuk dalam wilayah hukum negara yang  asing itu. Polisi Indonesia tak bisa berbuat apa-apa dan itu sudah masuk wewenang   pemerintah negara yang dimasukinya, misalnya kedutaan besar belanda. Itu menjadi wewenang pemerintyah Belanda.
Kemudian, apakah hukum Internasional  meratifikasi hukum Adat Makassar atau kebetulan  sama bentuknya antara hukum adat Makassar dengan hukum Internasional. Kalau memang kebetulan sama, berarti hukum Adat Makassar lebih dulu menerapkan hak suaka dibanding hukum Internasional.*
Abbaji
Antara Tumannyala dan Tumasiri’ ini bagaikan kucing dan anjing. Tak bisa akur  selama dalam proses silriang. Akan tetapi, bila pelaku Silariang ini, meminta rela  kepada  kedua orang tua perempuan  dan disetujui, maka selanjutnya dilakukan acara  damai yang disebut Abbaji.
Para Tumannyala, biasanya melakukan silariang  bertahun-tahun lamanya, bahkan ada sampai becucu di tempat pelariannya baru kembali  berdama dingan orang tuanya. Tapi ada pula yang hanya beberapa bulan, orang tua yang berangkutan memberikan rella atau persetujuan untuk kembali berdamai.
Dalam kasus silariang , biasanya kedua orang tua   setuju kalau  anaknya  kembali  abbaji, tapi ada salahg satu keluarganya, misalnya saudaranya yang  tegas menolak  Tu,annyalanya itu untuk datang abbaji. Bila Tumannyala  menemui kasus seperti itu, bisanya  proses  menuju perdamaian   agak lama dan bahkan tidak kunjung jadi abbaji lantara   ada salah satu keluarganya yang menolak kedatangannya.
Bilamana sudah  ada acara Abbaji ini, maka  anak yang anak atau kedua pelaku silariang ini, tadinya dianggap musuh bersama dari pihak keluarga perempuan, kemudian, berbalik seratus persen. Kedua pelaku silariang itu   sudah dianggap anak. Bila sudah ada acara Abbaji, maka tidak ada lagi namanya Tumasiri’ dan Tumannyala, sanksi adatpun tidak bisa diperlakukan.*.

Silariang di Abad Modern
Perkawinan silariang pada zaman dulu sangat jauh beda dengan abad sekarang ini. Kalau dulu, untuk ketemu dengan sang kekasih saja sangat susah.  Pertemuan sering terjadi bila ada pesta rakyat, musalnya acara olahraga A’raga (main raga), tau ganrang pakarena (gendang tradisionil). Pada saat itu gadis dan laki-laki ketemu, dan dari situlah mulai terjadi komunikasi akhirnya menjurus pada pacaran (Abbayuang) . Bila  laki-laki dan gadis itu abbayuang,  kemudian lanjut ke jenjang berikutnya untuk membentuk suatu rumahtangga.
Namun  kawin silariang di abad modern ini cukup mudah dilkukan, karena bisa saja kedua belah pihak, pemudan dan gadis  berjauhan atau bahkan diantarai samudra yang luas, tetapi komunikasi mereka sangat dekat. Sebab bisa saja mereka bicara setiap saat lewat telpon atau HP atau bahkan internet atau facebook yang marak sekarang dilakukan oleh kawula muda.
Dalam komunikasi lewat alatb teknologi canggih tersebut, mereka bisa saja janjian ketemu di sebuah tempat untuk memadu kasih atau bermesraan tanpa diketahui oleh keluarganya. Baik gadis maupun pemuda sekarang sudah bebas  berkeliaran  kemana saja dengan berbagai alasan, misalnya me rumah teman atau ke  sekolah, ke kantor dan alasan lainnya, tetapi sasarannya menuju ke sebuah tempat yang telah disepakati untuk memadu kasih.
Kalau dulu, pergaulan anatara laki-laki dan perempun sangat dibatasi,  orang tua mereka melarang anak gadisnya keluar rumah bila tak jelas tujuannya, pkaiannyapun harus menutup aurat. Sekarag ini,  pakaian yang you can see sudah tidak tabu lagi dugunakan oleh kaum hawa  Walau banyak diantara kaum hawa yang berpakaian menutup aurat, tapi pergaulan mereka cukup luas.
Untuk melakukan silariang di abad modern ini, sangat mudah. Laki-lki cukup berkomunikasi dengan kekasihnya, kemudian janjian ditunggu di sebuah tempat. Setela keduanya ketemu, mereka bisa saja menuju ke sebuah tempat di rumah imam untuk dinikahkan. Imam yang menerima kedua anak ini,  bisa melakukan komunikasi lewat HP pada orang tunya bahwa anaknya  silariang dan minta rella untuk dinikahkan.
Sering kita dengar sekarang, hanya  karena main facebook. Seorang gadis melarikan diri pada teman facebooknya.  Untng kalau  gadis itu lari kemudian  nikah, tetapi kalau  pertemuannya   hanya untuk memadu kasih dan  akhirnya bersina, maka sangat berbahaya bagi kaum perempuan. Sebab dalam pergaulannya diluar  batas itu, bisa saja perempuan itu hamil diluar nikah, kalau laki-laki mau bertanggung jawab, tak ada masalah, tapi kalau tidak, maka perempuan itu sangat menderita, sebab tak ada laki-laki yang bisa ditunjuk untuik bertanggung jawab.
Itulah sebabnya, silariang sekarang, bukan lagi perempuan itu dijemput di rumahnya untuk lari bersama , tetapi perempuan itu  sendiri yang membawa dirinya (erang kale) ke  laki-laki , kemudian lari bersama  ke rumah penghulu untuk nikah.  Atau ada juga yang dilakukan dengan tipu muslihat, yakni sengaja dipacari  perempuan itu, kemudian setelah perempuan itu hamil, mereka lari dari tanggung jawab., membuat perempun itu  merana sepanjang masa.**

Selingkuh dan Silariang
Perzinahan atau dalam bahasan krennya adalah perselingkuhan sangat erat kaitannya denga  kasus silariang, Dari hasil penelitian penulis di masyarakat , banyak kasus silariang yang  didahului dengan  kasus perselingkuhan. Selingkuh bisa membuat wanita itu hamil. Bila   wanita selingkuhannya itu hamil, biasanya mereka melakukan jalan pintas, yakni silariang denga  pacar selingkuhannya.
Walaupun dalam hukum islam, perselingkuhan dilarang keras, tapi kenyataannya banyak juga yang melanggar noirma ini. Mereka tergoda dengan   nafsu syetan yang membuat mereka nekat melakukan perbuatan selingkuh.
Dalam Surah Al Isra ayat 32 secara jelas dikatakan : Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk.
Dari bunyi ayat tersebut jelas melarang setiap orang untuk menghapiri zina, apalagi kalau sampai melakukannya, sungguh itu   adalah dosa besar bagi yang melakukannya.
Pada negara-negara barat, melakukan hubungan seks sebelum  nikah, nampaknya sudah membudaya dikalangan masyaeakat, khusunya  dikalangan remaja poutra dan putri. Jangankan di negara barat, di negara  kita Indonesia, banyak terjadi  kasus persel;ingkuhan  atau kasus  pezinahan  di tempat protitusi. Dalam hukum adat Makassar, perbuatan  seperti ini dikategorikan sebagai siri’ dan pelakunya dapat dikenalan tindakan pembunuhan.
Beberapa pakar seksologi dari belanda mengemukakan hasil peneliitiannya, yakni :
1.    Dr C. Van Ende Boas, seorang sexulogi Belanda mengemukakan,  wanita-wanita muda yang kawin sekarang ini, sekitar 90 persen tidak gadis lagi diwaktu mereka menikah. Kebanyakan dari mereka sudah melakukan hubungan kelamin dri orang lain selain dengan calon suaminya.
2.    Dr. H. Musaph berpendapat,  dalam jangkla beberapa tahun terakhir, dibawa pengaruh perubahan-perubahan sosial, timbul anggapan bahwa melakukan hubungan seks dengan  teman tetapnya adalah soal biasa atau lumra dan itu adalah hak mereka.
3.    Dr. Elco D Wassenaar, sarjana Psykologi Berlanda, mngatakan, agama tidaklah memegang peranan penting lgi dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Dahulu orang masuk dalam salah satu gereja karena mengharapkan jaminaan sosialnya. Sekarang jaminan sosial adalah diadakan oleh pemerintah, sehingga agama tidak diuperlukan lagi. (Dr. H. Ali Akbr, Merawat Cinta Kasih, Pustaka Antara, Jakarta, 1984, hal 168).
Dari apa yang dikemukakan oleh pakar seksulogi Belanda diatas, menandaakan  bahwa freeseks di negara barat sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Nampaknya anggapan seperti itu, sudah masuk ke Indonesia, baik di kota besar maupun di daerah pedesaan. Terbukti,  pada setiap pemberitaan mass media, baik elektoronik maupun media cetak, setiap saat banyak terjadi kasus  perzinahan atau selingkuh.
Budaya freeseks di Indonesia juga sudah menjamur dimana-mana. Hal dapat dibuktikan dengan  menjamurnya tempat pelacuran, bahkan secara terang-terangan  perselingkuhan atau perzinahan banyak dilakukan si tempat prostitusi, belum lagi  namanya kumpul kebo’ atau  lebih kejam lagi berselingkuh sambil memvidiokan  dan menyebarrkan ke publik.
Dalam pasal 284 KUHPidana juga sangat  mempersempit pengertian zina, yakni hanya orang yang sudh bersuami atu beristri melakukan hubungan seks diluar nikah. Bilamana hal ini terjadi pafa  remaja, maka itu  menurut KUHP tidak dikategorikan zina.
Dengan demikian, yang dimaksud zina dalam KUHP adalah laki-laki atau perempuan yang sudah beristri (bukan suami istri) melakukan hubungan seks secara tidak sah. Kalau ada salah satu pelaku yang belum bersuami atau beristri (bujan/gadis) melakukan hubungan seks dengan seseorang bersuami atau beristri, maka dalam KUHP yang dianggap sebagai pelaku utama adalah orang yang sudah bersuami atau beristri, sedangkan gadis atau bujang yang terlibat dalam kasus tersebut, hanya masuk sebagai pembantu terlaksananya perbuatan zina atau selingkuh tersebut.
Jadi kalau begitu, bagaimana halnya yang berzina itu adalah orang yang belum bersuami atau beristri (jejaka dan gadis). Aoakah ini masuk zina? Tentunya kasus ini tidak diatur dalam KUHP, tau tidak dapat dikatakan sebagai suata kejahatan seksual. Apa lagi kalau perbuatan seks itu  dilakukan atas dasar suka sama suka.
Walupun kasus ini masuk ke pengadilan, hakim yang berpedoman pada KUHPidana jelas membebaskan para terdakwanya. Pernah salah seorang guru menggagahi anak muridnya, dan kasusnya diproses sampai ke Pengadilan, tapi  hakim  memutus bebas  perkara tersebut dengan alasan perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan keduanya sudah dewasa  tapi belum menikah (Bismar Sioregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional . Hal 138)
Dengan adanya kasus pembebasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dari kasus asusila tersebut, maka bila kasus ini dilihat dari  kacamata adat istiadat yang berlaku di negara kita ini, hakim tak sepantasnya membebaskan terdakwa dari kasus tersebut, karena itu berarti menginjak-injak perasaan masyarakat. Kemana lagi mereka akan meminta perlindungan hukum. Hal ini juga mengancam kehidupan generasi dimasa datang dari kasus kesusilaan. Seorang hakim yang baik, tentunya jangan terlalu kaku menafsirkan aturan yang berlaku. Menghukum suatu perbuatan yang tidak diatur dalam  KUHP itu sangat dimungkinkan oleh Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 tahun 1970 khususnya pasal 14 ayat 1 dijelaskan :
“Pengadilan tidak akan boleh menolak untuk memeriksa dan mengadiili suatu perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum  tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadlijnya
Dari kasus tersebut, memang hakim tetap mengadili kasus kesusilaan , tetapi dalam putusannya nanti, tetap membebaskan terdakwa dari hukuman. Putusan tersebut, bila dilihat dari segi keadilan hukum, memang adil, karena memang KUHP tidak  menghukum kalau hubungan seks dilakukan  atas dasar suka sama suka pada orang yang masih gadis atau bujang. Tetapi dilihat dari segi keadilan hukum  masyarakat, itu tidak adil. Tentunya mereka tidak ingin generasinya terjerumus dalam perbuatan asusila itu.
Hubungan seks  antar lki-laki dan perempuan tnpa nikah disebuit dengan freeseks dan dalam islam disebut zina (H. Ali Akbar: hal 94).
Hukuman  zina  atau selingkuh  daalam Islam jelas diatur dalam Surah An Nur ayat 2 “ disebutkan: :Pezina perempun dan pezina laki-laki masing-masing mereka hendaklah  mereka kamu hukum dera sertus kali, dan jangan kamu dipengaruhi belas kasihan terhadap hukum agama Allah. Jika kamu sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan hari kiamat, hukumann itu hendaklah disaksikan oleh sejumlah kaum muslimin”.
Karena negara kita berdasarkan Pancasila yng menjunjung tinggi nilai-nila KeTuhanan Yang Mahaesa, maka dalam pelaksanaan  aturan di negara ini, harus dilandasi dengan nilai-nilai KeTuhanan yang tertdapat dalam ajaran agama.
Demikian pula dalam hukum adat kita yang beraneka ragam, tidak  satupun hukum adat yang mewajibkan adanya kasus freeseks di masyarakat, kalaupun itu ada, sungguh sangat bertentangan dengan  falsafah negara kirta yakni Pancasila.
Khusus dalam hukum adat Bugis Makassar, ada yang dinamakan siiri’. Siri’ ini melarang bagi setiap orang untuk melakukan hubungan seks sebelum nikah (zina atau selinmgkuh) dan freeseks. Apabila ada orang yang melanggar aturan ini, sanksinya cukup berat. Yakni pembunuhan terhadap sipelaku.
Apa lagi kalau teman selingkuh sampai hamil, bila mereka berada dalam area hukum adat, mereka akan dihajar habis-habisan. Biasanya pelaku menghindari sanksi adat tersebut dengan jalan melakukan silariang ke rumah imam  lalu  nikah.*


Perkasa, Perkosa , Silariang
Perkosa dan perkasa adalah dua  suku kata yang hampir sama , tetapi maknanya  sungguh jauh berbeda. Orang mendengar kata perkosa,  pasti orang sangat benci pada sipemerkosa dan merasa iba terhadap korban pemerkosaan. Sedangkan mendengar kata perkasa, menjadi dambaan bagi kaum laki-laki yang ingin memiliki tubuh perkasa. Bagi kaum perempuan, khususnya cewek-cewek ingin  menjadi pria dambaanya.
Kasus perkosaan ini bisa saja berakibat silariang, Nilariang atau Erang kale, bahkan Annyala Kalotoro (Lari tanpa ada laki-laki yang bertnggung jawab) .. Kasus perkosaan yang berakibat hamilnya gadis atau perempuan, mereka bisa menyelamatkan dirinya dengan jalan lari ke rumah imam, lalu menunjuk orang yang pernah menggaulinya untuk bertanggung jawab, atau bisa juga kawin dengan pria mana saja sebagai kawin Pattonkok siri’ untuk menutupi aibnya, agar anak yang lahir kelak punya ayah dan ibu  juga sudah nikah.
Kasus perkosaan, hampir setiap harinya banyak menghiasi media.  Sipemerkosa tidak lagi memilih perempuan dewasa, tetapi juga anak gadis yang masih  umur belia, anak-anak, bahkan ada orang tua yang memperkosa anaknya sendiri hingga hamil dan melahirkan anak.
Kasus perkosaan ini diatur dalam  pasal 285 KUHP. Dalam pasal tersbut, ditegaskan “Barang sip dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istriny bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas ada beberapa unsur yang perlu dijelaskan, yakni : Barang siapa. Kata  tersebut berarti, orang yang melakukan pemerkosaan atau pemerkosa. Sipemerkosa ini umumnya dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh kaum wanita, namun ini jarang terjadi, kebanyakan dilakukan oleh kaum pria memperkosa perempuan, karena  dilihat dari segi kekuatan  fisik laki-laki lebih kuat dari kaum waanita.
Adapun perempuan yang  sering melakukan perkosaan, adalah mereka yang menderita kelainan seks tu disebut Nymphomania ykni kelebihan seks pada wanita. Untuk melampiaskan nafsunya, bolleh saja perempun itu memperkosa laki-laki yang kemungkinan bisa ia lawan.
Namun dalam KUHP, kasus pemerkosaan itu hanya ditujukan kepada   kaum laki-laki. Pasal ini untuk melindungi kaum wanita dari kejahatan perkosaan. Artinya, kalau ada wanita yang menjadi korban perkosaan, malka laki-laki sipemerkos bisa dikenakan hukuman penjkara. Dalam pasal tersebut terdapat kata ‘memksa seorang perempuan untuk bersetubuh dengannya”. Ini menndakan bahwa wanita yang diperkosa itu tak berdaya, sehingga ia pasrah merelakan kegadisannya direnggut.
Unsur berikutnya adalah paksaan dari pihak laki-laki untuk bersetubuh. Makna kata itu berarti, ada dua kemauan yang saling bertentangan, yakni, kemauan laki-laki supaya wanita itu bisa disetubuhi dibawa ancamannya, Sedangkan kemauan wanita, ingin terbebas dari kasus perkosaan. . Sebab kalau sama-sama mau, berarti itu bukan perkosaan, tetapi masuk perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka.
Wanita yang diperkosa itu, diberikan  dua pilihan, hilang nyawa atau hilang kegadisan. Tapi  wanita yang dibawa ancaman maut, pasrah dan merelakan apa maunya  laki-laki itu untuk memperkosanya. Ada juga wanita diperkosa berontak dan mereka memilih mati dari pada  hilang kegadisannya.
Kasus perkosaan ini banyak diantaranya disertai pembunuhan. Kasus pembunuhan terhadap wanita yang sudah diperkosa umunya dilakukan, karena keduanya (pemerkosa dan korban) sudah saling mengenal, sehingga dikhawatirkan perempuan itu akan membuka aibnya dan bisa menyeretnya ke pengadilan.
Ancaman pasal 285 KUHP tersebut adalah 12 tahun. Setiap kasus pemerkosaan yang ditangani hakim, tidak mutlak 12 tahun, bisa kurang dan bisa juga lebih dari 12 tahun, tergantung dari berat ringannya kesalahan. Kalau banyak unsur yang meringankan kesalahan, maka hukumannya bisa saja kurang dari 12 tahun. Tapi kalau ada unsur yang memberatkan, misalnya disertai pembunuhan, maka hukuman bisa lebih dari 12 tahun atau bahkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Seiiring adanya kasus pemerkosaaan, setelah diproses pengadilan, akhirnya hakim memvonis bebas terdakwa  dengan alasan bahwa  kasus itu bukanlah perkosaan dan hanya dilakukan atas dasar suka sama suka, apa lagi keduanya sama-sama dewasa dan dalam KUHP tidak mempersoalkannya.
Pada kasus tersebut, menurut mantn Hakim Agung Prof.  Bismar Siregar, SH, dapat menimbulkan keresahan bagi :
1.    Si korban merasa tidak mendpat perlindungan hukum.
2.    Si pengusut, penyidik tidak terkecuali penuntut umum akan meraasa kecewa dan kecewa sekli. Bukankah segala jerih payah mereka sia-sia, hanya karena  dasar hukum formal emata.
3.    Masih ada lagi pihak yang ikut berkepentingan yakni masyarakat ituy sendiri. Kekhawatiran  menyelimuti hbti mereka. Siapa tahu kalau bukan hari ini, mungkin besok atau suatu ketika , akan terjadi yang demikian bagi diri dan keluarga. Sehingga mereka berkata, apakah kalau  yang terjadi korban itu keluarga hakim bru ia merasakan apa arti dan akibat korban perkosaan.
4.    Dari satu sisi, si hakim tepat dan benar untuk membuktikan perbuatn tentang perkosaan itu sulit sekali. Jarang terjadi perbuatan perkosaaan tertangkap basah. Pada umumnya laki-laki lihai dan berpengalaman, ia akan berupaya supaya lepas dri jeratan hukum. Karena hukum yang ada sekarang secara formal sulit diterapkan. Setiap perkosaan secara kasar disemak-semk atau secara halus diawali di remang-remang, sudah siap dengan dalih dan alasannya membela diri terutama dari segi hukum mural ( Prof. Bismar Siregar, SH. Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukuim Nasional, CV Rajawali, Jakrta 1986, hal 138).
Pada kasus tersebut, kalau dilihat dari segi KUHP, nampknya bukanlah suatu kasus perkosaan, melinkan kasus perzinahan yang dilaksanakan atas dasar  suka sama suka. Dengan demikian, hakim akan membebaskan dari tuntutan hukum.
Semua orang sependapat tentang pengertian perkosaan yang terdapat dalam KUHP yakni harus ada unsur paksaan kepada pihak perempuan untuk disetubuhi. Kalau tidak ada unsur paksaan, berarti namanya persinahan.
Banyak kasus yang terjadi, pertamanya dimulai dengan kasus perkosaan, tetapi setelah lama, kemudian dilakukan atas dasar suka sama suka. Mungkin karena ketagihan, sehingga aksi berontak itu akan menghilang dan berubah menjadi sukan sama suka.
Bismar Siregar jelaskan, yang dimaksud dengan perkosaan tiada lain adalah termasuk pengertian persinahan. Hanya saja yang berbeda, persinahan itu dilakukan atas dasar  keinginan bersama, hanya saja tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dan labih tegas lagi kita bagi kita yang menganut ajaran agama. Batas zina dengan bukti sina cukup sederhana, hanya secarik kertas berdasarkan ikrar dihadapan Tuhan dan saksinya manusia, bahwa akan menjadi suami istri kekal  dan lestari. Sedangkan sina, kesepakatan itu melanggar hukum, baik yng formal maupun moral. Perkosaan disatu pihak memaksakan kehendaknya, sedang dilain pihak dipaksakan menerimanya (Bismar, opcit hal 145)
Pada pengertian diatas, pada umumnya Bismar rtidak terlalu mempersoalkan poerbedaan antara perkosaan dan zinah. Bahkan dalam penuntutan sutu kasus persinahan tersebut sebagai suatu kejahatan perkosaan / persinahan. Melainkann dituntut dengan kasus penipuan, yang kasusnya terkenl dengan kasus barang.
Menurut Bismar, yang dinamakan barang, karena si pria dengan rayuan gombalnya membujuk si wanita, tetapi kemudian mengingkari janjinya. Oleh Pengadilanm Negeri Medan dipidana ringan. Namun begitu, terdakwa tidak puas dan naik banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Ternyata PT Sumut membatalkan putusan PN Medan, llu menggantinya kasus persinahan dengan kasus penipuan . Dengan pasal persinahan diganti menjadi pasal penipuan, hukumannya bertambah berat, yakni dari 4 bulan untuk kasus persinahan  pada putusan PN Medan  menjadi 4 tahun di PT Sumut  pada kasus penipuan..
Kasus perkosaan bagi masyarakat Bugis Makassar  dikategorikan sebagai siri’. Siri’ itu berarti merendahkan martabat dari pihak perempuan, dan pihak keluarga perempuan oleh hukum adat diwajibkan untuk menegakkan siiri’nya yang biasa berakhir dengan duel maut.
Namun ada  kasus, pertamanya bermotif perkosaan, tapi kemudian perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka, yang berarti unsur paksaan sudah tidak ada. Namun beberapa bulan kemudian, sigadis yang pernah  diperkosa kemudian lanjut persinahan itu hamil. Kalau laki-laki yang menghamilinya mau bertanggung jawab, maka  tak begitu bermasalah, sisa  dinikahkan, selesai masalah. Tapi kalau laki-laki yang ditunjuk tidak ada, atau tidak jelas, maka perempuan itu berstartus Annyala klotoro (kawin lari tanpa ada laki-laki) dan nikahnya bisa dilakukan dengan  sistem pattongkon siri’.
Ada juga setelah diperkosa, laki-laki itu kemudian membawa paksa perempuan (nilariang) ke rumah imam untuk dinikhkan. Perempuan yang  merasa terhina itu akhirnya malu kembali ke rumah orang tuanya . Apa lagi laki-laki yang membawanya mau bertanggung jawab, maka  ia hanya pasrah untuk kawin silariang dengan pemuda yang membawanya itu.**




Pengertian Siri’
Pengerian siri’ telah banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak, baik masyaerakat Suksel, masyarakat diluar Sulsel  dan bahkan dari  para ahli hukum adat  Dalam kajian yang berbed itu, membuat persepsi tentang siri’. Berbeda pula, tergantung dari bagaimana cara mereka memandang siri’ dalam kehidupn masyarakat Makassar.
Bagi masyarakat luar Makassar  banyak yang beranggapan bahwa siri’ itu identik dengan perbuatan kriminal, misalnya menganiaya atau membunuh Tumnasiri’ dianggapnuya perbbuatan kriminal yang dapat  dihukum.
Pandangan ini, hanya melihat dari segi akibatnya. Yakni Tumasiri mambunuh Tumannyalanya dengan alasan siri’. Tapi mereka tidak melihat,  kalau siiri’ ini tidak  ditegakkan, baagaimana kehidupan manusia kedepan. Terbukti, setelah nilai-nila siiri’ bergeser, maka kasus kejahatan seksual merajalela  dimana-mana. Apakah ini ini tidak lebih jahat, bila dibanding dengan membunuh pelaku yang melakukan ejahatan seksual, termasuk  orang yang melakukan silariang, karena biasanya mereka silariang,m karena terlebih dahulu ada hubungan seksuaal diluar nikah dari kedua pasangan itu.
Prof. Cassuto lam bukuny : Het Adat Strafreht in den Nederllanch Achipel, mengatakan, Siri merupakan pembalasan berupa kewajiban moril untuk membunuh puihak yang melanggar ada (dikutip dri buku Prof Moh. Natsir Said : hal 50).
Sedngklan Prof Nasir Said sendiri berkesimpulan bahwa siri’ adalah suatu perasaan malu (krinking / belediging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluaarga / famili yang dialnggar norma adatnya. (Moh Nasir Said : hal 50).
Bagi masyarakat Sulsel khususnya  suku Makassar. Siri’ itu adalah harga diri atau martabat manusia sebagai manusia yang s ebenarnya. Sebab banyk orang yang berwujud manusia, tapi perbuatannya seperti binatang, karena kawin sembarangan , sama seperti binatang.
Dengan adanya Siri’ melarang manusia untuk melakukan hubungan  seksual diluar nikah, karena itu  sama saja seperti binatang, dan keturunan yang dilahirkan adalah lahir dari perbuatan sina dari edua oorang tuanya.
Siri’ disini dimaksudkan untuk memanusiakan manusia. Bagaimana  seorang manusia itu kelakuannya mengikuti tata krama, sopan santun dan aturan yang berlaku di masyarakat.  Bila kelakuannya seperti binatang, maka, jeas sanksi aaat akan berlaku padanya. Hukum Adat Makassar, khusunya masalah siri’ agar  pembentukan rumah tangga itu harus dimulai dengan perkawinan.
Sanksi Siri dimaksudkan untuk  mencegah seseorang melakukan perbuatan yang bisa dikategorikan dengan siri’. Seperti  berhubungan badan  lain jenis tanpa  nikah. Sanksi yang sangat berat itu, supaya orang yang akan melakukan silariang harus lebih berhati-hati dan berupaya untuk mencari jalan terbaik melalui perkawinan.*



Pergeseran Nilai Siri’
Siri’ pada zaman dulu sudah jauh beda dengan siri’ di zaman sekarang. Mengapa orang tua dulu menjaga anak gadisnya  keluar rumah, karena  anak gadis dianggap sebagai mahkota dalam rumah tangga. Kalau mahkota itu rusak, maka rusak pulalah  rumah tangganya kedepan. Paara orang trua dulu tak mau kalau  lahir cucunya dengan perzinahan.
Sekarang ini, pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dilarang untuk berhubungan dengan temannyn, dan ini termasuk siri’.. Sekarag ini, perempuuan dan laki-laki dapat dengan bebas berjalan bersama, berboncengan motor,  atu sama-sama satu mobil, kemudian apa yang diperbuat dalam mobil sudah bukan lagi persoalan.
Dengan adanya pergaulan bebas itu, sekarang ini banyak di dengar berita, ada perempuan yang hamil diluar nikah. Kalau anaknya lahir, kemudian dicekik sampai mati, karena malu, kalau dikethui oleh orang tuanya, bahwa anak yang dilahirkan itu adalah hasil hubungan gelap.
Siri’ merupakan harga diri atau martabat seseorang yang perlu dijaga, agar manusia itu berwujud seperti manusia yang sebenarnya. Manusia yang tidak punya siri’, wujudnya memang seperti manusia, tapi sifatnya seperti binatang. Inilah yang banyak terjadi, terutama di tempat prostitusi, dimana di temopat itu banyak  manusia yang memiliki sifat binatang, mereka kawin seperti binatang tanpa melalui proses nikah.
Menurut budayawan Sulsel, H. Abd Haris Dg Ngasa,  antyara sifat manusia dan sifat binatang itu hanya dibatasi oleh  sebuah dinding yang sangat tipis. Itulah yang disebut Sikedde rinring (sedikit dinding). Kalau dinding itu sempoat jebol, maka  manusia akan  berubah sufatnya  menjadi sifat binatang. Itulah sebabnya, mengapa sanksi ada pada siri’ ini sangat  keras  bagi masyarakat suku Makassar di Sulawesi Selatan, karena tujuannya untuk memanusiakan manusia.
Suku Makassar dalam menegakkan siri’ sering diistilahkan Pabbambangan na tolo (Pemarah l;agi bodoh). Ungkapan ini  menurut Dg Ngasa, tidak selamanya benar. Mengapa orang  tega membunuh anaknya atau laki-laki yang membawa lari itu, padahal setelah  dilakukan acara  abbaji (damai) kedua pelaku silariang itu   sudah dianggap anaknya sendiri. Inilah pemikirang orang-orang yang tak mengerti tentang siri’
Adalah lebih bodoh, kalau melihat  anak gadisnya dipermainkan oleh laki-laki lain di depan matanya, kemudian tidak mengambil tindakan tegas. Itulah sebabnyta pada orang tua dulu,  bila melihat anak gadisnya dipermainkan oleh laki-laki atau  silariang, maka sanksinya memang sangat tegas, yakni bisa saja mereka mati di ujung badik.
Kalau siri’ ini ada pada  tiap manusia,  maka manusia itu tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang bisa mempermalukan keluarganya. Orang tua takut kalau anaknya jatuh ke tempat prostitusi, atau  kalau mendengar anak gadisnya pernah  melakukan hubungan terlarang dengan laki-laki, maka orang tua  yang punya siri’ sangat marah pada anak gadisnya. Kalau  mereka tahu, bahwa anaknya hanya dipermainkan, maka orang tua atau keluarganya mewanti-wantii laki-laki itu untuk diambil tindakan tegas pada pemuda yang mempermainkan anak gadisnya itu.*

Tinjauan Hukum Pidana
Dalam Hukum pidana (KUHP) kalau menyangkut masalah nyawa seseorang, terutama menyangkut masalah penganiayaan atau pembunuhan, maka   tidak ada  satu alasanpun untuk melakukannya, termasuk alasan siri’ mereka  bisa dikenalan hukuman pidana penjara.
Bagi para Tumasiri’. Bila sudah mendengar berita, bahwa anaknya atau keponakan  atau sanak keluarganya melakukan silariang, mereka dituntut oleh hukum Adat untuk menegakkan siri’nya. Sebab kalau tidak bertindak, mereka dicap oleh masyarakat sebagai ballorang (alias penakut). Tertapi mereka harus berani, tampil sebagai pembela martabat keluarga.
Dalam  ungkapan  orang Makassar ada yang disebut Eja Tonpi sen Na Doang (nanti merah baru terbukti udang). Maksudnya,  penegakan siri’ itu memang  banyak resiko, terutama membunuh dan  akhirnya masuk penjara. Tetapi resiko seperti itu, tidak terpikirkan dulu. Nanti kalau sudah berhasil menegkkan siri’ barulah terbuklti bahwa udang itu kalau sudah dimasak merah.
Kemudian ada pula istilah yang mengatakan, bahwa orang Makassar itu kalau menegakkan siri,  luka tusuk senjata tajam itu,  bukan berada di belakangnya, tetapi  harus ada dimuka. Kalau  luka tusuk berada di belakang badan ,itu berarti pengecut atau penakut, tapi kalau  luka ada di bagian depannya, itu berarti pemberani.  Dalam ungkapan orang Makassar disebutkan Tiai Mangkasara punna Bokona Loko’ (bukan orang Makassar kalau bagian belakang badannya terluka).Inilah yang disebut Tubarani.
Bagi Tumannyala (pelaku silariang), juga bertekad, resiko  apapun yang menimpa dirinya, harus mereka jalani, termasuk maut demi  mendapatkan si buah hati belahan jantung.  Mati itu urusan Tuhan,  tapi semangat untuk menyatukan dirinya dengan  gadis pelihannya tak bisa dibendung, walau itu maut sekalipun. Cinnaku Cinnana pakkekkepa pasisa’laki (Cintaku dan cintanya, hanya linggislah yang bisa memisahkannya). Begitu eratnya cinta kedua Tumannyala, sehingga mereka nekad kawin lari.
Bagaimana dalam hukum pidana?. Pada kasus Silariang, tindak pidana yang banyak terjadi adalah, kasus pengniayaan  dan kasus pembunuihan.  Kadang Tumasiri’ bila menemukan Tumannyalanya di suatu tempat, misalnya di jalanan, mereka sering memburuh Tumannyalanya, dan bila Tumannyala tidak mendapat perlindungan, biasanya terjdi perkelahian. Kalau ada orang yang melerai,  mungkin nyawa salah satu pihak masih bisa diselamatkan, maka dalam hal ini dapat dikenakan pasal penganiayaan (351 KUHP), tapi kalau mereka membawa senjata tajam dan tidak ada yang melerainya, maka biasanya kasus ini berakhir dengan  maut atau pembunuhan, maka si pelaku dapat dikenakan pasal pembunuhan yakni pasal 340 KUHP untuk pembunuhan berencna dan pasal 338 tentang pembunuhan biasa.
Selain itu, dalam kasus silarian, tentunya kedua belah pihak, baik Tumannyala maupun Tumasiri’  keduanya  selalu siap senjata tajam berupa badik yang terselip di pinggangny. Ini juga  melanggar pasal dalam Undang-undang Darurat tahun 1957.
Kemudian pada kasus silariang, karena ini dilakukan atas kesepakatan  kedua belah pihak yang mau kawin lari, maka dalam KUHP tidak ada satu pasalpun yag melarang mereka untuk  kawin lari. Kecuali dalam agama, biasanya pada kasis Silariang ini, sebelumnya disertai dengan perzinahan, maka  kasus sin itu melanggar aturan agama Islam.
Untuk kasus Nilariang, ini dapat  dikenakan pasal dalam KUHP, sebab  pihak perempun itu dipaksa untuk kawin dengan cara menculik atau tipu muslihat. Pihak laki-laki yang melakukan kawin Nilariang ini dapat dikenakan pasal penculikan atau  pasal penipuan.
Dari aspek sosial, pada kasus silariang ini, merupakan  aib bagi keluarga kedua belah pihak, baik keluarga laki-laki lebih-lebih bagi keluarga perempuan yang merasa  sangat dipermalukan oleh ulah anaknya. Masyarakat  mencelh perbuatan ini dan mencapnya sebagai orang yang tak mampu mendidik anak-anaknya, serta menyalahi aturan adat dan agama.

Silariang Dalam Aspek Kriminologi
Kriminologi berasal dri kata crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatn (Prof. Hari Sangaji, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta hal 9).
Selanjutnya Shutterland mengemukakan, kriminologi adalah kumpulan  ilmu pengetahuan yang mempelajari kejhatan sebagai masalah manusia, seperti Anthropologi, Psykiatry, psyhologo dan ain-lain.
Luasnya ruang lingkup kriminologi terhadap berbagai aspek disiplin ilmu, sehingga  Kriminologi  mendapat julukan  sebagai King Without Country (Raja tanpa negara). Artinya kriminologi meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, walaupun hanya sedikit-sedikit saja, seperti yang terdpat dalam ilmu pengetahuan hukum, sosiologi, Anthropologi dn sebaginya (Prof. Dr. Ronny Niiti Baskara, Catta kuliah di Univ. Muhammadiyah Jakarta tahun 1989).
Luasnya cakupan lingkup kriminologi tersebut, sehingg  dlam tulisan ini, penulis batasi dengan mengupas sejauhmana aspejk kriminologi terhadap perkawinan silariang bagi suku Makassar.. Untk mengetahui, perlu ditunjauasp[ek   kebudayaan terhadap kawin silariang.
Selnjutnya Prof. Dr. Koentjaraningrat, dlm bukunya Kebudyan  Mentalitas dan Pembangunan, mengemukakan, ada tujuh unsur universal dari kebudayaan yaitu:
1.    Sistem religi dan upacara keagamaan
2.    Sistem  dan organisasi kemasyarakatan.
3.    Sistem pengetahuan
4.    Bahasa
5.    Kesenian
6.    Sistem  matapencaharian
7.    Sistem teknologi dan perlatan (Koentjaraningrat, hal 12).
Dihubungkan dengan perkawinan Silariang, maka termasuk manakah silariang dalam unsur universal kebudayaan itu?
Penulis berpendapat, bahwa bahwa silariang masuk dalam unsur  sistemn dan organisasi kemasyarakatan. Tiap satu daerah di Indonesia, terapat persekutuan hukum, seperti yng  disebut Desa, ngari (minang) dan sebaaginya. Dalam persekutuan desa itu, terdapat item kecil, namanya sistem perkawinan. Kemudian item kecilnya lagi dari sistem perkawinan, bagi suku Makassar terdapat item  kawin silariang.
Jadi dalam hal ini, item pertama adalah sistem organisasi kemasyarakatan, item kedua  adalah persekutuan desa, item ketiga adalah sistem perkawinan dan item keempat adalah silariang dan item kelima  adalah siri’ dan item selanjutnya adalah kejahatan pembunuhan.
Ada beberapa aspek budaya yang mengandung unsur kriminil, seperti kesenian jaipongan, tuyuban dan masih banyak lainnya. Jenis kesenian ini  jelas memperlihatkan keindahan dan nilai seni. Tapi dibalik keindahan itu, sebenrnya mengandung adegan yang berbau pornografi, dimana dalam kriminologi dikategorikan sebagai  kejahatan (Prof.Niti Baskara, catatan kuliah 1989).
Demikian halnya persoalan siiri’ dalam kasus silaring bagi suku Makassar. Prof. Andi Zainal Abidin Farid dalam bukunya Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum dan Dunia Luar, mengemukakan,  Membunuh seseorang laki-laki yang melarikan sanak saudara, maka sipembunuh  adalah yustification menurut hukum adat lama, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral. (Hal 107).
Persoalan lembunuhan dengan alasn siri pada kasus Silariang, menurut  hukum adt Makassar dinggap sebagai suatu kewajiban moral yang harus dilekukan oleh pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’. Akan tetapi kasus pembuhuhan yang bertlatar belakang siri’ oleh hukum pidana, sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk membunuh seseorang. Bila terjadi kasus pembunuhan atau penganiayaan   dengan alasan siri, dalam hukum pidana pasti dikenakan pasal pembunuhan datau penganiayaan  dalam KUHP.
Jadi disini ada dua aspek hukum yang saling bertolak belakang. Disatu sisi, hukum adaat Makassar mewajibkan seseorang yang dipermlukan (tumasiri’) untuk melakukan tindakan kriminil, apoakah itu penganiayan atau pembunuhan terhadap pelaku silariang yang disebut Tumannyala. Disis lain, hukum pidana melarang sama sekali Tumasiri melakukan tindakan kriminil, termasuk alasan siri’. Inilah yang mkenjadi sorotn kriminologi dalam  pembahasan tulisan ini.
Dalam kriminologi yang mempalajari masalah kejahatan,  dalm  kriminologo, ada tiga jenis kejahatan yang terdapat dalam kasus silariang. Gerson Bawengan dalam bukunya Psykologi kriminil :
1.    Kejahatan daalam arti praktis
2.    Kejahatan dalam arti religius
3.    Kejahartan dalam arti yuridis
(Gerson Bawengan , Psikologi Kriminil : hal 20)



Kejahatan Dalam Arti Praktis
Kejahatan dalam arti praktis adalah suatu pengertian yang merupakan campur bauran  dan bermacam-macam norma.
Pelanggaran dari berbgai macam norm, baik norma agama, adat istiadat, kebiasaan, kesusilaan dan norma hukum, sehingga dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat, baik berupa hukuman pidana, cemoohsn dan pengucilan dari masyarakat. Misalnya seseorang guru  berbuat kejam terhadap muridnya, maka guru tersebut dianggap sebagai penjahat. Seseorang yang suka memukuli temannya, maka sipemukul dapat dicap sebagai penjahat dlam arti praktis.
Demikian halnya pada kasus siri’ silariang yang telah melanggar norma-norma hukum, maka sipel;ku silariang juga dicap sebagai kejahatan dalam arti praktis. Bila terjadi  kasus poembunuhan dan penganiayaan   dari Tumasiiri’ terhadap Tumannyala, maka itu juiga diktegorikan sebagai penjahat dalam arti prktis.

Kejahatan Dalam Arti Religius
Kejahatan dalam arti religius adalah suatu pengertian yang mengidentifikasikan jahat denganb dosa. Dalam arti ereligius merupakan sinonim, bahwa jahat adalah berbuat dosa. Demikin pula sebaliknya, berbuat diosa adalah jahat.
Sebagai manusia yang bergama (islam) telah mempercayai adanya kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Dalam Al Qur’an tersebut, mengandung suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan larangan yang harus dijauhi oleh setiap umt.
Dengan mengacu pada pengertian religius, berarti orang-orang yang  melakukan perbuatan dosa dicap sebagai  sebuah kejahatan. Misalnya, tidak melaksanakan shalat lima waktu, puasa, mencuri, merampok dan sebagainya. Demikian halnya sanksinya, tidak hanya didaopatkan di dunia, juga lebioh-lebih di akhirat nanti.
Dalakm kasus siri’ dan silariang, perbuatan melarikan anak gadis, bersina atau bahkan membunuh seseorang, itu adalah suatu  perbuatan dosa yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan..
H. Moh. Syukri Daeng Limpo, dalam artikelnya Kawin Silariang, mengatakan, laki-laki yang telah menodai kehormatan (appakatianang) atau melarikan gadis keluarga sendiri yang haram dikawini (muhrin) disebnut salimara, , maka keduanya dikutuk oleh keluarga kedua belah pihak, dan dikutuk oleh seluruh anggota masyarakat, sebab dianggap telah melakukan pelanggaran besar yang merusak, bukan hanya norma adat dan agama, juga menyebabkan hujan tidak mau turun. Konon pada zaman dulu, pelakunya dikenakan hukuman niladung (ditenggelamkan ke air dalam keadaan hidup hingga mati). SKU Mimbar Karya, 9  Desember 1984, hal 3).



Kejahatan dalam Arti Yurudis
Kejahatan dalam arti yuridis dapat dijumpai dalam KUHPidana yang membedakan secara tegas antara kejahatan dan pelanggaran. Pada buku kedua KHUP diatur delik kejahatan dan buku ketiga diatur delik pelanggaran.
Disamping itu, Memori van Toelicting telah membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Disebutkan, kejahatan adalah delik hukuim yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan dengan atau bertentangan dengan azas-azas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai hal yang terlarang (Gerson Bawengan, hal 5).
Lain halnya Prof. Mr Roeslan Saleh yang mengatakan,  semua perbuatan melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum, karena :
1.    Menurut bahasa, bersifat melawan hukum adalah sesuatu yang menunjuk ke jurusan bertentangan dengan hukum.
2.    Sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari perbuatan pidana yang berarti bahwa tanpa ada sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, maka tidak ada pula perbuatan pidana, dalam mana ia menjadi esensialnya. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dipandang tidak boleh dilakukan atau tercela jika dilakukan. Oleh karena apa?  karena bertentangan  dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
3.    Bertentangan tanpa hak dan melawan hak praktis menimbulkan konklusi yang berbeda-beda (Prof. Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukuim dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta 1981, hal 26 – 27).
Dalam kasus siri’ dan silariang jelas melanggar berbagai pasal dalam KUHP yang bisa dikategorikan sebagai sebuah kejahatan. Seperti halnya pasal 332  KUHP (silariang dengan gadis dibawa umur), pasal 340 KUHP (pembunuhan terhadap Tumannyala), pasal 285 KUHP tentang perkosaan dan masih banyak  pasal-pasal lainnya yang terkait dengan kasus siri’ dan silariang.
Prof. Mr. Roeslan Saleh selanjutnya mengutip pendapat Simon dan Hasuwinkel Suringa yang mengatakan:  Untuk dapat dipidana, perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam undang-undang. Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi diseliidiki, apakah merupakan perbuatan hukum atau tidak (Opcit hal 13 – 14)
Berdasar dari pendapat tersebut berarti, kasus silariang, baik  secara yuridis maupun non yuridis adalah mencakup semuanya, karena disamping melanggar peraturan tertulis (KUHPidna) juga melanggar norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Walau orang yang melakukan pembunuhan dengan alasan siri’ dalam hukum adat Makassar, tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral, namun dalam  KUHPidana, membunuh dengan alasan apapun, tetap dicap sebagai tindak pidana yang dapat dihukum.
Ada beberapa pasal yang menatur tentang kejahatan yang berlatar belakang siri’ dan silariang  dalam hukum adat Makassar.

Pasal 332 KUHP
1.    Paling lama tujuh tahun, barang siapa yang membawa pergi wanita yang belum cukup umur, tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik dalam maupun diluar perkawinan.
2.    Paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik dalam maupun diluar perkawinan.
Dari bunyi pasal 332 KUHP itu memperlihatkan bahwa  perkawinan silariang, melanggar hukum pidana bila wanita yang dilarikan itu masih dibawa umur, tipu muslihat, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Tetapi bilamana silariang itu sama-sama dilakukan oleh orang dewasa dan dilakukan atas persetujuan keduanya, maka disini KUHP tidak mempersoalkannya dan bukan  dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Namun perbuatan Silariang baik dibawah umur maupun sama-sama dewasa, apa lagi dilakukan dengan tipu daya atau kekerasan, dalam hukum adart Makassar, dikategorikan dengan perbuatan yang melanggar norma adat khususnya masalah siri’ dan kuluarga yang merasa dipermalukan yang disebut Tumasiiri; dapat mengambil tindakan paada sipelaku atayu Tumannyal.
Pasal 285 KUHP

Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan:
a.    Laki-laki yang beristri berbuat zina, sedang diketahui bahwa pasal 27 KUHPerdata sipil berlaku padanya.
b.    Perempuan beruami berbuat zina.
Biasanya sebelum terjadi kasus silariang, kadang terjadi  hubungan badan atau perzinahan diantara keduanya. Bilamana perempuan tersebut hamil, sedng kedua orang tuanya tak merestui laki-laki pilihannya, maka  disitulah  serin terjadi kasus silariang.
Namun dalam pasal 284 KUHP terlalu membatasi pegertian zina. yakni hanya laki-laki  yang sudah beristri atau perempuan yang  sudah bersuami melakukan hubungan seks diluar nikah. Sedang bila hal ini dilakukan oleh kaum muda mudi yang belum menikah atas dasar suka sama suka, maka menurut hukum pidana bukanlah merupakan tindak pidana. Kalaupun terjadi kasus semcam ini, ancaman hukumannya hanya 9 sembnilan bulan.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja atau rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana (moord) dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama kurun waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
Dri pasal tersebut diatas, pengaturan tentang pembunuhan berencana. Dalam kasus Silariang, kadang  terjadi namanya kasus pembunuhan dengan alasan siri’. Biasanya yang melakukan penyerangan adalah Tumasiri’ terhadap Tumannyala. Bila terjadi penyerangan, terjadi pergumulan, dan biasanya berakhir dengan duel maut, apakah yang mati itu tumannyala atau Tumasiri atau bahkan orang  yang melerai. Bila terjadi kasus pembunuhan dengan alasan siri’, maka penegak hukum, dalam hal ini  polisi, jaksa dan hakim menerapkan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan bila korban tidak mati. Biasanya pasal  yang didakwakan adalah pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana), pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) dan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.**

Kasus Salimara
Kisah Ayah Perkosa Putrinya
Pak....Aku Ini Anakmu
Kisah tragis menimpa seorang gadis dari  Kab. Gowa. Sebut saja Ira (18) (samaran) nama gadis itu, tubuhnya aduhaai dan cantiknya oke juga. Tapi sayang seribu sayang, cita-cita anak untuk menjadi orang baik, terkandas di tangan ayah kandungnya sendiri (Dg Mampo (nama samaran).  Ira diperkosa oleh ayak kandungnya sendiri hingga hamil dan melahirkan bayi.
Kasus ini bermula, ketika, Ira mandi di kamar mandi. Saat asyik mandi, tiba-tiba ada yang ketuk pintunya. “Siapa ..” tanya Ira dalam kamar mandi, mungkin mama kali, pikir Ira dalam benaknya. Setelah pintu dibuka, ternyata Ayahnya. Tanpa  basa basi, si ayah langsung saja nyelonong masuk kamar mandi  buang air . Sang puntri tidak keluar, karena ia pikir, ia adalah ayahnya, Setelah selesai buang air, ayah keluar.
Tahu-tahunya, setelah ayah keluar dari kamar mandi, ia tergiur melihat  tubuh putrinya yang molek. Nafsu syetanpun mulai merasuk  dalam diri  sang ayah. Mula-mula ia mendekati putrinya, sambil mencium, tangan ayahpun mulai nakal. Rabaan pertama ke buah dada, kemudian ke arah terlarang. Sang putripun berteriak. Namun Ira pikir,  ayahnya tak mungkin berbuat senonoh.
Tapi lama kelamaan, nafsu bejat ayah semakin menggila. Bukan saja meraba daerah terlarang, tetapi rural yang ia miliki  keluar dari sarangnya. Rudalnya kian tegang menbcari sasaran tembak. Karena sang punti baru saja mandi dan hanya sarung yang melekat di badannya, maka rudal scud sang ayah langsung nancap pada barang putrinya.
Diamnya si anak ini, membuat ayah semkin penasaran. Rudalpun bergerak mulau masuk sasaran. Aduh Pak...sakiiiit” keluh Ira. Memang begitu nak, sebentar lagi sembuh” nasehat ayah.
Nampaknya kontak pertama ayah dan anak ini, bukannya berakhir sampai disitu saja. Setiap ada kesempatan, bila ibu keluar misalnya ke pasar, dan adik-adiknya pergi ke sekolah, si ayah mulai lagi mendekati putrinya dan memulai lagi perbuatan bejatnya. Si anakpun tak kuasa membendung keinginan ayahnya. Cuma Ira   pernah melontarkan kata-kata : Aduuuhh.....Pak.. Aku ini anakmu., mengaapa ayah tega berbuat begini? Kat Ira pada ayahnya. Namun nasehat  sang anak  tak diperduli, rudal ayahpun terus mencari sasaran, dan terus melampiaskan  nafsu syetannya.
Ketika sang ibu tercinta menunaikan ibadah haji , meriupakan  kesempatan emas  bagi ayah dan anak untuk  mengulangi perbuatannya.  Pergaulan suami istri bebas dilakukan. Karena sudah terbiasa, maka tak ada lagi basa basi. Bila rudal ayah tegang, maka  ia langsuing saja masuk ke kamar anaknya untuk melampiaskan nafsunya.
Setelah sekian lama berhubungan badan, sang putripun mulai mentah-mentah, pertanda ia hamil. Si ayahpun mulai kelabakan. Perut sang putri dari bulan ke bulan  terus membuncit. Hinggga usia kandungan memasuki bulan keenam, Siayah mulai menghubungi Mak Nanong, salah seorang dukun beranak di kampungnya. Kedatangan Ira ke Mak Nanong dengan maksud untuk menggugurkan kandungannya alias aborsi. Namun Mak Nanong menolak untuk aborsi, ia menyarankan lebih baik ke rumah sakit bersalin di Sungguminasa. Nasihat Mak Nanong diterima, dan ia pergi bertiga ke  Rumah bersalin di Sungguminasa.
Di rumah sakit,  bayi aborsi ini lahir, ayah dan putrinyapun menghilang, entah kemana rimbanya. Putugas rumah bersalinpun mulai curiga, jangan-jangan bayi yang lahir adalah hasil hubungan gelap.
Akhirnya kasus ini mulai terbongkar. Polisipun mulai melakukan pengusutan  atas kasus ini. Setelah ditel;usuri, akhirnya polisi berhasil menciduk para pelaku, yakni Ira, ayahnya Dg Mampo, dan mak Nanong. Ketinganya tersangka langsung digirik ke kantor polisi dan akhirnya  dijobloskan ke Rutan Gunungsari.
Kasus ayah monodai anaknya banyak terjadi dimana-mana, seperti halnya di Medan, dari hasil hubungan gelapnya hingga melahirkan seorng anak. Demikian pula di Sumarorong Polmas juga  terdapat kasus serupa. Pada kasus ini oleh orang Makassar digolongkan pada perbuatan Salimara dimana hukummannya, para plaku baik ayah maupun putrinya dikenakan hukuman Niladung, yakni ditenggelamkan ke laut hingga mati.**


Zainuddin Tika, SH alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 1990. Jurusan Hukum Pidana. Sekarang menjadi  wartawan pada Tabloid Bawakaraeng sn Tabloid Deteksi, terbitan di Sulawesi Selatan. Juga selaku Ketua Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, yang kini sudah banyak menulis buku-buku yng bernuansa  sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan, antara lain buku  Silariang, Ammatoa (Suku masyarakat tradisionil Kajang di Bulukumba), Malino Berdarah dan masih banyak judul lainnya yang sudah mencapai 40 judul Khusus masalah  Silariang, ini  sebenarnya  adalah thesis S 1 di Fak Hukum UMJ yang kami garap kembali menjadi  buku..**




Daftar Pustaka
1.    Ali Akbar H. Dr , Merwat Cinta Kasih, Pustaka Antara, Jakarta 1984
2.    Andi Zainal Abidin Farid, Prof. Persepsi Orang Bugis Makassar Tentang Hukum dan Dunia Luar, Alumni,  Bandung 1983.
3.    Bismar Siregar, SH. Parof. Keadilan Hukum  Dalam Sspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta, 1986.
4.    Bertling C,T Mr. Huelijk En Huwelijrecht In Zuid Celebes.tth
5.    Chabot H.Th. Verwatenschap Stand En Sexe In Zuid Celebes t,  Groningen, Jakarta, 1950. Gerson Bawengan SH, Drs, Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
6.    Gerson Bawengan, Pengantar Psykologi Kriminil Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
7.    Koentjaraningrat, Kebudayaan Mmentalitet dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta 1985.
8.    Muin MG A. Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra, Siri’ na Pacce, Makassar Pres  1970.
9.    Nasir Said Moh, Siri’ dala Hubungannya dengan perkawinan ddi Masyarakat Mangkasara Sulsel,  P. Sejahtera, 1962, Ronny Niti Baskara, Prof.  Dr. Kriminologi, Diktat Kuliah di Fak. Hukum Universitah Muhammadiyah Jakarta 1988.
10.  Roeslan Saleh, Prof. Mr. Perbuatan Pidana dn pertanggungjawban Pidana, Ghalian Indonesia, Jakarta 1981.
11.  Syukri Dg Limpo, Muh. Drs, Artikel masalah Kawin Silariang, SKU Mimbar Kary. 9 Desember 1984.
12.  H. Halik Mone , Budayawan Gowa, Wawancara.
13.  H. Haris Dg Ngasa, Budayawan Gowa, Wwawancar
..


 Pidana dn pertanggungjawban Pidana, Ghalian Indonesia, Jakarta 1981.
11.  Syukri Dg Limpo, Muh. Drs, Artikel masalah Kawin Silariang, SKU Mimbar Kary. 9 Desember 1984.
12.  H. Halik Mone , Budayawan Gowa, Wawancara.
13.  H. Haris Dg Ngasa, Budayawan Gowa, Wwawancar
..




[ Read More ]