Di
Sulawesi Selatan sejak dari dulu hingga kini, kasus silariang (kawin lari)
masih sering terjadi. Walaupun sanksinya berada di ujung badik bagi sipelaku
silariang, namun masyarakat Sulsel khususnya bagi suku Makassar, namun sanksi
itu, tak dihiraukan. Selama cinta
bersemi bagi kedua belah pihak, sanksi mautpun akan tetap dihadapi.
Dalam kasus silariang ini tidak jarang, bagi si pelaku dihadang oleh Tumasiri’ (dari pihak keluarga
perempuan yang kadang berakhir dengan penganiayaan atau bahkan pembunuhan bagi
sipelaku silariang yang disebut Tumanyala atau keluarga perempuan
yang disebut Tumasiri’.
Bagi
suku Bugis Makassar, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut
masalah siiri, dan disisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum
pidana. Kedua hukum yang hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus dilariang
saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum adat mengatakan, membunuh si pelaku silariang dengan alasan siiri’
tidak bisa dikenakan hukuman, karena ia
dianggap sebagai pahlawan yang
membela siri’nya. Disisi lain, dalam hukum pidana , tidak menerima
alasan kalau ada terjadi kasus
pembunuhan termasuk alasan siri’, dan
pelakuya bisa dikenakan pasal pembunuhan
atau penganiiayaan dalam KUHP. Lalu bagaimana tinjauan hukum pidana terhadap
adanya pembunuhan atau penganiayaan dalam kasus silariang?
Silariang
adalah perkawinan
yang dilakukan antara sepasang laki-laki
dan perempuan dan keduanya sepakat untuk melakukan kawin lari. Jadi disini yang
dimaksud laki-laki dan permpuan, tidak terbatas pada kaum pemuda dan pemudi
yang belum beristri, tetapi juga berlaku
bagi laki-laki dan perempuan yang sudah
kawin. Apakah mereka kawin lari sama-sama
anak muda atau kedunya sudah kawin atau yang satu sudah kawin yang satu
lagi belum beristri atau suami.
Menurut
Dr. TH. Chabot dalam bukunya Verwatenschap Stnd en Sexse in Suid Celebes
mengtakan, Perkawinan Silariang adalah
apabila gadis/perempuan dengan pemuda / laki-laki setelah lari bersama-sama..
Pengertian
Silariang ini diperjelas oleh budyawan Suilsel H. Moh Nasir Said mengatakan : Perkawinan Silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah
pemuda / laki-lki dengan gadis / perempuan lari bersama-sama atas kehendak
sendiri-sendiri. (H. Moh Nasir Sair, Siri’ dalam Hubungnnya dengan
Perkawinan Adat Mangkasara, P. Sejahtera, makaar, 1962, hal.26)
Hal
senada juga disampaikan oleh Bertlin dalam bukunya Huwelijk en Huwelijkenreht in
Zuid Celebes mengatakan; Silariang
adalah apabila gadis/perempuan dengan laki-laki setelah lari bersama atas
kehendak bersama.
Dari
pengertian tersebut diatas jelas bahwa
kawin silariang itu apabila memenuhi syarat yakni :
1. Dilakukan oleh sepasang laki-laki dan
perempuan
2. Sepakat untuk lari bersama untuk
menikah
3. Menimbulkan siri’ bagi keluarganya dan
dapat dikenakan sanksi
Dari
unsur tersebut diatas sangat jelas, bahwa kawin silariang itu
dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Jadi disini tidak terbatas
pada bujang dan gadis, tetapi juga
bagi laki-laki yang sudah beristri atau perempuan yang sudah bersuami bisa
melakukan silariang, baik yang belum
menikah maupun yang sudah menikah. Bisa juga sama-sama belum menikah alias bujan atau gadis. Bisa juga bersilang
misalnya laki-laki yang sudah beristri dengan gadis atau bujang dengan orang yang sudah
beristri..
Perkawinan
silariang ini dilakukan atas kata sepakat dari kedua pelaku
silariang, yakni dari pihak laki-laki
dan perempuan yang akan kawin lari, Mereka sepakat lari bersama menuju
suatu daerah untuk menikah di depan penghulu. Biasanya daerah yang ditujuh agak
jauh dari tempat tinggal semula, bisa juga menyeberang laut, supaya jauh dari
Tumsiri’nya (keluarga pihak perempuan)
Penghulu
atau imam yang akan menikahkan kedua pasangan ini, terlebih dahulu menghubungi pihak keluarganya, terutama kedua orang tuanya
untuk dimintakan persetujuan atau Rella,
Bilamana tidak ada persetujuan dari orang tua,
cukup keluarga dekatnya . Bila tak ada rella, maka Imam dengan melihat kondisi yang ada, tetap
menikahkan kedua pasangan ini menjadi suami istri. .Imam khawatir, kalau tidak
cepat dinakahkan, akan terjadi persinahan dari kedua pasangan ini..
Pada
kawin silariang ini pula, bagi suku Makassar jelas menimbulkan siri’ utamanya bagi pihak
keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’. Dengan alasan Siri’ , maka pihak
keluarga perempuan oleh hukum adat Makassar diwajibkan baginya untuk menegakkan
siri, bahkan tidak sedikit diantaranya penegakan siri’ ini berakhir dengan pembunuhan pada pelaku silariang yang disebut
Tumannyala.
Pada
zaman dulu, kala komunikasi belum
secanggih sekarang ini, menurut budayawan Gowa H. Halik Mone, anak gadis yang
ada dalam rumah tangga itu bagaikan mahkota yang harus
dijaga keahliannya. Ibarat telur, kalau pecah sedikit maka tidak ada lagi
harganya. Untuk itu, orang tua maupun keluarga dari gadis tersebut tidak
menginginkan anak gadisnya dipermainkan
orang.
Selanjutnya
dikatakan, seorang gadis, sangat rawan dengan siri’. Pada masa dulu, bila
seorang pemuda melihat aurat gadis, maka gadis itu malu.
Biasanya gadis itu mandi di
sumur, tiba-tiba aa pemuda yang lewat, dan secara tidak sengaja kain yang
dipakai gadis itu melorot hingga kelihatan, maka peristiwa itu bagi gadis
dianggap siri’. Untuk menutupi rasa malu, maka gadis itu minta dinikahkan. Kalau orang tua tak
setuju, itulah terjadi kawin silariang.
Orang
tua menginginkan, kalau gadis atau pemuda itu tiba masanya untuk kawin, maka mereka bisa melkukan prosesi perkawinan yang dimulai
dengan acara melamar (ajjangang-jangang). Kalau lamaran diterima, tinggal
ditentukan kapan pestanya. Namun yang menjadi masalah, kalau orang tua dari
pihak perempuan tidak menyetujui laki-laki yang dicintai anak gadisnya. Orang
tua tak menyetujui mungkin karena perilaku
laki-laki itu tidak baik, misalnya sukaa mencuri, pemabuk, pemain
perempuan dan sebagainya,m atau karena perbedaan strata sosial atau faktor ekonomi
, mungkin karena miskin, sehingga lamaran ditolak.
Kalau
lamaran sudah ditolak, lalu kedua sejoli ini ingin sehidup semati, maka jalan
yang ditempuh adalah silariang.
Silariang ini dilakukan oleh kedua pasangan ini sebagai protes atas ketidak
setujuan orang tuanya pada pemuda pilihannya.
Gadis
atau perempuan dengan pemuda atau
laki-laki yang mau kawin lari ini harus
melakukan siasat. Agar tidak diketahui oleh keluarganya. Siasat itu antara lain, perempuan itu biasanya mencuci
pakaian di sungai. Disaat hendak ke sungai, maka pakaian yang akandibawa itu
disembunyikan disela-sela semak belukar atau di rumah sahabatnya
yang dipercaya tidak akan membuka rahasia.
Setelah
semua sudah siap, maka laki-laki yang akan menjemput perempuan tersebut,
biasanya dilakukan pada palam hari, sebab kalau siang khawatir ketahuan, banyak
orang yang lihat. Kedatangan laki-laki
untuk m,enjemput perempuan, harus dengan kode tertentu, misalnya memukul
benda-benda atau tepuk tangan atau kode apapun sesuai kesepakatan mereka.
Kalau
laki-laki itu sudah ada disekitar rumah perempuan, maka perempuan itu
perlhan-lahan melangkah ke pintu
belakang, lalu turun melalui tangga. Setelah keduanya ketemu, barulah keduanya
bergeras mengambil barang-barang yang disimpan di semak-semak atau di rumah
sahabatnya. Setelah semua persiapan sudah ada, maka keduanya lari ke suatu
daerah menuju rumah penghulu atau imam dengan tujuan untuk menikah sebagai
suami isteri.
Biasanya
laki-laki dan perempuan yang akan lari, mengajak teman-temannya untuk mengantar
ke rumah imam. Bantuan pada rekan-rekannya itu dimaksudkan, karena perjalanan
pada malam hari ini sangat rawan, terutama
bila diketahui keluarga dari pihak
perempuan, maka bisa saja celaka mati di ujung badik. Kalau ada temannya, bisa
saja membantu mereka disaat menemui rintangan.
Keesokan
harinya, setelah peristiwa silariang, maka orang tua gadis itu mencari anak gadisnya,
kemana gerangan. Setelah dicari informasi, terdengar berita dari kampung
seberang, bahwa anak gadisnya itu
melakukan silariang dengan laki-laki pilihannya.
Setelah
mengetahui bahwa anak gadisnya itu
melakukan kawin silariang, maka orang tua gadis itu melakukan abburitta atau memberitahu pada
sanak keluarganya bahwa anak gadisnya itu melakukan silariang atau A’lampa
kodi (pergi meninggalkan rasa malu). Pihak keluarga yang sudah mendapat
berita itu, juga selalu siap untuk mengambil tindakan penegakan siri’
bilamana menemukan kedua pelaku yang dianggap mempermalukannya
itu. Pihak keluarga perempuan yang
mengetahui itu, tidaklah sengaja mencari
kedua pelaku sampai ketemu, akan tetapi
bila secara kebetulan ketemu di sebuah jalan, lantas laki-laki itu tidak
lari, maka ia dianggap laki-laki tidak tahu diri dan pihak keluarga perempuan
bisa bertindak untuk memburuh pelaku silariang tersebut. Biasanya kalau laki-laki
tidak cepat minta perlindungan, terjadi peristiwa berdarah.
Nilariang
Sulain
itu, ada juga satu jenis perkawinan yang
dilarang oleh adat Makassar yang disebut
kawin Nilariang. Kalau kasus Silariang ini dilakukan atas kata
sepakat bagi kedua pelaku silariang untuk lari bersama untuk kawin, maka
dalam kasus Nilariang ini, kehendak untuk kawin lari, datangnya dari
pihak laki-laki. Kalau kehendak kawin
lari datangnya dari pihak laki-laki, maka itu berarti, perempuan yang akan dilarikan itu dilakukan secara paksa atau tipu muslihat.
Ini
sering terjadi, kalau laki-laki itu sangat mencintai gadis yang diinginkan, kemudian setelah
melamar gadis itu, orang tuanya
menolk atau gadis itu sendiri yang menolak
dengan berbagai alasan. Biasanya, disertai dengan kata-kata yang kurang
enak di dengar oleh pihak laki-laki, sehingga laki-laki yang melamarnmya itu
merasa sakit hati. Sakit hati laki-laki
itu, membuat ia dendam. Laki-laki itu
mau balas dendam dengan berbagai cara, anatara lain menculik gadis itu,
kemudian membawanya ke sebuah tempat,
lalu memperkosanya.
Atau
juga gadis itu, saat diculik, ia berada
dalam ancaman. Bilamana tak mau mengikuti kemauan laki-laki itu, ia diancam
dibunuh atau diapakan, sehingga gadis
yang diculik itu, mau menuruti apa saja yang menjadi kemauannya, termasuk
dinikahkan dengannya menjadi suami istri.
Ada
pula yang dilakukan dengan cara tipu muslihat, yakni gadis itu dijanjikan sesuatu, misalnya
pekerjaan atau hadiah, kemudioan dibawa
ke suatu tempat. Di tempat yang sunyi dan sepi itulah, gadis itu dipaksa menuruti kemauan laki-laki
itu, kalau menolak, laki-laki itu
memperkosanya hingga hamil.
Kasus
semacam ini banyak terjadi, hingga membuat
gadis itu jadi pelacur di tempat prostitusi. Merka pertamanya diiiming-imimng
sebuah pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tapi apa daya, ternyata hanya tipu
muslihat dan tidak ada kekuatan bagi
seorang wanita untuk melakukan perlawanan, mereka poasrah diapakan saja,
termasuk berhubungan badan. Bila sudah terlanjur, maka, perempuan itu akhirnya
melacuran diri, seperti yang banyak terjadi sekarang ini.*
Erang Kale
Jenis
lainnya dari silariang adalah, ada yang
dinamakan kawin Nilari atau Erang Kale. Pada kasus kawin Erang kale atau Nilari ini datangnya dari pihak perempuan. Perempuan itu
lari ke rumah imam, lalu menunjuk
laki-laki yang pernah menggaulinya.
Dengan demikian, laki-laki yang ditunjuk itu harus bertanggung jawab
atas perbutannya untuk mengawini perempuan yang menunjuknya.
Perempuan
seperti ini, mereka biasanya larut dalam pergaulan bebas. Ia bnyak berhubungan
laki-laki satu dengan laki-laki lainnya. Disaat berduaan, kadang setan
menggodanya untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, mka terjadilah
perbuatan seperti layaknya suami istri.
Setelah perempuan itu hamil, maka laki-laki yang
pernah diajaknya berhubungan, sudah
tidak nampak lagi. Mereka melarikan diri dan tak mau bertanggung jawab atas
perbuatannya, sengakna perempuan yang pernbah digaulinya sedang hamil dan berada dalam ancaman dari
pihak keluarganya terutama orang tuanya.
Untuk
menyelamatkan jiwanya, maka perempuan itu lari
ke rumah imam. Di rumah imam itulah, baru perempuan iotu menunjuk
laki-laki yang pernah menggaulinya. Bila laki-laki itu ada, maka dipaksa untuk menikahinya, kalau tidak mau,
maka tumasiiri’ (keluarga dari pihak
perempuan) akan menindakinya , biasanya
membunuh laki-laki itu, karena dianggap mempermainkan anak gadisnya hingga hamil dan itu dianggap
siri’..
Biasanya
, kalau tidak ada laki-laki yang mau bertanggung jawab, maka biasanya, ditunjuk laki-laki yang mau secara sukarela
mengawini perempuan tersebut. Perkawinan
seperti ini disebut Pattongkok siiri’ (penutup
malu).
Anynyala Kalotoro
Ada
juga kasus yang dilakukan oleh gadis atau perempun yang sudah beristri
dengan jalan lari ke rumah imam tanpa
ada laki-laki yang ditunjuk untuk mengawininya. Wanita itu mungkin sudah hamil, tapi ia tidak tahu
laki-laki mana yang ditunjuk bertanggung
jawab. Disisi lain, pihak keluarganya juga mempertanyakan kehamilannya, dan
siapa laki-laki yang menghamilinya. Untuk menyelamatkan jiwa perempuan itu,
biasanya ia lari ke rumah imam untuk minta
perlindungan dan mencarikan solusinya.
Ini
juga termasuk perempuan yang suka bergaul bebas. Mereka banyak berhubungan
dengan laki-laki siapa saja yang dikenalnya, dan mereka menuruti ajakan
laki-laki yang membawanya itu, termasuk berhubungan badan. Laki-laki yang pernah berhubungan dengannya,
bukan hanya satu, tetapi banyak, sehingga bila permpuan tu hamil, sulit
menunjuk, siapa laki-laki yang bertanggung jawab. Untuk menyelamatkan jiwanya,
perempuan malang itu lari ke rumah imam tanpa ada laki-laki yang membawanya.
Biasanya,
pada kasus ini, kalaun tak ada laki-laki yang
mau bertanggung jawab, maka ditunjuk laki-laki mana saja yang mau menikahinya,
setelah itu apakah mereka meneruskan parkawinan atau cerai, yang penting sudah
ada laki-laki yang mau bertannggung
jawab. Peristiwa semacam ini disebut Annyala Kalotoro yakni
perempuan kawin lari tanpa ada laki-laki yang bertanggung jawab.*
Salimara
Ada
pula jenis perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat, karena terkait
dengan adanya hubungan darah yang sangat dekat, misalnya antara ayah dengan
putrinya, ibu dengan putranya atau sesama saudara. Perkawinan seperti ini oleh
orang Makassar disebut Salimara.
Kalau
kasus silriang, nilariang atau Erang Kale masih ada jalan keluarnya, yakni
setelah mereka dinikahkan, maka
persoalan sebagai suami istri sudah selesai. Tetapi pada kasus
Salimara, merupakan kasus yang tak
berujung. Keduanya sulit dikawinkan, karena terikat hubungan darah yang terlalu
dekat. Pada kasus Salimara ini, pada zaman dulu, biasanya kedua pelaku Salimara
dikenakan hukuman niladung. Hukuman Niladung adalah kedua pelaku itu diikat, lalu digantung batu
sebagai pemberat, lalu keduanya ditenggelamkan ke tengah laut atau sungai hingga mati.
Ada
kepercayaan dari masyarakat Bugis Makassar tentang adanya kasus ini. Bila ada kasus
Salimara terjadi di sebuah kampung, maka itu menurut kepercayaan masyarakat,
nasib sial yang akan melanda kampungnya
dan seluruh warga dalam kampung itu akan merasakan akibatnya, misalnya tanaman rusak, ikan pada menghilang di kali,
hewan piaraan mati dan penyakit akan
melanda masyarakat. Dari pada seluruh masyarakat merasakan akibatnya,
itulah sebabnya, masyarakat setempat harus melenyapkan kedua pelaku salimara
tersebut dengan jalan Niladung.
Kalau
pelaku Salimara ini tidak dikenakan hukuman niladung, maka biasanya keluarga
atau wrga setempat menganggap pelaku ini sudah mati atau Nimateangi. Kalau sudah
ada sanksi Nimateangi, maka baik
hunungan kekeluargaan maupun harta warisan dari orang tuanya, sudah putus,
karena dianggap pelaku ini sudah mati, walaupun kenyataannya masih ada.
Baik
kasus Silariang, Nilariang, Erang Kale
atau Nil;ari, Annyala Kalotooro dan
Salimara, semuanya itu berkibat siri’ (malu) bagi pihak keluarga perempuan. Siri’ disini bukan hanya diartikan
sebagai malu-malu, tetapi lebih mendalam
lagi, siri’ merupakan harga diri, kehormatan atau martabat sebagai seorang
manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah SWT.
Menurut
budayawan Makassar, H,. Abd Haris Dg Ngasa, bahwa arti Siri’ itu merupakan
akronim dari kata Sikedde Rinring (sedikit atau tipis dinding). Ini berarti
martabat atau sifat antara manusia dan binatang dinding atau pembatasnya sangat tipis. Itulah
sebabnya, ada orang yang wujudnya seperti manusia, tapi perbuatannya seperti
binatang. Dikatakan perbuatannya seperti binatang, karena mereka melakuklan hubungan badan tanpa nikah sama
dengan binatang. Kata orang Batak Amanimanuk (kawin seperti ayam). Jadi
disini, dinding pembatas antara sifat manusia dan binatang sangat tipis.
Dengan
alasan Siri’ inilah, mak kasus membela harga diri bagi suku Makassar tidak bisa
lagi ditolerir. Dalam hukum adat mengharuskan pada seseorang yang merasa
dipermalukan (dari pihak keluarga perempuan) untuk menegakkan siiri’
keluargnya. Dan biasanya berakhir dengan
pembunuhan atau penganiayaan.
Keluarga
dari pihak perempuan, setelah mendengar anaknya mel;akukan silariang,
mereka akan menemui kaluarganya
untuk Appala Siri (minta bantuan pada keluarga untuk menegakkan
siiri’nya). Pihak keluarga yang tahu bahwa
anak kemenakannya itu silariang
maka mereka siap-siap mengambil
tindakan, bilamana di suatu saat atau di suatu tempat ketemu orang yang
melarikan anaknya, mereka bisa
menindakinya, baik dengan cara mengusir,
memukul atau tidak sedikit diantara pelaku silariang ini menemui ajalnya
di ujung badik.
Sebaliknya
bagi pelaku Silariang, mereka juga melakukan kawin Silariang, karena beberapa alasan, antara lain, karena pinangannya ditolak, mungkin ditolak
karena perbedaan strata sosial, karena miskin atau karena punya istri atau alasan lainnya. Mereka melakukan kawin silariang dengan tekad yang
bulat, yakni muntuk membentuk keluarga. Walaupun mereka tahu, bahwa ini mengandung resiko yang
sangat berat, yakni bisa saja kedua-duanya
celaka mati di ujung badik dari tangan pihak keluarga perempuan yang
disebut Tumasiri’.
Walau
rintangan seberat itu menghadang, tapi
bagi pelaku silariang yang disebut Tumannyala, tak gentar
menghadapinya., apapun resikonya, termasuk
maut. Para pelaku silariang, khusunya
laki-laki, biasanya ia selalu siap sedia senjata tajam dengan
menyelipkan badik di pinggangnya, kemanapun ia pergi. Ini dimaksud, bila mana
suatu saat mendapat tantangan maka ia
melakukan pembelaan diri.
Walaupun
sanksi yang ditetapkan pada pelaku Silariang atau Tumannyala ini sangat berat,
akan tetapi Hukum Adat Makassar juga
memberikan batasan pada Tumasiri’ untuk mengambil tindakan pada Tumannyalanya.
Para Tumasiri’ tidak bisa mengambil tindakan sembarangan. Mereka harus mengetahui
di tempat mana yang boleh atau tidak boleh melakukan tindakan.
Hak Asyil Dalam Hukum
Adat Makassar
Dalam
hukum Adat Makasar, batasan bagi Tumasiri’
untuk memngambil tindakan dibatasi
dalam hal-hal tertentu. Bilamana Tumasiiri’ memburu Tumannyala, kemudian
Tumannyala melemparkan apa yang melekat di badannya, misalmnya songkok atau
baju masuk dalam pekarangan orang lain,
atau kalau berada di pematang sawah di buruh kemudian menghindar turun
ke sawah, maka itu berarti Tumannyala
dianggap sudah minta perlindungan. Dan
kalau Tumannyala sudah minta perlindungan seperti itu, maka Tumasiri’ tak boleh
lagi melakukan tindakan pada Tumannyalanya. Dalam Hukum Internasional, hak hak
minta perlindungan disebut hak suaka atau hak asyil.
Hak
asyil atau hak minta perlindungan atau hak suaka dalam hukum adat Makassar
sebenarnya sudah ada sejak \zaman nenek
moyang kita dulu yang mengatur tentang sanksi
yang bola atau tidak bola diberikan oleh Tumasiri pada Tumannyalanya. Ternyata, hak asyil ini ternyata ada persamaan dalam hukum Internasional yakni hakl untuk
minta suaka politik.
Dalam
suatu negara, bila ada warga negara yang melakukan pelarian politik ke suatu
negara, maka cukup warga negara itu
masuk ke kantor kedutaan besar dari
negara yang diinginkannya atau larui ke negara yang diinginkan, kemudian minta
pada pemerintah negara itu atau duta besarnya, supaya dilindungi dari
kejaran dari petugas hukum dari negara
asalnya.
Ini
kalau ada kasus demikmian, kalau seseorang sudah memasuki kedutaan
besarnya dan minta perlindungan, maka polisi atau penegak hukum lainnya tak
bisa berbuat apa-apa, sebab dianggap sudah masuk dalam wilayah hukum negara
yang asing itu. Polisi Indonesia tak
bisa berbuat apa-apa dan itu sudah masuk wewenang pemerintah negara yang dimasukinya, misalnya
kedutaan besar belanda. Itu menjadi wewenang pemerintyah Belanda.
Kemudian,
apakah hukum Internasional meratifikasi
hukum Adat Makassar atau kebetulan sama
bentuknya antara hukum adat Makassar dengan hukum Internasional. Kalau memang
kebetulan sama, berarti hukum Adat Makassar lebih dulu menerapkan hak suaka dibanding
hukum Internasional.*
Abbaji
Antara
Tumannyala dan Tumasiri’ ini bagaikan kucing dan anjing. Tak bisa akur selama dalam proses silriang. Akan tetapi,
bila pelaku Silariang ini, meminta rela
kepada kedua orang tua
perempuan dan disetujui, maka selanjutnya
dilakukan acara damai yang disebut Abbaji.
Para
Tumannyala, biasanya melakukan silariang
bertahun-tahun lamanya, bahkan ada sampai becucu di tempat pelariannya
baru kembali berdama dingan orang
tuanya. Tapi ada pula yang hanya beberapa bulan, orang tua yang berangkutan
memberikan rella atau persetujuan untuk kembali berdamai.
Dalam
kasus silariang , biasanya kedua orang tua
setuju kalau anaknya kembali
abbaji, tapi ada salahg satu keluarganya, misalnya saudaranya yang tegas menolak
Tu,annyalanya itu untuk datang abbaji. Bila Tumannyala menemui kasus seperti itu, bisanya proses
menuju perdamaian agak lama dan
bahkan tidak kunjung jadi abbaji lantara
ada salah satu keluarganya yang menolak kedatangannya.
Bilamana
sudah ada acara Abbaji ini, maka anak yang anak atau kedua pelaku silariang
ini, tadinya dianggap musuh bersama dari pihak keluarga perempuan, kemudian,
berbalik seratus persen. Kedua pelaku silariang itu sudah dianggap anak. Bila sudah ada acara
Abbaji, maka tidak ada lagi namanya Tumasiri’ dan Tumannyala, sanksi adatpun tidak
bisa diperlakukan.*.
Silariang di Abad Modern
Perkawinan
silariang pada zaman dulu sangat jauh beda dengan abad sekarang ini. Kalau
dulu, untuk ketemu dengan sang kekasih saja sangat susah. Pertemuan sering terjadi bila ada pesta
rakyat, musalnya acara olahraga A’raga (main raga), tau ganrang
pakarena (gendang tradisionil). Pada saat itu gadis dan laki-laki ketemu, dan
dari situlah mulai terjadi komunikasi akhirnya menjurus pada pacaran (Abbayuang)
. Bila laki-laki dan gadis itu
abbayuang, kemudian lanjut ke jenjang
berikutnya untuk membentuk suatu rumahtangga.
Namun kawin silariang di abad modern ini cukup
mudah dilkukan, karena bisa saja kedua belah pihak, pemudan dan gadis berjauhan atau bahkan diantarai samudra yang
luas, tetapi komunikasi mereka sangat dekat. Sebab bisa saja mereka bicara
setiap saat lewat telpon atau HP atau bahkan internet atau facebook yang marak
sekarang dilakukan oleh kawula muda.
Dalam
komunikasi lewat alatb teknologi canggih tersebut, mereka bisa saja janjian
ketemu di sebuah tempat untuk memadu kasih atau bermesraan tanpa diketahui oleh
keluarganya. Baik gadis maupun pemuda sekarang sudah bebas berkeliaran
kemana saja dengan berbagai alasan, misalnya me rumah teman atau ke sekolah, ke kantor dan alasan lainnya, tetapi
sasarannya menuju ke sebuah tempat yang telah disepakati untuk memadu kasih.
Kalau
dulu, pergaulan anatara laki-laki dan perempun sangat dibatasi, orang tua mereka melarang anak gadisnya
keluar rumah bila tak jelas tujuannya, pkaiannyapun harus menutup aurat.
Sekarag ini, pakaian yang you can see sudah tidak tabu lagi
dugunakan oleh kaum hawa Walau banyak
diantara kaum hawa yang berpakaian menutup aurat, tapi pergaulan mereka cukup
luas.
Untuk
melakukan silariang di abad modern ini, sangat mudah. Laki-lki cukup
berkomunikasi dengan kekasihnya, kemudian janjian ditunggu di sebuah tempat.
Setela keduanya ketemu, mereka bisa saja menuju ke sebuah tempat di rumah imam
untuk dinikahkan. Imam yang menerima kedua anak ini, bisa melakukan komunikasi lewat HP pada orang
tunya bahwa anaknya silariang dan minta
rella untuk dinikahkan.
Sering
kita dengar sekarang, hanya karena main
facebook. Seorang gadis melarikan diri pada teman facebooknya. Untng kalau
gadis itu lari kemudian nikah,
tetapi kalau pertemuannya hanya untuk memadu kasih dan akhirnya bersina, maka sangat berbahaya bagi
kaum perempuan. Sebab dalam pergaulannya diluar
batas itu, bisa saja perempuan itu hamil diluar nikah, kalau laki-laki
mau bertanggung jawab, tak ada masalah, tapi kalau tidak, maka perempuan itu
sangat menderita, sebab tak ada laki-laki yang bisa ditunjuk untuik bertanggung
jawab.
Itulah
sebabnya, silariang sekarang, bukan lagi perempuan itu dijemput di rumahnya
untuk lari bersama , tetapi perempuan itu
sendiri yang membawa dirinya (erang kale) ke laki-laki , kemudian lari bersama ke rumah penghulu untuk nikah. Atau ada juga yang dilakukan dengan tipu
muslihat, yakni sengaja dipacari
perempuan itu, kemudian setelah perempuan itu hamil, mereka lari dari
tanggung jawab., membuat perempun itu
merana sepanjang masa.**
Selingkuh dan Silariang
Perzinahan
atau dalam bahasan krennya adalah perselingkuhan sangat erat kaitannya
denga kasus silariang, Dari hasil
penelitian penulis di masyarakat , banyak kasus silariang yang didahului dengan kasus perselingkuhan. Selingkuh bisa membuat
wanita itu hamil. Bila wanita
selingkuhannya itu hamil, biasanya mereka melakukan jalan pintas, yakni
silariang denga pacar selingkuhannya.
Walaupun
dalam hukum islam, perselingkuhan dilarang keras, tapi kenyataannya banyak juga
yang melanggar noirma ini. Mereka tergoda dengan nafsu syetan yang membuat mereka nekat
melakukan perbuatan selingkuh.
Dalam
Surah Al Isra ayat 32 secara jelas dikatakan : Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang
keji dan jalan yang terburuk.
Dari
bunyi ayat tersebut jelas melarang setiap orang untuk menghapiri zina, apalagi
kalau sampai melakukannya, sungguh itu
adalah dosa besar bagi yang melakukannya.
Pada
negara-negara barat, melakukan hubungan seks sebelum nikah, nampaknya sudah membudaya dikalangan
masyaeakat, khusunya dikalangan remaja
poutra dan putri. Jangankan di negara barat, di negara kita Indonesia, banyak terjadi kasus persel;ingkuhan atau kasus
pezinahan di tempat protitusi.
Dalam hukum adat Makassar, perbuatan
seperti ini dikategorikan sebagai siri’ dan pelakunya dapat dikenalan
tindakan pembunuhan.
Beberapa
pakar seksologi dari belanda mengemukakan hasil peneliitiannya, yakni :
1. Dr C. Van Ende Boas, seorang sexulogi
Belanda mengemukakan, wanita-wanita muda
yang kawin sekarang ini, sekitar 90 persen tidak gadis lagi diwaktu mereka
menikah. Kebanyakan dari mereka sudah melakukan hubungan kelamin dri orang lain
selain dengan calon suaminya.
2. Dr. H. Musaph berpendapat, dalam jangkla beberapa tahun terakhir, dibawa
pengaruh perubahan-perubahan sosial, timbul anggapan bahwa melakukan hubungan
seks dengan teman tetapnya adalah soal
biasa atau lumra dan itu adalah hak mereka.
3. Dr. Elco D Wassenaar, sarjana
Psykologi Berlanda, mngatakan, agama tidaklah memegang peranan penting lgi
dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Dahulu orang masuk dalam salah satu
gereja karena mengharapkan jaminaan sosialnya. Sekarang jaminan sosial adalah
diadakan oleh pemerintah, sehingga agama tidak diuperlukan lagi. (Dr. H. Ali
Akbr, Merawat Cinta Kasih, Pustaka
Antara, Jakarta, 1984, hal 168).
Dari
apa yang dikemukakan oleh pakar seksulogi Belanda diatas, menandaakan bahwa freeseks di negara barat sudah dianggap
sebagai suatu hal yang biasa. Nampaknya anggapan seperti itu, sudah masuk ke
Indonesia, baik di kota besar maupun di daerah pedesaan. Terbukti, pada setiap pemberitaan mass media, baik
elektoronik maupun media cetak, setiap saat banyak terjadi kasus perzinahan atau selingkuh.
Budaya
freeseks di Indonesia juga sudah menjamur dimana-mana. Hal dapat dibuktikan
dengan menjamurnya tempat pelacuran,
bahkan secara terang-terangan perselingkuhan
atau perzinahan banyak dilakukan si tempat prostitusi, belum lagi namanya kumpul kebo’ atau lebih kejam lagi berselingkuh sambil
memvidiokan dan menyebarrkan ke publik.
Dalam
pasal 284 KUHPidana juga sangat
mempersempit pengertian zina, yakni hanya orang yang sudh bersuami atu
beristri melakukan hubungan seks diluar nikah. Bilamana hal ini terjadi
pafa remaja, maka itu menurut KUHP tidak dikategorikan zina.
Dengan
demikian, yang dimaksud zina dalam KUHP adalah laki-laki atau perempuan yang
sudah beristri (bukan suami istri) melakukan hubungan seks secara tidak sah.
Kalau ada salah satu pelaku yang belum bersuami atau beristri (bujan/gadis)
melakukan hubungan seks dengan seseorang bersuami atau beristri, maka dalam
KUHP yang dianggap sebagai pelaku utama adalah orang yang sudah bersuami atau
beristri, sedangkan gadis atau bujang yang terlibat dalam kasus tersebut, hanya
masuk sebagai pembantu terlaksananya perbuatan zina atau selingkuh tersebut.
Jadi
kalau begitu, bagaimana halnya yang berzina itu adalah orang yang belum
bersuami atau beristri (jejaka dan gadis). Aoakah ini masuk zina? Tentunya
kasus ini tidak diatur dalam KUHP, tau tidak dapat dikatakan sebagai suata
kejahatan seksual. Apa lagi kalau perbuatan seks itu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Walupun
kasus ini masuk ke pengadilan, hakim yang berpedoman pada KUHPidana jelas
membebaskan para terdakwanya. Pernah salah seorang guru menggagahi anak muridnya,
dan kasusnya diproses sampai ke Pengadilan, tapi hakim
memutus bebas perkara tersebut
dengan alasan perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan keduanya
sudah dewasa tapi belum menikah (Bismar
Sioregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional . Hal 138)
Dengan
adanya kasus pembebasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dari kasus asusila
tersebut, maka bila kasus ini dilihat dari
kacamata adat istiadat yang berlaku di negara kita ini, hakim tak
sepantasnya membebaskan terdakwa dari kasus tersebut, karena itu berarti menginjak-injak
perasaan masyarakat. Kemana lagi mereka akan meminta perlindungan hukum. Hal
ini juga mengancam kehidupan generasi dimasa datang dari kasus kesusilaan.
Seorang hakim yang baik, tentunya jangan terlalu kaku menafsirkan aturan yang
berlaku. Menghukum suatu perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP itu sangat dimungkinkan oleh
Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 tahun 1970 khususnya pasal 14 ayat 1
dijelaskan :
“Pengadilan tidak akan
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadiili suatu perkara yang diajukan,
dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadlijnya”
Dari
kasus tersebut, memang hakim tetap mengadili kasus kesusilaan , tetapi dalam
putusannya nanti, tetap membebaskan terdakwa dari hukuman. Putusan tersebut,
bila dilihat dari segi keadilan hukum, memang adil, karena memang KUHP tidak menghukum kalau hubungan seks dilakukan atas dasar suka sama suka pada orang yang
masih gadis atau bujang. Tetapi dilihat dari segi keadilan hukum masyarakat, itu tidak adil. Tentunya mereka
tidak ingin generasinya terjerumus dalam perbuatan asusila itu.
Hubungan
seks antar lki-laki dan perempuan tnpa
nikah disebuit dengan freeseks dan dalam islam disebut zina (H. Ali Akbar: hal
94).
Hukuman zina
atau selingkuh daalam Islam jelas
diatur dalam Surah An Nur ayat 2 “ disebutkan: :Pezina perempun dan pezina laki-laki masing-masing mereka
hendaklah mereka kamu hukum dera sertus
kali, dan jangan kamu dipengaruhi belas kasihan terhadap hukum agama Allah.
Jika kamu sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan hari kiamat, hukumann itu
hendaklah disaksikan oleh sejumlah kaum muslimin”.
Karena
negara kita berdasarkan Pancasila yng menjunjung tinggi nilai-nila KeTuhanan
Yang Mahaesa, maka dalam pelaksanaan
aturan di negara ini, harus dilandasi dengan nilai-nilai KeTuhanan yang
tertdapat dalam ajaran agama.
Demikian
pula dalam hukum adat kita yang beraneka ragam, tidak satupun hukum adat yang mewajibkan adanya
kasus freeseks di masyarakat, kalaupun itu ada, sungguh sangat bertentangan
dengan falsafah negara kirta yakni
Pancasila.
Khusus
dalam hukum adat Bugis Makassar, ada yang dinamakan siiri’. Siri’ ini melarang
bagi setiap orang untuk melakukan hubungan seks sebelum nikah (zina atau
selinmgkuh) dan freeseks. Apabila ada orang yang melanggar aturan ini,
sanksinya cukup berat. Yakni pembunuhan terhadap sipelaku.
Apa
lagi kalau teman selingkuh sampai hamil, bila mereka berada dalam area hukum
adat, mereka akan dihajar habis-habisan. Biasanya pelaku menghindari sanksi
adat tersebut dengan jalan melakukan silariang ke rumah imam lalu
nikah.*
Perkasa, Perkosa ,
Silariang
Perkosa
dan perkasa adalah dua suku kata yang
hampir sama , tetapi maknanya sungguh
jauh berbeda. Orang mendengar kata perkosa,
pasti orang sangat benci pada sipemerkosa dan merasa iba terhadap korban
pemerkosaan. Sedangkan mendengar kata perkasa, menjadi dambaan bagi kaum
laki-laki yang ingin memiliki tubuh perkasa. Bagi kaum perempuan, khususnya
cewek-cewek ingin menjadi pria
dambaanya.
Kasus
perkosaan ini bisa saja berakibat silariang, Nilariang atau Erang kale, bahkan Annyala
Kalotoro (Lari tanpa ada laki-laki yang bertnggung jawab) .. Kasus
perkosaan yang berakibat hamilnya gadis atau perempuan, mereka bisa
menyelamatkan dirinya dengan jalan lari ke rumah imam, lalu menunjuk orang yang
pernah menggaulinya untuk bertanggung jawab, atau bisa juga kawin dengan pria
mana saja sebagai kawin Pattonkok siri’ untuk menutupi aibnya, agar anak yang
lahir kelak punya ayah dan ibu juga
sudah nikah.
Kasus
perkosaan, hampir setiap harinya banyak menghiasi media. Sipemerkosa tidak lagi memilih perempuan
dewasa, tetapi juga anak gadis yang masih
umur belia, anak-anak, bahkan ada orang tua yang memperkosa anaknya
sendiri hingga hamil dan melahirkan anak.
Kasus
perkosaan ini diatur dalam pasal 285
KUHP. Dalam pasal tersbut, ditegaskan “Barang
sip dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
istriny bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman
penjara selama-lamanya 12 tahun.
Berdasarkan
bunyi pasal tersebut diatas ada beberapa unsur yang perlu dijelaskan, yakni : Barang
siapa. Kata tersebut berarti,
orang yang melakukan pemerkosaan atau pemerkosa. Sipemerkosa ini umumnya
dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi tidak menutup kemungkinan juga dilakukan
oleh kaum wanita, namun ini jarang terjadi, kebanyakan dilakukan oleh kaum pria
memperkosa perempuan, karena dilihat
dari segi kekuatan fisik laki-laki lebih
kuat dari kaum waanita.
Adapun
perempuan yang sering melakukan
perkosaan, adalah mereka yang menderita kelainan seks tu disebut Nymphomania
ykni kelebihan seks pada wanita. Untuk melampiaskan nafsunya, bolleh saja
perempun itu memperkosa laki-laki yang kemungkinan bisa ia lawan.
Namun
dalam KUHP, kasus pemerkosaan itu hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Pasal ini untuk melindungi
kaum wanita dari kejahatan perkosaan. Artinya, kalau ada wanita yang menjadi korban
perkosaan, malka laki-laki sipemerkos bisa dikenakan hukuman penjkara. Dalam
pasal tersebut terdapat kata ‘memksa seorang perempuan untuk
bersetubuh dengannya”. Ini menndakan bahwa wanita yang diperkosa itu
tak berdaya, sehingga ia pasrah merelakan kegadisannya direnggut.
Unsur
berikutnya adalah paksaan dari pihak laki-laki untuk bersetubuh. Makna kata itu
berarti, ada dua kemauan yang saling bertentangan, yakni, kemauan laki-laki
supaya wanita itu bisa disetubuhi dibawa ancamannya, Sedangkan kemauan wanita,
ingin terbebas dari kasus perkosaan. . Sebab kalau sama-sama mau, berarti itu
bukan perkosaan, tetapi masuk perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama
suka.
Wanita
yang diperkosa itu, diberikan dua
pilihan, hilang nyawa atau hilang kegadisan. Tapi wanita yang dibawa ancaman maut, pasrah dan
merelakan apa maunya laki-laki itu untuk
memperkosanya. Ada juga wanita diperkosa berontak dan mereka memilih mati dari
pada hilang kegadisannya.
Kasus
perkosaan ini banyak diantaranya disertai pembunuhan. Kasus pembunuhan terhadap
wanita yang sudah diperkosa umunya dilakukan, karena keduanya (pemerkosa dan
korban) sudah saling mengenal, sehingga dikhawatirkan perempuan itu akan
membuka aibnya dan bisa menyeretnya ke pengadilan.
Ancaman
pasal 285 KUHP tersebut adalah 12 tahun. Setiap kasus pemerkosaan yang
ditangani hakim, tidak mutlak 12 tahun, bisa kurang dan bisa juga lebih dari 12
tahun, tergantung dari berat ringannya kesalahan. Kalau banyak unsur yang
meringankan kesalahan, maka hukumannya bisa saja kurang dari 12 tahun. Tapi
kalau ada unsur yang memberatkan, misalnya disertai pembunuhan, maka hukuman bisa
lebih dari 12 tahun atau bahkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Seiiring
adanya kasus pemerkosaaan, setelah diproses pengadilan, akhirnya hakim memvonis
bebas terdakwa dengan alasan bahwa kasus itu bukanlah perkosaan dan hanya
dilakukan atas dasar suka sama suka, apa lagi keduanya sama-sama dewasa dan
dalam KUHP tidak mempersoalkannya.
Pada
kasus tersebut, menurut mantn Hakim Agung Prof.
Bismar Siregar, SH, dapat menimbulkan keresahan bagi :
1. Si korban merasa tidak mendpat
perlindungan hukum.
2. Si pengusut, penyidik tidak terkecuali
penuntut umum akan meraasa kecewa dan kecewa sekli. Bukankah segala jerih payah
mereka sia-sia, hanya karena dasar hukum
formal emata.
3. Masih ada lagi pihak yang ikut
berkepentingan yakni masyarakat ituy sendiri. Kekhawatiran menyelimuti hbti mereka. Siapa tahu kalau
bukan hari ini, mungkin besok atau suatu ketika , akan terjadi yang demikian
bagi diri dan keluarga. Sehingga mereka berkata, apakah kalau yang terjadi korban itu keluarga hakim bru ia
merasakan apa arti dan akibat korban perkosaan.
4. Dari satu sisi, si hakim tepat dan
benar untuk membuktikan perbuatn tentang perkosaan itu sulit sekali. Jarang
terjadi perbuatan perkosaaan tertangkap basah. Pada umumnya laki-laki lihai dan
berpengalaman, ia akan berupaya supaya lepas dri jeratan hukum. Karena hukum
yang ada sekarang secara formal sulit diterapkan. Setiap perkosaan secara kasar
disemak-semk atau secara halus diawali di remang-remang, sudah siap dengan
dalih dan alasannya membela diri terutama dari segi hukum mural ( Prof. Bismar
Siregar, SH. Keadilan Hukum dalam
Berbagai Aspek Hukuim Nasional, CV Rajawali, Jakrta 1986, hal 138).
Pada
kasus tersebut, kalau dilihat dari segi KUHP, nampknya bukanlah suatu kasus
perkosaan, melinkan kasus perzinahan yang dilaksanakan atas dasar suka sama suka. Dengan demikian, hakim akan
membebaskan dari tuntutan hukum.
Semua
orang sependapat tentang pengertian perkosaan yang terdapat dalam KUHP yakni
harus ada unsur paksaan kepada pihak perempuan untuk disetubuhi. Kalau tidak
ada unsur paksaan, berarti namanya persinahan.
Banyak
kasus yang terjadi, pertamanya dimulai dengan kasus perkosaan, tetapi setelah
lama, kemudian dilakukan atas dasar suka sama suka. Mungkin karena ketagihan,
sehingga aksi berontak itu akan menghilang dan berubah menjadi sukan sama suka.
Bismar
Siregar jelaskan, yang dimaksud dengan perkosaan tiada lain adalah termasuk
pengertian persinahan. Hanya saja yang berbeda, persinahan itu dilakukan atas
dasar keinginan bersama, hanya saja
tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dan labih tegas lagi kita bagi kita yang
menganut ajaran agama. Batas zina dengan bukti sina cukup sederhana, hanya
secarik kertas berdasarkan ikrar dihadapan Tuhan dan saksinya manusia, bahwa
akan menjadi suami istri kekal dan
lestari. Sedangkan sina, kesepakatan itu melanggar hukum, baik yng formal
maupun moral. Perkosaan disatu pihak memaksakan kehendaknya, sedang dilain
pihak dipaksakan menerimanya (Bismar, opcit hal 145)
Pada
pengertian diatas, pada umumnya Bismar rtidak terlalu mempersoalkan poerbedaan
antara perkosaan dan zinah. Bahkan dalam penuntutan sutu kasus persinahan
tersebut sebagai suatu kejahatan perkosaan / persinahan. Melainkann dituntut
dengan kasus penipuan, yang kasusnya terkenl dengan kasus barang.
Menurut
Bismar, yang dinamakan barang, karena si pria dengan
rayuan gombalnya membujuk si wanita, tetapi kemudian mengingkari janjinya. Oleh
Pengadilanm Negeri Medan dipidana ringan. Namun begitu, terdakwa tidak puas dan
naik banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Ternyata PT Sumut membatalkan
putusan PN Medan, llu menggantinya kasus persinahan dengan kasus penipuan .
Dengan pasal persinahan diganti menjadi pasal penipuan, hukumannya bertambah
berat, yakni dari 4 bulan untuk kasus persinahan pada putusan PN Medan menjadi 4 tahun di PT Sumut pada kasus penipuan..
Kasus
perkosaan bagi masyarakat Bugis Makassar
dikategorikan sebagai siri’. Siri’ itu berarti merendahkan martabat dari
pihak perempuan, dan pihak keluarga perempuan oleh hukum adat diwajibkan untuk
menegakkan siiri’nya yang biasa berakhir dengan duel maut.
Namun
ada kasus, pertamanya bermotif
perkosaan, tapi kemudian perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka,
yang berarti unsur paksaan sudah tidak ada. Namun beberapa bulan kemudian,
sigadis yang pernah diperkosa kemudian
lanjut persinahan itu hamil. Kalau laki-laki yang menghamilinya mau bertanggung
jawab, maka tak begitu bermasalah,
sisa dinikahkan, selesai masalah. Tapi
kalau laki-laki yang ditunjuk tidak ada, atau tidak jelas, maka perempuan itu
berstartus Annyala klotoro (kawin lari tanpa ada laki-laki) dan nikahnya
bisa dilakukan dengan sistem pattongkon
siri’.
Ada
juga setelah diperkosa, laki-laki itu kemudian membawa paksa perempuan
(nilariang) ke rumah imam untuk dinikhkan. Perempuan yang merasa terhina itu akhirnya malu kembali ke
rumah orang tuanya . Apa lagi laki-laki yang membawanya mau bertanggung jawab,
maka ia hanya pasrah untuk kawin
silariang dengan pemuda yang membawanya itu.**
Pengertian Siri’
Pengerian
siri’ telah banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak, baik masyaerakat
Suksel, masyarakat diluar Sulsel dan
bahkan dari para ahli hukum adat Dalam kajian yang berbed itu, membuat
persepsi tentang siri’. Berbeda pula, tergantung dari bagaimana cara mereka
memandang siri’ dalam kehidupn masyarakat Makassar.
Bagi
masyarakat luar Makassar banyak yang
beranggapan bahwa siri’ itu identik dengan perbuatan kriminal, misalnya
menganiaya atau membunuh Tumnasiri’ dianggapnuya perbbuatan kriminal yang
dapat dihukum.
Pandangan
ini, hanya melihat dari segi akibatnya. Yakni Tumasiri mambunuh Tumannyalanya
dengan alasan siri’. Tapi mereka tidak melihat,
kalau siiri’ ini tidak
ditegakkan, baagaimana kehidupan manusia kedepan. Terbukti, setelah
nilai-nila siiri’ bergeser, maka kasus kejahatan seksual merajalela dimana-mana. Apakah ini ini tidak lebih
jahat, bila dibanding dengan membunuh pelaku yang melakukan ejahatan seksual,
termasuk orang yang melakukan silariang,
karena biasanya mereka silariang,m karena terlebih dahulu ada hubungan seksuaal
diluar nikah dari kedua pasangan itu.
Prof.
Cassuto lam bukuny : Het Adat Strafreht in den Nederllanch
Achipel, mengatakan, Siri merupakan pembalasan berupa kewajiban moril
untuk membunuh puihak yang melanggar ada (dikutip dri buku Prof Moh. Natsir
Said : hal 50).
Sedngklan
Prof Nasir Said sendiri berkesimpulan bahwa siri’ adalah suatu perasaan malu
(krinking / belediging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluaarga / famili
yang dialnggar norma adatnya. (Moh Nasir Said : hal 50).
Bagi
masyarakat Sulsel khususnya suku
Makassar. Siri’ itu adalah harga diri atau martabat manusia sebagai manusia
yang s ebenarnya. Sebab banyk orang yang berwujud manusia, tapi perbuatannya
seperti binatang, karena kawin sembarangan , sama seperti binatang.
Dengan
adanya Siri’ melarang manusia untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah, karena itu sama saja seperti binatang, dan keturunan
yang dilahirkan adalah lahir dari perbuatan sina dari edua oorang tuanya.
Siri’
disini dimaksudkan untuk memanusiakan manusia. Bagaimana seorang manusia itu kelakuannya mengikuti
tata krama, sopan santun dan aturan yang berlaku di masyarakat. Bila kelakuannya seperti binatang, maka, jeas
sanksi aaat akan berlaku padanya. Hukum Adat Makassar, khusunya masalah siri’
agar pembentukan rumah tangga itu harus
dimulai dengan perkawinan.
Sanksi
Siri dimaksudkan untuk mencegah
seseorang melakukan perbuatan yang bisa dikategorikan dengan siri’.
Seperti berhubungan badan lain jenis tanpa nikah. Sanksi yang sangat berat itu, supaya
orang yang akan melakukan silariang harus lebih berhati-hati dan berupaya untuk
mencari jalan terbaik melalui perkawinan.*
Pergeseran Nilai Siri’
Siri’
pada zaman dulu sudah jauh beda dengan siri’ di zaman sekarang. Mengapa orang
tua dulu menjaga anak gadisnya keluar
rumah, karena anak gadis dianggap
sebagai mahkota dalam rumah tangga. Kalau mahkota itu rusak, maka rusak
pulalah rumah tangganya kedepan. Paara
orang trua dulu tak mau kalau lahir
cucunya dengan perzinahan.
Sekarang
ini, pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dilarang untuk
berhubungan dengan temannyn, dan ini termasuk siri’.. Sekarag ini, perempuuan
dan laki-laki dapat dengan bebas berjalan bersama, berboncengan motor, atu sama-sama satu mobil, kemudian apa yang
diperbuat dalam mobil sudah bukan lagi persoalan.
Dengan
adanya pergaulan bebas itu, sekarang ini banyak di dengar berita, ada perempuan
yang hamil diluar nikah. Kalau anaknya lahir, kemudian dicekik sampai mati,
karena malu, kalau dikethui oleh orang tuanya, bahwa anak yang dilahirkan itu
adalah hasil hubungan gelap.
Siri’
merupakan harga diri atau martabat seseorang yang perlu dijaga, agar manusia
itu berwujud seperti manusia yang sebenarnya. Manusia yang tidak punya siri’,
wujudnya memang seperti manusia, tapi sifatnya seperti binatang. Inilah yang
banyak terjadi, terutama di tempat prostitusi, dimana di temopat itu
banyak manusia yang memiliki sifat
binatang, mereka kawin seperti binatang tanpa melalui proses nikah.
Menurut
budayawan Sulsel, H. Abd Haris Dg Ngasa,
antyara sifat manusia dan sifat binatang itu hanya dibatasi oleh sebuah dinding yang sangat tipis. Itulah yang
disebut Sikedde rinring (sedikit dinding). Kalau dinding itu sempoat jebol,
maka manusia akan berubah sufatnya menjadi sifat binatang. Itulah sebabnya,
mengapa sanksi ada pada siri’ ini sangat
keras bagi masyarakat suku
Makassar di Sulawesi Selatan, karena tujuannya untuk memanusiakan manusia.
Suku
Makassar dalam menegakkan siri’ sering diistilahkan Pabbambangan na tolo
(Pemarah l;agi bodoh). Ungkapan ini
menurut Dg Ngasa, tidak selamanya benar. Mengapa orang tega membunuh anaknya atau laki-laki yang
membawa lari itu, padahal setelah
dilakukan acara abbaji (damai)
kedua pelaku silariang itu sudah
dianggap anaknya sendiri. Inilah pemikirang orang-orang yang tak mengerti
tentang siri’
Adalah
lebih bodoh, kalau melihat anak gadisnya
dipermainkan oleh laki-laki lain di depan matanya, kemudian tidak mengambil
tindakan tegas. Itulah sebabnyta pada orang tua dulu, bila melihat anak gadisnya dipermainkan oleh
laki-laki atau silariang, maka sanksinya
memang sangat tegas, yakni bisa saja mereka mati di ujung badik.
Kalau
siri’ ini ada pada tiap manusia, maka manusia itu tidak mungkin melakukan
perbuatan yang tidak senonoh yang bisa mempermalukan keluarganya. Orang tua
takut kalau anaknya jatuh ke tempat prostitusi, atau kalau mendengar anak gadisnya pernah melakukan hubungan terlarang dengan
laki-laki, maka orang tua yang punya
siri’ sangat marah pada anak gadisnya. Kalau
mereka tahu, bahwa anaknya hanya dipermainkan, maka orang tua atau
keluarganya mewanti-wantii laki-laki itu untuk diambil tindakan tegas pada
pemuda yang mempermainkan anak gadisnya itu.*
Tinjauan Hukum Pidana
Dalam
Hukum pidana (KUHP) kalau menyangkut masalah nyawa seseorang, terutama menyangkut
masalah penganiayaan atau pembunuhan, maka
tidak ada satu alasanpun untuk melakukannya,
termasuk alasan siri’ mereka bisa
dikenalan hukuman pidana penjara.
Bagi
para Tumasiri’. Bila sudah mendengar berita, bahwa anaknya atau keponakan atau sanak keluarganya melakukan silariang,
mereka dituntut oleh hukum Adat untuk menegakkan siri’nya. Sebab kalau tidak
bertindak, mereka dicap oleh masyarakat sebagai ballorang (alias
penakut). Tertapi mereka harus berani, tampil sebagai pembela martabat
keluarga.
Dalam ungkapan
orang Makassar ada yang disebut Eja Tonpi sen Na Doang (nanti merah
baru terbukti udang). Maksudnya,
penegakan siri’ itu memang banyak
resiko, terutama membunuh dan akhirnya
masuk penjara. Tetapi resiko seperti itu, tidak terpikirkan dulu. Nanti kalau
sudah berhasil menegkkan siri’ barulah terbuklti bahwa udang itu kalau sudah
dimasak merah.
Kemudian
ada pula istilah yang mengatakan, bahwa orang Makassar itu kalau menegakkan
siri, luka tusuk senjata tajam itu, bukan berada di belakangnya, tetapi harus ada dimuka. Kalau luka tusuk berada di belakang badan ,itu berarti
pengecut atau penakut, tapi kalau luka
ada di bagian depannya, itu berarti pemberani.
Dalam ungkapan orang Makassar disebutkan Tiai Mangkasara punna Bokona
Loko’ (bukan orang Makassar kalau bagian belakang badannya terluka).Inilah
yang disebut Tubarani.
Bagi
Tumannyala (pelaku silariang), juga bertekad, resiko apapun yang menimpa dirinya, harus mereka
jalani, termasuk maut demi mendapatkan
si buah hati belahan jantung. Mati itu
urusan Tuhan, tapi semangat untuk
menyatukan dirinya dengan gadis pelihannya
tak bisa dibendung, walau itu maut sekalipun. Cinnaku Cinnana pakkekkepa
pasisa’laki (Cintaku dan cintanya, hanya linggislah yang bisa
memisahkannya). Begitu eratnya cinta kedua Tumannyala, sehingga mereka nekad
kawin lari.
Bagaimana
dalam hukum pidana?. Pada kasus Silariang, tindak pidana yang banyak terjadi
adalah, kasus pengniayaan dan kasus
pembunuihan. Kadang Tumasiri’ bila
menemukan Tumannyalanya di suatu tempat, misalnya di jalanan, mereka sering
memburuh Tumannyalanya, dan bila Tumannyala tidak mendapat perlindungan,
biasanya terjdi perkelahian. Kalau ada orang yang melerai, mungkin nyawa salah satu pihak masih bisa
diselamatkan, maka dalam hal ini dapat dikenakan pasal penganiayaan (351 KUHP),
tapi kalau mereka membawa senjata tajam dan tidak ada yang melerainya, maka
biasanya kasus ini berakhir dengan maut
atau pembunuhan, maka si pelaku dapat dikenakan pasal pembunuhan yakni pasal
340 KUHP untuk pembunuhan berencna dan pasal 338 tentang pembunuhan biasa.
Selain
itu, dalam kasus silarian, tentunya kedua belah pihak, baik Tumannyala maupun
Tumasiri’ keduanya selalu siap senjata tajam berupa badik yang
terselip di pinggangny. Ini juga
melanggar pasal dalam Undang-undang Darurat tahun 1957.
Kemudian
pada kasus silariang, karena ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak yang mau kawin lari, maka
dalam KUHP tidak ada satu pasalpun yag melarang mereka untuk kawin lari. Kecuali dalam agama, biasanya
pada kasis Silariang ini, sebelumnya disertai dengan perzinahan, maka kasus sin itu melanggar aturan agama Islam.
Untuk
kasus Nilariang, ini dapat dikenakan
pasal dalam KUHP, sebab pihak perempun
itu dipaksa untuk kawin dengan cara menculik atau tipu muslihat. Pihak
laki-laki yang melakukan kawin Nilariang ini dapat dikenakan pasal penculikan
atau pasal penipuan.
Dari
aspek sosial, pada kasus silariang ini, merupakan aib bagi keluarga kedua belah pihak, baik
keluarga laki-laki lebih-lebih bagi keluarga perempuan yang merasa sangat dipermalukan oleh ulah anaknya.
Masyarakat mencelh perbuatan ini dan
mencapnya sebagai orang yang tak mampu mendidik anak-anaknya, serta menyalahi
aturan adat dan agama.
Silariang Dalam Aspek
Kriminologi
Kriminologi
berasal dri kata crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu
pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
kejahatn (Prof. Hari Sangaji, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta hal
9).
Selanjutnya
Shutterland mengemukakan, kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejhatan
sebagai masalah manusia, seperti Anthropologi, Psykiatry, psyhologo dan
ain-lain.
Luasnya
ruang lingkup kriminologi terhadap berbagai aspek disiplin ilmu, sehingga Kriminologi
mendapat julukan sebagai King Without Country (Raja tanpa
negara). Artinya kriminologi meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, walaupun
hanya sedikit-sedikit saja, seperti yang terdpat dalam ilmu pengetahuan hukum,
sosiologi, Anthropologi dn sebaginya (Prof. Dr. Ronny Niiti Baskara, Catta
kuliah di Univ. Muhammadiyah Jakarta tahun 1989).
Luasnya
cakupan lingkup kriminologi tersebut, sehingg
dlam tulisan ini, penulis batasi dengan mengupas sejauhmana aspejk
kriminologi terhadap perkawinan silariang bagi suku Makassar.. Untk mengetahui,
perlu ditunjauasp[ek kebudayaan
terhadap kawin silariang.
Selnjutnya
Prof. Dr. Koentjaraningrat, dlm bukunya Kebudyan Mentalitas dan Pembangunan, mengemukakan,
ada tujuh unsur universal dari kebudayaan yaitu:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem
dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem
matapencaharian
7. Sistem teknologi dan perlatan
(Koentjaraningrat, hal 12).
Dihubungkan
dengan perkawinan Silariang, maka termasuk manakah silariang dalam unsur
universal kebudayaan itu?
Penulis
berpendapat, bahwa bahwa silariang masuk dalam unsur sistemn dan organisasi kemasyarakatan. Tiap
satu daerah di Indonesia, terapat persekutuan hukum, seperti yng disebut Desa, ngari (minang) dan sebaaginya.
Dalam persekutuan desa itu, terdapat item kecil, namanya sistem perkawinan.
Kemudian item kecilnya lagi dari sistem perkawinan, bagi suku Makassar terdapat
item kawin silariang.
Jadi
dalam hal ini, item pertama adalah sistem organisasi kemasyarakatan, item kedua adalah persekutuan
desa, item ketiga adalah sistem perkawinan dan item keempat adalah silariang dan item kelima adalah siri’
dan item selanjutnya adalah kejahatan
pembunuhan.
Ada
beberapa aspek budaya yang mengandung unsur kriminil, seperti kesenian
jaipongan, tuyuban dan masih banyak lainnya. Jenis kesenian ini jelas memperlihatkan keindahan dan nilai
seni. Tapi dibalik keindahan itu, sebenrnya mengandung adegan yang berbau
pornografi, dimana dalam kriminologi dikategorikan sebagai kejahatan (Prof.Niti Baskara, catatan kuliah
1989).
Demikian
halnya persoalan siiri’ dalam kasus silaring bagi suku Makassar. Prof. Andi
Zainal Abidin Farid dalam bukunya Persepsi
Orang Bugis Makassar tentang Hukum dan Dunia Luar, mengemukakan,
Membunuh seseorang laki-laki yang melarikan sanak saudara, maka
sipembunuh adalah yustification menurut
hukum adat lama, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral. (Hal 107).
Persoalan
lembunuhan dengan alasn siri pada kasus Silariang, menurut hukum adt Makassar dinggap sebagai suatu
kewajiban moral yang harus dilekukan oleh pihak keluarga perempuan yang disebut
Tumasiri’. Akan tetapi kasus pembuhuhan yang bertlatar belakang siri’ oleh
hukum pidana, sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk membunuh seseorang.
Bila terjadi kasus pembunuhan atau penganiayaan dengan alasan siri, dalam hukum pidana pasti
dikenakan pasal pembunuhan datau penganiayaan
dalam KUHP.
Jadi
disini ada dua aspek hukum yang saling bertolak belakang. Disatu sisi, hukum
adaat Makassar mewajibkan seseorang yang dipermlukan (tumasiri’) untuk melakukan
tindakan kriminil, apoakah itu penganiayan atau pembunuhan terhadap pelaku
silariang yang disebut Tumannyala. Disis lain, hukum pidana melarang sama
sekali Tumasiri melakukan tindakan kriminil, termasuk alasan siri’. Inilah yang
mkenjadi sorotn kriminologi dalam
pembahasan tulisan ini.
Dalam
kriminologi yang mempalajari masalah kejahatan,
dalm kriminologo, ada tiga jenis
kejahatan yang terdapat dalam kasus silariang. Gerson Bawengan dalam bukunya
Psykologi kriminil :
1.
Kejahatan daalam arti praktis
2.
Kejahatan dalam arti religius
3.
Kejahartan dalam arti yuridis
(Gerson Bawengan , Psikologi Kriminil
: hal 20)
Kejahatan Dalam Arti Praktis
Kejahatan
dalam arti praktis adalah suatu pengertian yang merupakan campur bauran dan bermacam-macam norma.
Pelanggaran
dari berbgai macam norm, baik norma agama, adat istiadat, kebiasaan, kesusilaan
dan norma hukum, sehingga dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat, baik berupa
hukuman pidana, cemoohsn dan pengucilan dari masyarakat. Misalnya seseorang
guru berbuat kejam terhadap muridnya,
maka guru tersebut dianggap sebagai penjahat. Seseorang yang suka memukuli
temannya, maka sipemukul dapat dicap sebagai penjahat dlam arti praktis.
Demikian
halnya pada kasus siri’ silariang yang telah melanggar norma-norma hukum, maka
sipel;ku silariang juga dicap sebagai kejahatan dalam arti praktis. Bila
terjadi kasus poembunuhan dan
penganiayaan dari Tumasiiri’ terhadap
Tumannyala, maka itu juiga diktegorikan sebagai penjahat dalam arti prktis.
Kejahatan Dalam Arti Religius
Kejahatan
dalam arti religius adalah suatu pengertian yang mengidentifikasikan jahat
denganb dosa. Dalam arti ereligius merupakan sinonim, bahwa jahat adalah
berbuat dosa. Demikin pula sebaliknya, berbuat diosa adalah jahat.
Sebagai
manusia yang bergama (islam) telah mempercayai adanya kitab yang diturunkan
oleh Allah SWT. Dalam Al Qur’an tersebut, mengandung suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan dan larangan yang harus dijauhi oleh setiap umt.
Dengan
mengacu pada pengertian religius, berarti orang-orang yang melakukan perbuatan dosa dicap sebagai sebuah kejahatan. Misalnya, tidak
melaksanakan shalat lima waktu, puasa, mencuri, merampok dan sebagainya.
Demikian halnya sanksinya, tidak hanya didaopatkan di dunia, juga lebioh-lebih
di akhirat nanti.
Dalakm
kasus siri’ dan silariang, perbuatan melarikan anak gadis, bersina atau bahkan
membunuh seseorang, itu adalah suatu perbuatan dosa yang dapat dikategorikan
sebagai sebuah kejahatan..
H. Moh. Syukri Daeng
Limpo, dalam
artikelnya Kawin Silariang, mengatakan, laki-laki
yang telah menodai kehormatan (appakatianang) atau melarikan gadis keluarga
sendiri yang haram dikawini (muhrin) disebnut salimara, , maka keduanya dikutuk oleh keluarga kedua belah pihak,
dan dikutuk oleh seluruh anggota masyarakat, sebab dianggap telah melakukan
pelanggaran besar yang merusak, bukan hanya norma adat dan agama, juga
menyebabkan hujan tidak mau turun. Konon pada zaman dulu, pelakunya dikenakan
hukuman niladung (ditenggelamkan ke
air dalam keadaan hidup hingga mati). SKU Mimbar Karya, 9 Desember 1984, hal 3).
Kejahatan dalam Arti
Yurudis
Kejahatan
dalam arti yuridis dapat dijumpai dalam KUHPidana yang membedakan secara tegas
antara kejahatan dan pelanggaran. Pada buku kedua KHUP diatur delik kejahatan
dan buku ketiga diatur delik pelanggaran.
Disamping
itu, Memori van Toelicting telah membedakan antara kejahatan dan pelanggaran.
Disebutkan, kejahatan adalah delik hukuim yaitu peristiwa-peristiwa yang
berlawanan dengan atau bertentangan dengan azas-azas hukum yang hidup dalam
keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang yaitu peristiwa-peristiwa
yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai hal yang
terlarang (Gerson Bawengan, hal 5).
Lain
halnya Prof. Mr Roeslan Saleh yang mengatakan,
semua perbuatan melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum,
karena :
1. Menurut bahasa, bersifat melawan hukum
adalah sesuatu yang menunjuk ke jurusan bertentangan dengan hukum.
2. Sifat melawan hukum itu adalah unsur
mutlak dari perbuatan pidana yang berarti bahwa tanpa ada sifat melawan hukum
dari suatu perbuatan, maka tidak ada pula perbuatan pidana, dalam mana ia
menjadi esensialnya. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat
dipandang tidak boleh dilakukan atau tercela jika dilakukan. Oleh karena
apa? karena bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam
pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
3. Bertentangan tanpa hak dan melawan hak
praktis menimbulkan konklusi yang berbeda-beda (Prof. Roeslan Saleh, Sifat
Melawan Hukuim dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta 1981, hal 26 – 27).
Dalam
kasus siri’ dan silariang jelas melanggar berbagai pasal dalam KUHP yang bisa
dikategorikan sebagai sebuah kejahatan. Seperti halnya pasal 332 KUHP (silariang dengan gadis dibawa umur),
pasal 340 KUHP (pembunuhan terhadap Tumannyala), pasal 285 KUHP tentang
perkosaan dan masih banyak pasal-pasal
lainnya yang terkait dengan kasus siri’ dan silariang.
Prof.
Mr. Roeslan Saleh selanjutnya mengutip pendapat Simon dan Hasuwinkel Suringa yang
mengatakan: Untuk dapat dipidana,
perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam undang-undang. Jika sudah demikian,
biasanya tidak perlu lagi diseliidiki, apakah merupakan perbuatan hukum atau
tidak (Opcit hal 13 – 14)
Berdasar
dari pendapat tersebut berarti, kasus silariang, baik secara yuridis maupun non yuridis adalah mencakup
semuanya, karena disamping melanggar peraturan tertulis (KUHPidna) juga
melanggar norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Walau orang yang melakukan
pembunuhan dengan alasan siri’ dalam hukum adat Makassar, tidak dianggap
sebagai sebuah kejahatan, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral, namun
dalam KUHPidana, membunuh dengan alasan
apapun, tetap dicap sebagai tindak pidana yang dapat dihukum.
Ada
beberapa pasal yang menatur tentang kejahatan yang berlatar belakang siri’ dan
silariang dalam hukum adat Makassar.
Pasal
332 KUHP
1. Paling lama tujuh tahun, barang siapa
yang membawa pergi wanita yang belum cukup umur, tanpa diketahui oleh kedua
orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk
memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik dalam maupun diluar
perkawinan.
2. Paling lama sembilan tahun, barang
siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman
kekerasan dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu,
baik dalam maupun diluar perkawinan.
Dari
bunyi pasal 332 KUHP itu memperlihatkan bahwa
perkawinan silariang, melanggar hukum pidana bila wanita yang dilarikan
itu masih dibawa umur, tipu muslihat, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Tetapi bilamana silariang itu sama-sama dilakukan oleh orang dewasa dan
dilakukan atas persetujuan keduanya, maka disini KUHP tidak mempersoalkannya
dan bukan dikategorikan sebagai
perbuatan pidana. Namun perbuatan Silariang baik dibawah umur maupun sama-sama
dewasa, apa lagi dilakukan dengan tipu daya atau kekerasan, dalam hukum adart
Makassar, dikategorikan dengan perbuatan yang melanggar norma adat khususnya
masalah siri’ dan kuluarga yang merasa dipermalukan yang disebut Tumasiiri; dapat mengambil tindakan
paada sipelaku atayu Tumannyal.
Pasal
285 KUHP
Dihukum
penjara selama-lamanya sembilan bulan:
a. Laki-laki yang beristri berbuat zina,
sedang diketahui bahwa pasal 27 KUHPerdata sipil berlaku padanya.
b. Perempuan beruami berbuat zina.
Biasanya
sebelum terjadi kasus silariang, kadang terjadi
hubungan badan atau perzinahan diantara keduanya. Bilamana perempuan
tersebut hamil, sedng kedua orang tuanya tak merestui laki-laki pilihannya,
maka disitulah serin terjadi kasus silariang.
Namun
dalam pasal 284 KUHP terlalu membatasi pegertian zina. yakni hanya
laki-laki yang sudah beristri atau
perempuan yang sudah bersuami melakukan
hubungan seks diluar nikah. Sedang bila hal ini dilakukan oleh kaum muda mudi
yang belum menikah atas dasar suka sama suka, maka menurut hukum pidana
bukanlah merupakan tindak pidana. Kalaupun terjadi kasus semcam ini, ancaman
hukumannya hanya 9 sembnilan bulan.
Pasal
340 KUHP
Barang
siapa dengan sengaja atau rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan berencana (moord) dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau selama kurun waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
Dri
pasal tersebut diatas, pengaturan tentang pembunuhan berencana. Dalam kasus
Silariang, kadang terjadi namanya kasus
pembunuhan dengan alasan siri’. Biasanya yang melakukan penyerangan adalah
Tumasiri’ terhadap Tumannyala. Bila terjadi penyerangan, terjadi pergumulan,
dan biasanya berakhir dengan duel maut, apakah yang mati itu tumannyala atau
Tumasiri atau bahkan orang yang melerai.
Bila terjadi kasus pembunuhan dengan alasan siri’, maka penegak hukum, dalam
hal ini polisi, jaksa dan hakim
menerapkan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan bila korban tidak mati. Biasanya
pasal yang didakwakan adalah pasal 340
KUHP (pembunuhan berencana), pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) dan pasal 351
KUHP tentang penganiayaan.**
Kasus
Salimara
Kisah
Ayah Perkosa Putrinya
Pak....Aku
Ini Anakmu
Kisah
tragis menimpa seorang gadis dari Kab.
Gowa. Sebut saja Ira (18) (samaran) nama gadis itu, tubuhnya aduhaai dan cantiknya
oke juga. Tapi sayang seribu sayang, cita-cita anak untuk menjadi orang baik,
terkandas di tangan ayah kandungnya sendiri (Dg Mampo (nama samaran). Ira diperkosa oleh ayak kandungnya sendiri
hingga hamil dan melahirkan bayi.
Kasus
ini bermula, ketika, Ira mandi di kamar mandi. Saat asyik mandi, tiba-tiba ada
yang ketuk pintunya. “Siapa ..” tanya
Ira dalam kamar mandi, mungkin mama kali,
pikir Ira dalam benaknya. Setelah pintu dibuka, ternyata Ayahnya. Tanpa basa basi, si ayah langsung saja nyelonong
masuk kamar mandi buang air . Sang
puntri tidak keluar, karena ia pikir, ia adalah ayahnya, Setelah selesai buang
air, ayah keluar.
Tahu-tahunya,
setelah ayah keluar dari kamar mandi, ia tergiur melihat tubuh putrinya yang molek. Nafsu syetanpun
mulai merasuk dalam diri sang ayah. Mula-mula ia mendekati putrinya,
sambil mencium, tangan ayahpun mulai nakal. Rabaan pertama ke buah dada, kemudian
ke arah terlarang. Sang putripun berteriak. Namun Ira pikir, ayahnya tak mungkin berbuat senonoh.
Tapi
lama kelamaan, nafsu bejat ayah semakin menggila. Bukan saja meraba daerah
terlarang, tetapi rural yang ia miliki
keluar dari sarangnya. Rudalnya kian tegang menbcari sasaran tembak.
Karena sang punti baru saja mandi dan hanya sarung yang melekat di badannya, maka
rudal scud sang ayah langsung nancap pada barang putrinya.
Diamnya
si anak ini, membuat ayah semkin penasaran. Rudalpun bergerak mulau masuk sasaran.
Aduh Pak...sakiiiit” keluh Ira. Memang begitu nak, sebentar lagi sembuh”
nasehat ayah.
Nampaknya
kontak pertama ayah dan anak ini, bukannya berakhir sampai disitu saja. Setiap
ada kesempatan, bila ibu keluar misalnya ke pasar, dan adik-adiknya pergi ke
sekolah, si ayah mulai lagi mendekati putrinya dan memulai lagi perbuatan
bejatnya. Si anakpun tak kuasa membendung keinginan ayahnya. Cuma Ira pernah melontarkan kata-kata : Aduuuhh.....Pak.. Aku ini anakmu., mengaapa
ayah tega berbuat begini? Kat Ira pada ayahnya. Namun nasehat sang anak
tak diperduli, rudal ayahpun terus mencari sasaran, dan terus
melampiaskan nafsu syetannya.
Ketika
sang ibu tercinta menunaikan ibadah haji , meriupakan kesempatan emas bagi ayah dan anak untuk mengulangi perbuatannya. Pergaulan suami istri bebas dilakukan. Karena
sudah terbiasa, maka tak ada lagi basa basi. Bila rudal ayah tegang, maka ia langsuing saja masuk ke kamar anaknya
untuk melampiaskan nafsunya.
Setelah
sekian lama berhubungan badan, sang putripun mulai mentah-mentah, pertanda ia
hamil. Si ayahpun mulai kelabakan. Perut sang putri dari bulan ke bulan terus membuncit. Hinggga usia kandungan
memasuki bulan keenam, Siayah mulai menghubungi Mak Nanong, salah seorang dukun
beranak di kampungnya. Kedatangan Ira ke Mak Nanong dengan maksud untuk
menggugurkan kandungannya alias aborsi. Namun Mak Nanong menolak untuk aborsi,
ia menyarankan lebih baik ke rumah sakit bersalin di Sungguminasa. Nasihat Mak
Nanong diterima, dan ia pergi bertiga ke
Rumah bersalin di Sungguminasa.
Di
rumah sakit, bayi aborsi ini lahir, ayah
dan putrinyapun menghilang, entah kemana rimbanya. Putugas rumah bersalinpun
mulai curiga, jangan-jangan bayi yang lahir adalah hasil hubungan gelap.
Akhirnya
kasus ini mulai terbongkar. Polisipun mulai melakukan pengusutan atas kasus ini. Setelah ditel;usuri, akhirnya
polisi berhasil menciduk para pelaku, yakni Ira, ayahnya Dg Mampo, dan mak
Nanong. Ketinganya tersangka langsung digirik ke kantor polisi dan
akhirnya dijobloskan ke Rutan Gunungsari.
Kasus
ayah monodai anaknya banyak terjadi dimana-mana, seperti halnya di Medan, dari
hasil hubungan gelapnya hingga melahirkan seorng anak. Demikian pula di
Sumarorong Polmas juga terdapat kasus
serupa. Pada kasus ini oleh orang Makassar digolongkan pada perbuatan
Salimara dimana hukummannya, para plaku baik ayah maupun putrinya
dikenakan hukuman Niladung, yakni ditenggelamkan ke laut hingga mati.**
Zainuddin Tika, SH alumni Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta tahun 1990. Jurusan Hukum Pidana. Sekarang menjadi wartawan pada Tabloid Bawakaraeng sn Tabloid
Deteksi, terbitan di Sulawesi Selatan. Juga selaku Ketua Lembaga Kajian dan
Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, yang kini sudah banyak menulis
buku-buku yng bernuansa sejarah dan Budaya
Sulawesi Selatan, antara lain buku
Silariang, Ammatoa (Suku masyarakat tradisionil Kajang di Bulukumba),
Malino Berdarah dan masih banyak judul lainnya yang sudah mencapai 40 judul
Khusus masalah Silariang, ini
sebenarnya adalah thesis S 1 di
Fak Hukum UMJ yang kami garap kembali menjadi
buku..**
Daftar
Pustaka
1. Ali Akbar H. Dr , Merwat Cinta Kasih,
Pustaka Antara, Jakarta 1984
2. Andi Zainal Abidin Farid, Prof.
Persepsi Orang Bugis Makassar Tentang Hukum dan Dunia Luar, Alumni, Bandung 1983.
3. Bismar Siregar, SH. Parof. Keadilan
Hukum Dalam Sspek Hukum Nasional,
Rajawali, Jakarta, 1986.
4. Bertling C,T Mr. Huelijk En
Huwelijrecht In Zuid Celebes.tth
5. Chabot H.Th. Verwatenschap Stand En
Sexe In Zuid Celebes t, Groningen,
Jakarta, 1950. Gerson Bawengan SH, Drs, Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
6. Gerson Bawengan, Pengantar Psykologi
Kriminil Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
7. Koentjaraningrat, Kebudayaan
Mmentalitet dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta 1985.
8. Muin MG A. Menggali Nilai Sejarah
Kebudayaan Sulselra, Siri’ na Pacce, Makassar Pres 1970.
9. Nasir Said Moh, Siri’ dala Hubungannya
dengan perkawinan ddi Masyarakat Mangkasara Sulsel, P. Sejahtera, 1962, Ronny Niti Baskara,
Prof. Dr. Kriminologi, Diktat Kuliah di
Fak. Hukum Universitah Muhammadiyah Jakarta 1988.
10. Roeslan Saleh, Prof. Mr. Perbuatan
Di
Sulawesi Selatan sejak dari dulu hingga kini, kasus silariang (kawin lari)
masih sering terjadi. Walaupun sanksinya berada di ujung badik bagi sipelaku
silariang, namun masyarakat Sulsel khususnya bagi suku Makassar, namun sanksi
itu, tak dihiraukan. Selama cinta
bersemi bagi kedua belah pihak, sanksi mautpun akan tetap dihadapi.
Dalam kasus silariang ini tidak jarang, bagi si pelaku dihadang oleh Tumasiri’ (dari pihak keluarga
perempuan yang kadang berakhir dengan penganiayaan atau bahkan pembunuhan bagi
sipelaku silariang yang disebut Tumanyala atau keluarga perempuan
yang disebut Tumasiri’.
Bagi
suku Bugis Makassar, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut
masalah siiri, dan disisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum
pidana. Kedua hukum yang hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus dilariang
saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum adat mengatakan, membunuh si pelaku silariang dengan alasan siiri’
tidak bisa dikenakan hukuman, karena ia
dianggap sebagai pahlawan yang
membela siri’nya. Disisi lain, dalam hukum pidana , tidak menerima
alasan kalau ada terjadi kasus
pembunuhan termasuk alasan siri’, dan
pelakuya bisa dikenakan pasal pembunuhan
atau penganiiayaan dalam KUHP. Lalu bagaimana tinjauan hukum pidana terhadap
adanya pembunuhan atau penganiayaan dalam kasus silariang?
Silariang
adalah perkawinan
yang dilakukan antara sepasang laki-laki
dan perempuan dan keduanya sepakat untuk melakukan kawin lari. Jadi disini yang
dimaksud laki-laki dan permpuan, tidak terbatas pada kaum pemuda dan pemudi
yang belum beristri, tetapi juga berlaku
bagi laki-laki dan perempuan yang sudah
kawin. Apakah mereka kawin lari sama-sama
anak muda atau kedunya sudah kawin atau yang satu sudah kawin yang satu
lagi belum beristri atau suami.
Menurut
Dr. TH. Chabot dalam bukunya Verwatenschap Stnd en Sexse in Suid Celebes
mengtakan, Perkawinan Silariang adalah
apabila gadis/perempuan dengan pemuda / laki-laki setelah lari bersama-sama..
Pengertian
Silariang ini diperjelas oleh budyawan Suilsel H. Moh Nasir Said mengatakan : Perkawinan Silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah
pemuda / laki-lki dengan gadis / perempuan lari bersama-sama atas kehendak
sendiri-sendiri. (H. Moh Nasir Sair, Siri’ dalam Hubungnnya dengan
Perkawinan Adat Mangkasara, P. Sejahtera, makaar, 1962, hal.26)
Hal
senada juga disampaikan oleh Bertlin dalam bukunya Huwelijk en Huwelijkenreht in
Zuid Celebes mengatakan; Silariang
adalah apabila gadis/perempuan dengan laki-laki setelah lari bersama atas
kehendak bersama.
Dari
pengertian tersebut diatas jelas bahwa
kawin silariang itu apabila memenuhi syarat yakni :
1. Dilakukan oleh sepasang laki-laki dan
perempuan
2. Sepakat untuk lari bersama untuk
menikah
3. Menimbulkan siri’ bagi keluarganya dan
dapat dikenakan sanksi
Dari
unsur tersebut diatas sangat jelas, bahwa kawin silariang itu
dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Jadi disini tidak terbatas
pada bujang dan gadis, tetapi juga
bagi laki-laki yang sudah beristri atau perempuan yang sudah bersuami bisa
melakukan silariang, baik yang belum
menikah maupun yang sudah menikah. Bisa juga sama-sama belum menikah alias bujan atau gadis. Bisa juga bersilang
misalnya laki-laki yang sudah beristri dengan gadis atau bujang dengan orang yang sudah
beristri..
Perkawinan
silariang ini dilakukan atas kata sepakat dari kedua pelaku
silariang, yakni dari pihak laki-laki
dan perempuan yang akan kawin lari, Mereka sepakat lari bersama menuju
suatu daerah untuk menikah di depan penghulu. Biasanya daerah yang ditujuh agak
jauh dari tempat tinggal semula, bisa juga menyeberang laut, supaya jauh dari
Tumsiri’nya (keluarga pihak perempuan)
Penghulu
atau imam yang akan menikahkan kedua pasangan ini, terlebih dahulu menghubungi pihak keluarganya, terutama kedua orang tuanya
untuk dimintakan persetujuan atau Rella,
Bilamana tidak ada persetujuan dari orang tua,
cukup keluarga dekatnya . Bila tak ada rella, maka Imam dengan melihat kondisi yang ada, tetap
menikahkan kedua pasangan ini menjadi suami istri. .Imam khawatir, kalau tidak
cepat dinakahkan, akan terjadi persinahan dari kedua pasangan ini..
Pada
kawin silariang ini pula, bagi suku Makassar jelas menimbulkan siri’ utamanya bagi pihak
keluarga perempuan yang disebut Tumasiri’. Dengan alasan Siri’ , maka pihak
keluarga perempuan oleh hukum adat Makassar diwajibkan baginya untuk menegakkan
siri, bahkan tidak sedikit diantaranya penegakan siri’ ini berakhir dengan pembunuhan pada pelaku silariang yang disebut
Tumannyala.
Pada
zaman dulu, kala komunikasi belum
secanggih sekarang ini, menurut budayawan Gowa H. Halik Mone, anak gadis yang
ada dalam rumah tangga itu bagaikan mahkota yang harus
dijaga keahliannya. Ibarat telur, kalau pecah sedikit maka tidak ada lagi
harganya. Untuk itu, orang tua maupun keluarga dari gadis tersebut tidak
menginginkan anak gadisnya dipermainkan
orang.
Selanjutnya
dikatakan, seorang gadis, sangat rawan dengan siri’. Pada masa dulu, bila
seorang pemuda melihat aurat gadis, maka gadis itu malu.
Biasanya gadis itu mandi di
sumur, tiba-tiba aa pemuda yang lewat, dan secara tidak sengaja kain yang
dipakai gadis itu melorot hingga kelihatan, maka peristiwa itu bagi gadis
dianggap siri’. Untuk menutupi rasa malu, maka gadis itu minta dinikahkan. Kalau orang tua tak
setuju, itulah terjadi kawin silariang.
Orang
tua menginginkan, kalau gadis atau pemuda itu tiba masanya untuk kawin, maka mereka bisa melkukan prosesi perkawinan yang dimulai
dengan acara melamar (ajjangang-jangang). Kalau lamaran diterima, tinggal
ditentukan kapan pestanya. Namun yang menjadi masalah, kalau orang tua dari
pihak perempuan tidak menyetujui laki-laki yang dicintai anak gadisnya. Orang
tua tak menyetujui mungkin karena perilaku
laki-laki itu tidak baik, misalnya sukaa mencuri, pemabuk, pemain
perempuan dan sebagainya,m atau karena perbedaan strata sosial atau faktor ekonomi
, mungkin karena miskin, sehingga lamaran ditolak.
Kalau
lamaran sudah ditolak, lalu kedua sejoli ini ingin sehidup semati, maka jalan
yang ditempuh adalah silariang.
Silariang ini dilakukan oleh kedua pasangan ini sebagai protes atas ketidak
setujuan orang tuanya pada pemuda pilihannya.
Gadis
atau perempuan dengan pemuda atau
laki-laki yang mau kawin lari ini harus
melakukan siasat. Agar tidak diketahui oleh keluarganya. Siasat itu antara lain, perempuan itu biasanya mencuci
pakaian di sungai. Disaat hendak ke sungai, maka pakaian yang akandibawa itu
disembunyikan disela-sela semak belukar atau di rumah sahabatnya
yang dipercaya tidak akan membuka rahasia.
Setelah
semua sudah siap, maka laki-laki yang akan menjemput perempuan tersebut,
biasanya dilakukan pada palam hari, sebab kalau siang khawatir ketahuan, banyak
orang yang lihat. Kedatangan laki-laki
untuk m,enjemput perempuan, harus dengan kode tertentu, misalnya memukul
benda-benda atau tepuk tangan atau kode apapun sesuai kesepakatan mereka.
Kalau
laki-laki itu sudah ada disekitar rumah perempuan, maka perempuan itu
perlhan-lahan melangkah ke pintu
belakang, lalu turun melalui tangga. Setelah keduanya ketemu, barulah keduanya
bergeras mengambil barang-barang yang disimpan di semak-semak atau di rumah
sahabatnya. Setelah semua persiapan sudah ada, maka keduanya lari ke suatu
daerah menuju rumah penghulu atau imam dengan tujuan untuk menikah sebagai
suami isteri.
Biasanya
laki-laki dan perempuan yang akan lari, mengajak teman-temannya untuk mengantar
ke rumah imam. Bantuan pada rekan-rekannya itu dimaksudkan, karena perjalanan
pada malam hari ini sangat rawan, terutama
bila diketahui keluarga dari pihak
perempuan, maka bisa saja celaka mati di ujung badik. Kalau ada temannya, bisa
saja membantu mereka disaat menemui rintangan.
Keesokan
harinya, setelah peristiwa silariang, maka orang tua gadis itu mencari anak gadisnya,
kemana gerangan. Setelah dicari informasi, terdengar berita dari kampung
seberang, bahwa anak gadisnya itu
melakukan silariang dengan laki-laki pilihannya.
Setelah
mengetahui bahwa anak gadisnya itu
melakukan kawin silariang, maka orang tua gadis itu melakukan abburitta atau memberitahu pada
sanak keluarganya bahwa anak gadisnya itu melakukan silariang atau A’lampa
kodi (pergi meninggalkan rasa malu). Pihak keluarga yang sudah mendapat
berita itu, juga selalu siap untuk mengambil tindakan penegakan siri’
bilamana menemukan kedua pelaku yang dianggap mempermalukannya
itu. Pihak keluarga perempuan yang
mengetahui itu, tidaklah sengaja mencari
kedua pelaku sampai ketemu, akan tetapi
bila secara kebetulan ketemu di sebuah jalan, lantas laki-laki itu tidak
lari, maka ia dianggap laki-laki tidak tahu diri dan pihak keluarga perempuan
bisa bertindak untuk memburuh pelaku silariang tersebut. Biasanya kalau laki-laki
tidak cepat minta perlindungan, terjadi peristiwa berdarah.
Nilariang
Sulain
itu, ada juga satu jenis perkawinan yang
dilarang oleh adat Makassar yang disebut
kawin Nilariang. Kalau kasus Silariang ini dilakukan atas kata
sepakat bagi kedua pelaku silariang untuk lari bersama untuk kawin, maka
dalam kasus Nilariang ini, kehendak untuk kawin lari, datangnya dari
pihak laki-laki. Kalau kehendak kawin
lari datangnya dari pihak laki-laki, maka itu berarti, perempuan yang akan dilarikan itu dilakukan secara paksa atau tipu muslihat.
Ini
sering terjadi, kalau laki-laki itu sangat mencintai gadis yang diinginkan, kemudian setelah
melamar gadis itu, orang tuanya
menolk atau gadis itu sendiri yang menolak
dengan berbagai alasan. Biasanya, disertai dengan kata-kata yang kurang
enak di dengar oleh pihak laki-laki, sehingga laki-laki yang melamarnmya itu
merasa sakit hati. Sakit hati laki-laki
itu, membuat ia dendam. Laki-laki itu
mau balas dendam dengan berbagai cara, anatara lain menculik gadis itu,
kemudian membawanya ke sebuah tempat,
lalu memperkosanya.
Atau
juga gadis itu, saat diculik, ia berada
dalam ancaman. Bilamana tak mau mengikuti kemauan laki-laki itu, ia diancam
dibunuh atau diapakan, sehingga gadis
yang diculik itu, mau menuruti apa saja yang menjadi kemauannya, termasuk
dinikahkan dengannya menjadi suami istri.
Ada
pula yang dilakukan dengan cara tipu muslihat, yakni gadis itu dijanjikan sesuatu, misalnya
pekerjaan atau hadiah, kemudioan dibawa
ke suatu tempat. Di tempat yang sunyi dan sepi itulah, gadis itu dipaksa menuruti kemauan laki-laki
itu, kalau menolak, laki-laki itu
memperkosanya hingga hamil.
Kasus
semacam ini banyak terjadi, hingga membuat
gadis itu jadi pelacur di tempat prostitusi. Merka pertamanya diiiming-imimng
sebuah pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tapi apa daya, ternyata hanya tipu
muslihat dan tidak ada kekuatan bagi
seorang wanita untuk melakukan perlawanan, mereka poasrah diapakan saja,
termasuk berhubungan badan. Bila sudah terlanjur, maka, perempuan itu akhirnya
melacuran diri, seperti yang banyak terjadi sekarang ini.*
Erang Kale
Jenis
lainnya dari silariang adalah, ada yang
dinamakan kawin Nilari atau Erang Kale. Pada kasus kawin Erang kale atau Nilari ini datangnya dari pihak perempuan. Perempuan itu
lari ke rumah imam, lalu menunjuk
laki-laki yang pernah menggaulinya.
Dengan demikian, laki-laki yang ditunjuk itu harus bertanggung jawab
atas perbutannya untuk mengawini perempuan yang menunjuknya.
Perempuan
seperti ini, mereka biasanya larut dalam pergaulan bebas. Ia bnyak berhubungan
laki-laki satu dengan laki-laki lainnya. Disaat berduaan, kadang setan
menggodanya untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, mka terjadilah
perbuatan seperti layaknya suami istri.
Setelah perempuan itu hamil, maka laki-laki yang
pernah diajaknya berhubungan, sudah
tidak nampak lagi. Mereka melarikan diri dan tak mau bertanggung jawab atas
perbuatannya, sengakna perempuan yang pernbah digaulinya sedang hamil dan berada dalam ancaman dari
pihak keluarganya terutama orang tuanya.
Untuk
menyelamatkan jiwanya, maka perempuan itu lari
ke rumah imam. Di rumah imam itulah, baru perempuan iotu menunjuk
laki-laki yang pernah menggaulinya. Bila laki-laki itu ada, maka dipaksa untuk menikahinya, kalau tidak mau,
maka tumasiiri’ (keluarga dari pihak
perempuan) akan menindakinya , biasanya
membunuh laki-laki itu, karena dianggap mempermainkan anak gadisnya hingga hamil dan itu dianggap
siri’..
Biasanya
, kalau tidak ada laki-laki yang mau bertanggung jawab, maka biasanya, ditunjuk laki-laki yang mau secara sukarela
mengawini perempuan tersebut. Perkawinan
seperti ini disebut Pattongkok siiri’ (penutup
malu).
Anynyala Kalotoro
Ada
juga kasus yang dilakukan oleh gadis atau perempun yang sudah beristri
dengan jalan lari ke rumah imam tanpa
ada laki-laki yang ditunjuk untuk mengawininya. Wanita itu mungkin sudah hamil, tapi ia tidak tahu
laki-laki mana yang ditunjuk bertanggung
jawab. Disisi lain, pihak keluarganya juga mempertanyakan kehamilannya, dan
siapa laki-laki yang menghamilinya. Untuk menyelamatkan jiwa perempuan itu,
biasanya ia lari ke rumah imam untuk minta
perlindungan dan mencarikan solusinya.
Ini
juga termasuk perempuan yang suka bergaul bebas. Mereka banyak berhubungan
dengan laki-laki siapa saja yang dikenalnya, dan mereka menuruti ajakan
laki-laki yang membawanya itu, termasuk berhubungan badan. Laki-laki yang pernah berhubungan dengannya,
bukan hanya satu, tetapi banyak, sehingga bila permpuan tu hamil, sulit
menunjuk, siapa laki-laki yang bertanggung jawab. Untuk menyelamatkan jiwanya,
perempuan malang itu lari ke rumah imam tanpa ada laki-laki yang membawanya.
Biasanya,
pada kasus ini, kalaun tak ada laki-laki yang
mau bertanggung jawab, maka ditunjuk laki-laki mana saja yang mau menikahinya,
setelah itu apakah mereka meneruskan parkawinan atau cerai, yang penting sudah
ada laki-laki yang mau bertannggung
jawab. Peristiwa semacam ini disebut Annyala Kalotoro yakni
perempuan kawin lari tanpa ada laki-laki yang bertanggung jawab.*
Salimara
Ada
pula jenis perkawinan yang sangat dibenci oleh masyarakat, karena terkait
dengan adanya hubungan darah yang sangat dekat, misalnya antara ayah dengan
putrinya, ibu dengan putranya atau sesama saudara. Perkawinan seperti ini oleh
orang Makassar disebut Salimara.
Kalau
kasus silriang, nilariang atau Erang Kale masih ada jalan keluarnya, yakni
setelah mereka dinikahkan, maka
persoalan sebagai suami istri sudah selesai. Tetapi pada kasus
Salimara, merupakan kasus yang tak
berujung. Keduanya sulit dikawinkan, karena terikat hubungan darah yang terlalu
dekat. Pada kasus Salimara ini, pada zaman dulu, biasanya kedua pelaku Salimara
dikenakan hukuman niladung. Hukuman Niladung adalah kedua pelaku itu diikat, lalu digantung batu
sebagai pemberat, lalu keduanya ditenggelamkan ke tengah laut atau sungai hingga mati.
Ada
kepercayaan dari masyarakat Bugis Makassar tentang adanya kasus ini. Bila ada kasus
Salimara terjadi di sebuah kampung, maka itu menurut kepercayaan masyarakat,
nasib sial yang akan melanda kampungnya
dan seluruh warga dalam kampung itu akan merasakan akibatnya, misalnya tanaman rusak, ikan pada menghilang di kali,
hewan piaraan mati dan penyakit akan
melanda masyarakat. Dari pada seluruh masyarakat merasakan akibatnya,
itulah sebabnya, masyarakat setempat harus melenyapkan kedua pelaku salimara
tersebut dengan jalan Niladung.
Kalau
pelaku Salimara ini tidak dikenakan hukuman niladung, maka biasanya keluarga
atau wrga setempat menganggap pelaku ini sudah mati atau Nimateangi. Kalau sudah
ada sanksi Nimateangi, maka baik
hunungan kekeluargaan maupun harta warisan dari orang tuanya, sudah putus,
karena dianggap pelaku ini sudah mati, walaupun kenyataannya masih ada.
Baik
kasus Silariang, Nilariang, Erang Kale
atau Nil;ari, Annyala Kalotooro dan
Salimara, semuanya itu berkibat siri’ (malu) bagi pihak keluarga perempuan. Siri’ disini bukan hanya diartikan
sebagai malu-malu, tetapi lebih mendalam
lagi, siri’ merupakan harga diri, kehormatan atau martabat sebagai seorang
manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah SWT.
Menurut
budayawan Makassar, H,. Abd Haris Dg Ngasa, bahwa arti Siri’ itu merupakan
akronim dari kata Sikedde Rinring (sedikit atau tipis dinding). Ini berarti
martabat atau sifat antara manusia dan binatang dinding atau pembatasnya sangat tipis. Itulah
sebabnya, ada orang yang wujudnya seperti manusia, tapi perbuatannya seperti
binatang. Dikatakan perbuatannya seperti binatang, karena mereka melakuklan hubungan badan tanpa nikah sama
dengan binatang. Kata orang Batak Amanimanuk (kawin seperti ayam). Jadi
disini, dinding pembatas antara sifat manusia dan binatang sangat tipis.
Dengan
alasan Siri’ inilah, mak kasus membela harga diri bagi suku Makassar tidak bisa
lagi ditolerir. Dalam hukum adat mengharuskan pada seseorang yang merasa
dipermalukan (dari pihak keluarga perempuan) untuk menegakkan siiri’
keluargnya. Dan biasanya berakhir dengan
pembunuhan atau penganiayaan.
Keluarga
dari pihak perempuan, setelah mendengar anaknya mel;akukan silariang,
mereka akan menemui kaluarganya
untuk Appala Siri (minta bantuan pada keluarga untuk menegakkan
siiri’nya). Pihak keluarga yang tahu bahwa
anak kemenakannya itu silariang
maka mereka siap-siap mengambil
tindakan, bilamana di suatu saat atau di suatu tempat ketemu orang yang
melarikan anaknya, mereka bisa
menindakinya, baik dengan cara mengusir,
memukul atau tidak sedikit diantara pelaku silariang ini menemui ajalnya
di ujung badik.
Sebaliknya
bagi pelaku Silariang, mereka juga melakukan kawin Silariang, karena beberapa alasan, antara lain, karena pinangannya ditolak, mungkin ditolak
karena perbedaan strata sosial, karena miskin atau karena punya istri atau alasan lainnya. Mereka melakukan kawin silariang dengan tekad yang
bulat, yakni muntuk membentuk keluarga. Walaupun mereka tahu, bahwa ini mengandung resiko yang
sangat berat, yakni bisa saja kedua-duanya
celaka mati di ujung badik dari tangan pihak keluarga perempuan yang
disebut Tumasiri’.
Walau
rintangan seberat itu menghadang, tapi
bagi pelaku silariang yang disebut Tumannyala, tak gentar
menghadapinya., apapun resikonya, termasuk
maut. Para pelaku silariang, khusunya
laki-laki, biasanya ia selalu siap sedia senjata tajam dengan
menyelipkan badik di pinggangnya, kemanapun ia pergi. Ini dimaksud, bila mana
suatu saat mendapat tantangan maka ia
melakukan pembelaan diri.
Walaupun
sanksi yang ditetapkan pada pelaku Silariang atau Tumannyala ini sangat berat,
akan tetapi Hukum Adat Makassar juga
memberikan batasan pada Tumasiri’ untuk mengambil tindakan pada Tumannyalanya.
Para Tumasiri’ tidak bisa mengambil tindakan sembarangan. Mereka harus mengetahui
di tempat mana yang boleh atau tidak boleh melakukan tindakan.
Hak Asyil Dalam Hukum
Adat Makassar
Dalam
hukum Adat Makasar, batasan bagi Tumasiri’
untuk memngambil tindakan dibatasi
dalam hal-hal tertentu. Bilamana Tumasiiri’ memburu Tumannyala, kemudian
Tumannyala melemparkan apa yang melekat di badannya, misalmnya songkok atau
baju masuk dalam pekarangan orang lain,
atau kalau berada di pematang sawah di buruh kemudian menghindar turun
ke sawah, maka itu berarti Tumannyala
dianggap sudah minta perlindungan. Dan
kalau Tumannyala sudah minta perlindungan seperti itu, maka Tumasiri’ tak boleh
lagi melakukan tindakan pada Tumannyalanya. Dalam Hukum Internasional, hak hak
minta perlindungan disebut hak suaka atau hak asyil.
Hak
asyil atau hak minta perlindungan atau hak suaka dalam hukum adat Makassar
sebenarnya sudah ada sejak \zaman nenek
moyang kita dulu yang mengatur tentang sanksi
yang bola atau tidak bola diberikan oleh Tumasiri pada Tumannyalanya. Ternyata, hak asyil ini ternyata ada persamaan dalam hukum Internasional yakni hakl untuk
minta suaka politik.
Dalam
suatu negara, bila ada warga negara yang melakukan pelarian politik ke suatu
negara, maka cukup warga negara itu
masuk ke kantor kedutaan besar dari
negara yang diinginkannya atau larui ke negara yang diinginkan, kemudian minta
pada pemerintah negara itu atau duta besarnya, supaya dilindungi dari
kejaran dari petugas hukum dari negara
asalnya.
Ini
kalau ada kasus demikmian, kalau seseorang sudah memasuki kedutaan
besarnya dan minta perlindungan, maka polisi atau penegak hukum lainnya tak
bisa berbuat apa-apa, sebab dianggap sudah masuk dalam wilayah hukum negara
yang asing itu. Polisi Indonesia tak
bisa berbuat apa-apa dan itu sudah masuk wewenang pemerintah negara yang dimasukinya, misalnya
kedutaan besar belanda. Itu menjadi wewenang pemerintyah Belanda.
Kemudian,
apakah hukum Internasional meratifikasi
hukum Adat Makassar atau kebetulan sama
bentuknya antara hukum adat Makassar dengan hukum Internasional. Kalau memang
kebetulan sama, berarti hukum Adat Makassar lebih dulu menerapkan hak suaka dibanding
hukum Internasional.*
Abbaji
Antara
Tumannyala dan Tumasiri’ ini bagaikan kucing dan anjing. Tak bisa akur selama dalam proses silriang. Akan tetapi,
bila pelaku Silariang ini, meminta rela
kepada kedua orang tua
perempuan dan disetujui, maka selanjutnya
dilakukan acara damai yang disebut Abbaji.
Para
Tumannyala, biasanya melakukan silariang
bertahun-tahun lamanya, bahkan ada sampai becucu di tempat pelariannya
baru kembali berdama dingan orang
tuanya. Tapi ada pula yang hanya beberapa bulan, orang tua yang berangkutan
memberikan rella atau persetujuan untuk kembali berdamai.
Dalam
kasus silariang , biasanya kedua orang tua
setuju kalau anaknya kembali
abbaji, tapi ada salahg satu keluarganya, misalnya saudaranya yang tegas menolak
Tu,annyalanya itu untuk datang abbaji. Bila Tumannyala menemui kasus seperti itu, bisanya proses
menuju perdamaian agak lama dan
bahkan tidak kunjung jadi abbaji lantara
ada salah satu keluarganya yang menolak kedatangannya.
Bilamana
sudah ada acara Abbaji ini, maka anak yang anak atau kedua pelaku silariang
ini, tadinya dianggap musuh bersama dari pihak keluarga perempuan, kemudian,
berbalik seratus persen. Kedua pelaku silariang itu sudah dianggap anak. Bila sudah ada acara
Abbaji, maka tidak ada lagi namanya Tumasiri’ dan Tumannyala, sanksi adatpun tidak
bisa diperlakukan.*.
Silariang di Abad Modern
Perkawinan
silariang pada zaman dulu sangat jauh beda dengan abad sekarang ini. Kalau
dulu, untuk ketemu dengan sang kekasih saja sangat susah. Pertemuan sering terjadi bila ada pesta
rakyat, musalnya acara olahraga A’raga (main raga), tau ganrang
pakarena (gendang tradisionil). Pada saat itu gadis dan laki-laki ketemu, dan
dari situlah mulai terjadi komunikasi akhirnya menjurus pada pacaran (Abbayuang)
. Bila laki-laki dan gadis itu
abbayuang, kemudian lanjut ke jenjang
berikutnya untuk membentuk suatu rumahtangga.
Namun kawin silariang di abad modern ini cukup
mudah dilkukan, karena bisa saja kedua belah pihak, pemudan dan gadis berjauhan atau bahkan diantarai samudra yang
luas, tetapi komunikasi mereka sangat dekat. Sebab bisa saja mereka bicara
setiap saat lewat telpon atau HP atau bahkan internet atau facebook yang marak
sekarang dilakukan oleh kawula muda.
Dalam
komunikasi lewat alatb teknologi canggih tersebut, mereka bisa saja janjian
ketemu di sebuah tempat untuk memadu kasih atau bermesraan tanpa diketahui oleh
keluarganya. Baik gadis maupun pemuda sekarang sudah bebas berkeliaran
kemana saja dengan berbagai alasan, misalnya me rumah teman atau ke sekolah, ke kantor dan alasan lainnya, tetapi
sasarannya menuju ke sebuah tempat yang telah disepakati untuk memadu kasih.
Kalau
dulu, pergaulan anatara laki-laki dan perempun sangat dibatasi, orang tua mereka melarang anak gadisnya
keluar rumah bila tak jelas tujuannya, pkaiannyapun harus menutup aurat.
Sekarag ini, pakaian yang you can see sudah tidak tabu lagi
dugunakan oleh kaum hawa Walau banyak
diantara kaum hawa yang berpakaian menutup aurat, tapi pergaulan mereka cukup
luas.
Untuk
melakukan silariang di abad modern ini, sangat mudah. Laki-lki cukup
berkomunikasi dengan kekasihnya, kemudian janjian ditunggu di sebuah tempat.
Setela keduanya ketemu, mereka bisa saja menuju ke sebuah tempat di rumah imam
untuk dinikahkan. Imam yang menerima kedua anak ini, bisa melakukan komunikasi lewat HP pada orang
tunya bahwa anaknya silariang dan minta
rella untuk dinikahkan.
Sering
kita dengar sekarang, hanya karena main
facebook. Seorang gadis melarikan diri pada teman facebooknya. Untng kalau
gadis itu lari kemudian nikah,
tetapi kalau pertemuannya hanya untuk memadu kasih dan akhirnya bersina, maka sangat berbahaya bagi
kaum perempuan. Sebab dalam pergaulannya diluar
batas itu, bisa saja perempuan itu hamil diluar nikah, kalau laki-laki
mau bertanggung jawab, tak ada masalah, tapi kalau tidak, maka perempuan itu
sangat menderita, sebab tak ada laki-laki yang bisa ditunjuk untuik bertanggung
jawab.
Itulah
sebabnya, silariang sekarang, bukan lagi perempuan itu dijemput di rumahnya
untuk lari bersama , tetapi perempuan itu
sendiri yang membawa dirinya (erang kale) ke laki-laki , kemudian lari bersama ke rumah penghulu untuk nikah. Atau ada juga yang dilakukan dengan tipu
muslihat, yakni sengaja dipacari
perempuan itu, kemudian setelah perempuan itu hamil, mereka lari dari
tanggung jawab., membuat perempun itu
merana sepanjang masa.**
Selingkuh dan Silariang
Perzinahan
atau dalam bahasan krennya adalah perselingkuhan sangat erat kaitannya
denga kasus silariang, Dari hasil
penelitian penulis di masyarakat , banyak kasus silariang yang didahului dengan kasus perselingkuhan. Selingkuh bisa membuat
wanita itu hamil. Bila wanita
selingkuhannya itu hamil, biasanya mereka melakukan jalan pintas, yakni
silariang denga pacar selingkuhannya.
Walaupun
dalam hukum islam, perselingkuhan dilarang keras, tapi kenyataannya banyak juga
yang melanggar noirma ini. Mereka tergoda dengan nafsu syetan yang membuat mereka nekat
melakukan perbuatan selingkuh.
Dalam
Surah Al Isra ayat 32 secara jelas dikatakan : Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang
keji dan jalan yang terburuk.
Dari
bunyi ayat tersebut jelas melarang setiap orang untuk menghapiri zina, apalagi
kalau sampai melakukannya, sungguh itu
adalah dosa besar bagi yang melakukannya.
Pada
negara-negara barat, melakukan hubungan seks sebelum nikah, nampaknya sudah membudaya dikalangan
masyaeakat, khusunya dikalangan remaja
poutra dan putri. Jangankan di negara barat, di negara kita Indonesia, banyak terjadi kasus persel;ingkuhan atau kasus
pezinahan di tempat protitusi.
Dalam hukum adat Makassar, perbuatan
seperti ini dikategorikan sebagai siri’ dan pelakunya dapat dikenalan
tindakan pembunuhan.
Beberapa
pakar seksologi dari belanda mengemukakan hasil peneliitiannya, yakni :
1. Dr C. Van Ende Boas, seorang sexulogi
Belanda mengemukakan, wanita-wanita muda
yang kawin sekarang ini, sekitar 90 persen tidak gadis lagi diwaktu mereka
menikah. Kebanyakan dari mereka sudah melakukan hubungan kelamin dri orang lain
selain dengan calon suaminya.
2. Dr. H. Musaph berpendapat, dalam jangkla beberapa tahun terakhir, dibawa
pengaruh perubahan-perubahan sosial, timbul anggapan bahwa melakukan hubungan
seks dengan teman tetapnya adalah soal
biasa atau lumra dan itu adalah hak mereka.
3. Dr. Elco D Wassenaar, sarjana
Psykologi Berlanda, mngatakan, agama tidaklah memegang peranan penting lgi
dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Dahulu orang masuk dalam salah satu
gereja karena mengharapkan jaminaan sosialnya. Sekarang jaminan sosial adalah
diadakan oleh pemerintah, sehingga agama tidak diuperlukan lagi. (Dr. H. Ali
Akbr, Merawat Cinta Kasih, Pustaka
Antara, Jakarta, 1984, hal 168).
Dari
apa yang dikemukakan oleh pakar seksulogi Belanda diatas, menandaakan bahwa freeseks di negara barat sudah dianggap
sebagai suatu hal yang biasa. Nampaknya anggapan seperti itu, sudah masuk ke
Indonesia, baik di kota besar maupun di daerah pedesaan. Terbukti, pada setiap pemberitaan mass media, baik
elektoronik maupun media cetak, setiap saat banyak terjadi kasus perzinahan atau selingkuh.
Budaya
freeseks di Indonesia juga sudah menjamur dimana-mana. Hal dapat dibuktikan
dengan menjamurnya tempat pelacuran,
bahkan secara terang-terangan perselingkuhan
atau perzinahan banyak dilakukan si tempat prostitusi, belum lagi namanya kumpul kebo’ atau lebih kejam lagi berselingkuh sambil
memvidiokan dan menyebarrkan ke publik.
Dalam
pasal 284 KUHPidana juga sangat
mempersempit pengertian zina, yakni hanya orang yang sudh bersuami atu
beristri melakukan hubungan seks diluar nikah. Bilamana hal ini terjadi
pafa remaja, maka itu menurut KUHP tidak dikategorikan zina.
Dengan
demikian, yang dimaksud zina dalam KUHP adalah laki-laki atau perempuan yang
sudah beristri (bukan suami istri) melakukan hubungan seks secara tidak sah.
Kalau ada salah satu pelaku yang belum bersuami atau beristri (bujan/gadis)
melakukan hubungan seks dengan seseorang bersuami atau beristri, maka dalam
KUHP yang dianggap sebagai pelaku utama adalah orang yang sudah bersuami atau
beristri, sedangkan gadis atau bujang yang terlibat dalam kasus tersebut, hanya
masuk sebagai pembantu terlaksananya perbuatan zina atau selingkuh tersebut.
Jadi
kalau begitu, bagaimana halnya yang berzina itu adalah orang yang belum
bersuami atau beristri (jejaka dan gadis). Aoakah ini masuk zina? Tentunya
kasus ini tidak diatur dalam KUHP, tau tidak dapat dikatakan sebagai suata
kejahatan seksual. Apa lagi kalau perbuatan seks itu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Walupun
kasus ini masuk ke pengadilan, hakim yang berpedoman pada KUHPidana jelas
membebaskan para terdakwanya. Pernah salah seorang guru menggagahi anak muridnya,
dan kasusnya diproses sampai ke Pengadilan, tapi hakim
memutus bebas perkara tersebut
dengan alasan perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan keduanya
sudah dewasa tapi belum menikah (Bismar
Sioregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional . Hal 138)
Dengan
adanya kasus pembebasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dari kasus asusila
tersebut, maka bila kasus ini dilihat dari
kacamata adat istiadat yang berlaku di negara kita ini, hakim tak
sepantasnya membebaskan terdakwa dari kasus tersebut, karena itu berarti menginjak-injak
perasaan masyarakat. Kemana lagi mereka akan meminta perlindungan hukum. Hal
ini juga mengancam kehidupan generasi dimasa datang dari kasus kesusilaan.
Seorang hakim yang baik, tentunya jangan terlalu kaku menafsirkan aturan yang
berlaku. Menghukum suatu perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP itu sangat dimungkinkan oleh
Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 tahun 1970 khususnya pasal 14 ayat 1
dijelaskan :
“Pengadilan tidak akan
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadiili suatu perkara yang diajukan,
dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadlijnya”
Dari
kasus tersebut, memang hakim tetap mengadili kasus kesusilaan , tetapi dalam
putusannya nanti, tetap membebaskan terdakwa dari hukuman. Putusan tersebut,
bila dilihat dari segi keadilan hukum, memang adil, karena memang KUHP tidak menghukum kalau hubungan seks dilakukan atas dasar suka sama suka pada orang yang
masih gadis atau bujang. Tetapi dilihat dari segi keadilan hukum masyarakat, itu tidak adil. Tentunya mereka
tidak ingin generasinya terjerumus dalam perbuatan asusila itu.
Hubungan
seks antar lki-laki dan perempuan tnpa
nikah disebuit dengan freeseks dan dalam islam disebut zina (H. Ali Akbar: hal
94).
Hukuman zina
atau selingkuh daalam Islam jelas
diatur dalam Surah An Nur ayat 2 “ disebutkan: :Pezina perempun dan pezina laki-laki masing-masing mereka
hendaklah mereka kamu hukum dera sertus
kali, dan jangan kamu dipengaruhi belas kasihan terhadap hukum agama Allah.
Jika kamu sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan hari kiamat, hukumann itu
hendaklah disaksikan oleh sejumlah kaum muslimin”.
Karena
negara kita berdasarkan Pancasila yng menjunjung tinggi nilai-nila KeTuhanan
Yang Mahaesa, maka dalam pelaksanaan
aturan di negara ini, harus dilandasi dengan nilai-nilai KeTuhanan yang
tertdapat dalam ajaran agama.
Demikian
pula dalam hukum adat kita yang beraneka ragam, tidak satupun hukum adat yang mewajibkan adanya
kasus freeseks di masyarakat, kalaupun itu ada, sungguh sangat bertentangan
dengan falsafah negara kirta yakni
Pancasila.
Khusus
dalam hukum adat Bugis Makassar, ada yang dinamakan siiri’. Siri’ ini melarang
bagi setiap orang untuk melakukan hubungan seks sebelum nikah (zina atau
selinmgkuh) dan freeseks. Apabila ada orang yang melanggar aturan ini,
sanksinya cukup berat. Yakni pembunuhan terhadap sipelaku.
Apa
lagi kalau teman selingkuh sampai hamil, bila mereka berada dalam area hukum
adat, mereka akan dihajar habis-habisan. Biasanya pelaku menghindari sanksi
adat tersebut dengan jalan melakukan silariang ke rumah imam lalu
nikah.*
Perkasa, Perkosa ,
Silariang
Perkosa
dan perkasa adalah dua suku kata yang
hampir sama , tetapi maknanya sungguh
jauh berbeda. Orang mendengar kata perkosa,
pasti orang sangat benci pada sipemerkosa dan merasa iba terhadap korban
pemerkosaan. Sedangkan mendengar kata perkasa, menjadi dambaan bagi kaum
laki-laki yang ingin memiliki tubuh perkasa. Bagi kaum perempuan, khususnya
cewek-cewek ingin menjadi pria
dambaanya.
Kasus
perkosaan ini bisa saja berakibat silariang, Nilariang atau Erang kale, bahkan Annyala
Kalotoro (Lari tanpa ada laki-laki yang bertnggung jawab) .. Kasus
perkosaan yang berakibat hamilnya gadis atau perempuan, mereka bisa
menyelamatkan dirinya dengan jalan lari ke rumah imam, lalu menunjuk orang yang
pernah menggaulinya untuk bertanggung jawab, atau bisa juga kawin dengan pria
mana saja sebagai kawin Pattonkok siri’ untuk menutupi aibnya, agar anak yang
lahir kelak punya ayah dan ibu juga
sudah nikah.
Kasus
perkosaan, hampir setiap harinya banyak menghiasi media. Sipemerkosa tidak lagi memilih perempuan
dewasa, tetapi juga anak gadis yang masih
umur belia, anak-anak, bahkan ada orang tua yang memperkosa anaknya
sendiri hingga hamil dan melahirkan anak.
Kasus
perkosaan ini diatur dalam pasal 285
KUHP. Dalam pasal tersbut, ditegaskan “Barang
sip dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
istriny bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman
penjara selama-lamanya 12 tahun.
Berdasarkan
bunyi pasal tersebut diatas ada beberapa unsur yang perlu dijelaskan, yakni : Barang
siapa. Kata tersebut berarti,
orang yang melakukan pemerkosaan atau pemerkosa. Sipemerkosa ini umumnya
dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi tidak menutup kemungkinan juga dilakukan
oleh kaum wanita, namun ini jarang terjadi, kebanyakan dilakukan oleh kaum pria
memperkosa perempuan, karena dilihat
dari segi kekuatan fisik laki-laki lebih
kuat dari kaum waanita.
Adapun
perempuan yang sering melakukan
perkosaan, adalah mereka yang menderita kelainan seks tu disebut Nymphomania
ykni kelebihan seks pada wanita. Untuk melampiaskan nafsunya, bolleh saja
perempun itu memperkosa laki-laki yang kemungkinan bisa ia lawan.
Namun
dalam KUHP, kasus pemerkosaan itu hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Pasal ini untuk melindungi
kaum wanita dari kejahatan perkosaan. Artinya, kalau ada wanita yang menjadi korban
perkosaan, malka laki-laki sipemerkos bisa dikenakan hukuman penjkara. Dalam
pasal tersebut terdapat kata ‘memksa seorang perempuan untuk
bersetubuh dengannya”. Ini menndakan bahwa wanita yang diperkosa itu
tak berdaya, sehingga ia pasrah merelakan kegadisannya direnggut.
Unsur
berikutnya adalah paksaan dari pihak laki-laki untuk bersetubuh. Makna kata itu
berarti, ada dua kemauan yang saling bertentangan, yakni, kemauan laki-laki
supaya wanita itu bisa disetubuhi dibawa ancamannya, Sedangkan kemauan wanita,
ingin terbebas dari kasus perkosaan. . Sebab kalau sama-sama mau, berarti itu
bukan perkosaan, tetapi masuk perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama
suka.
Wanita
yang diperkosa itu, diberikan dua
pilihan, hilang nyawa atau hilang kegadisan. Tapi wanita yang dibawa ancaman maut, pasrah dan
merelakan apa maunya laki-laki itu untuk
memperkosanya. Ada juga wanita diperkosa berontak dan mereka memilih mati dari
pada hilang kegadisannya.
Kasus
perkosaan ini banyak diantaranya disertai pembunuhan. Kasus pembunuhan terhadap
wanita yang sudah diperkosa umunya dilakukan, karena keduanya (pemerkosa dan
korban) sudah saling mengenal, sehingga dikhawatirkan perempuan itu akan
membuka aibnya dan bisa menyeretnya ke pengadilan.
Ancaman
pasal 285 KUHP tersebut adalah 12 tahun. Setiap kasus pemerkosaan yang
ditangani hakim, tidak mutlak 12 tahun, bisa kurang dan bisa juga lebih dari 12
tahun, tergantung dari berat ringannya kesalahan. Kalau banyak unsur yang
meringankan kesalahan, maka hukumannya bisa saja kurang dari 12 tahun. Tapi
kalau ada unsur yang memberatkan, misalnya disertai pembunuhan, maka hukuman bisa
lebih dari 12 tahun atau bahkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Seiiring
adanya kasus pemerkosaaan, setelah diproses pengadilan, akhirnya hakim memvonis
bebas terdakwa dengan alasan bahwa kasus itu bukanlah perkosaan dan hanya
dilakukan atas dasar suka sama suka, apa lagi keduanya sama-sama dewasa dan
dalam KUHP tidak mempersoalkannya.
Pada
kasus tersebut, menurut mantn Hakim Agung Prof.
Bismar Siregar, SH, dapat menimbulkan keresahan bagi :
1. Si korban merasa tidak mendpat
perlindungan hukum.
2. Si pengusut, penyidik tidak terkecuali
penuntut umum akan meraasa kecewa dan kecewa sekli. Bukankah segala jerih payah
mereka sia-sia, hanya karena dasar hukum
formal emata.
3. Masih ada lagi pihak yang ikut
berkepentingan yakni masyarakat ituy sendiri. Kekhawatiran menyelimuti hbti mereka. Siapa tahu kalau
bukan hari ini, mungkin besok atau suatu ketika , akan terjadi yang demikian
bagi diri dan keluarga. Sehingga mereka berkata, apakah kalau yang terjadi korban itu keluarga hakim bru ia
merasakan apa arti dan akibat korban perkosaan.
4. Dari satu sisi, si hakim tepat dan
benar untuk membuktikan perbuatn tentang perkosaan itu sulit sekali. Jarang
terjadi perbuatan perkosaaan tertangkap basah. Pada umumnya laki-laki lihai dan
berpengalaman, ia akan berupaya supaya lepas dri jeratan hukum. Karena hukum
yang ada sekarang secara formal sulit diterapkan. Setiap perkosaan secara kasar
disemak-semk atau secara halus diawali di remang-remang, sudah siap dengan
dalih dan alasannya membela diri terutama dari segi hukum mural ( Prof. Bismar
Siregar, SH. Keadilan Hukum dalam
Berbagai Aspek Hukuim Nasional, CV Rajawali, Jakrta 1986, hal 138).
Pada
kasus tersebut, kalau dilihat dari segi KUHP, nampknya bukanlah suatu kasus
perkosaan, melinkan kasus perzinahan yang dilaksanakan atas dasar suka sama suka. Dengan demikian, hakim akan
membebaskan dari tuntutan hukum.
Semua
orang sependapat tentang pengertian perkosaan yang terdapat dalam KUHP yakni
harus ada unsur paksaan kepada pihak perempuan untuk disetubuhi. Kalau tidak
ada unsur paksaan, berarti namanya persinahan.
Banyak
kasus yang terjadi, pertamanya dimulai dengan kasus perkosaan, tetapi setelah
lama, kemudian dilakukan atas dasar suka sama suka. Mungkin karena ketagihan,
sehingga aksi berontak itu akan menghilang dan berubah menjadi sukan sama suka.
Bismar
Siregar jelaskan, yang dimaksud dengan perkosaan tiada lain adalah termasuk
pengertian persinahan. Hanya saja yang berbeda, persinahan itu dilakukan atas
dasar keinginan bersama, hanya saja
tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dan labih tegas lagi kita bagi kita yang
menganut ajaran agama. Batas zina dengan bukti sina cukup sederhana, hanya
secarik kertas berdasarkan ikrar dihadapan Tuhan dan saksinya manusia, bahwa
akan menjadi suami istri kekal dan
lestari. Sedangkan sina, kesepakatan itu melanggar hukum, baik yng formal
maupun moral. Perkosaan disatu pihak memaksakan kehendaknya, sedang dilain
pihak dipaksakan menerimanya (Bismar, opcit hal 145)
Pada
pengertian diatas, pada umumnya Bismar rtidak terlalu mempersoalkan poerbedaan
antara perkosaan dan zinah. Bahkan dalam penuntutan sutu kasus persinahan
tersebut sebagai suatu kejahatan perkosaan / persinahan. Melainkann dituntut
dengan kasus penipuan, yang kasusnya terkenl dengan kasus barang.
Menurut
Bismar, yang dinamakan barang, karena si pria dengan
rayuan gombalnya membujuk si wanita, tetapi kemudian mengingkari janjinya. Oleh
Pengadilanm Negeri Medan dipidana ringan. Namun begitu, terdakwa tidak puas dan
naik banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Ternyata PT Sumut membatalkan
putusan PN Medan, llu menggantinya kasus persinahan dengan kasus penipuan .
Dengan pasal persinahan diganti menjadi pasal penipuan, hukumannya bertambah
berat, yakni dari 4 bulan untuk kasus persinahan pada putusan PN Medan menjadi 4 tahun di PT Sumut pada kasus penipuan..
Kasus
perkosaan bagi masyarakat Bugis Makassar
dikategorikan sebagai siri’. Siri’ itu berarti merendahkan martabat dari
pihak perempuan, dan pihak keluarga perempuan oleh hukum adat diwajibkan untuk
menegakkan siiri’nya yang biasa berakhir dengan duel maut.
Namun
ada kasus, pertamanya bermotif
perkosaan, tapi kemudian perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka,
yang berarti unsur paksaan sudah tidak ada. Namun beberapa bulan kemudian,
sigadis yang pernah diperkosa kemudian
lanjut persinahan itu hamil. Kalau laki-laki yang menghamilinya mau bertanggung
jawab, maka tak begitu bermasalah,
sisa dinikahkan, selesai masalah. Tapi
kalau laki-laki yang ditunjuk tidak ada, atau tidak jelas, maka perempuan itu
berstartus Annyala klotoro (kawin lari tanpa ada laki-laki) dan nikahnya
bisa dilakukan dengan sistem pattongkon
siri’.
Ada
juga setelah diperkosa, laki-laki itu kemudian membawa paksa perempuan
(nilariang) ke rumah imam untuk dinikhkan. Perempuan yang merasa terhina itu akhirnya malu kembali ke
rumah orang tuanya . Apa lagi laki-laki yang membawanya mau bertanggung jawab,
maka ia hanya pasrah untuk kawin
silariang dengan pemuda yang membawanya itu.**
Pengertian Siri’
Pengerian
siri’ telah banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak, baik masyaerakat
Suksel, masyarakat diluar Sulsel dan
bahkan dari para ahli hukum adat Dalam kajian yang berbed itu, membuat
persepsi tentang siri’. Berbeda pula, tergantung dari bagaimana cara mereka
memandang siri’ dalam kehidupn masyarakat Makassar.
Bagi
masyarakat luar Makassar banyak yang
beranggapan bahwa siri’ itu identik dengan perbuatan kriminal, misalnya
menganiaya atau membunuh Tumnasiri’ dianggapnuya perbbuatan kriminal yang
dapat dihukum.
Pandangan
ini, hanya melihat dari segi akibatnya. Yakni Tumasiri mambunuh Tumannyalanya
dengan alasan siri’. Tapi mereka tidak melihat,
kalau siiri’ ini tidak
ditegakkan, baagaimana kehidupan manusia kedepan. Terbukti, setelah
nilai-nila siiri’ bergeser, maka kasus kejahatan seksual merajalela dimana-mana. Apakah ini ini tidak lebih
jahat, bila dibanding dengan membunuh pelaku yang melakukan ejahatan seksual,
termasuk orang yang melakukan silariang,
karena biasanya mereka silariang,m karena terlebih dahulu ada hubungan seksuaal
diluar nikah dari kedua pasangan itu.
Prof.
Cassuto lam bukuny : Het Adat Strafreht in den Nederllanch
Achipel, mengatakan, Siri merupakan pembalasan berupa kewajiban moril
untuk membunuh puihak yang melanggar ada (dikutip dri buku Prof Moh. Natsir
Said : hal 50).
Sedngklan
Prof Nasir Said sendiri berkesimpulan bahwa siri’ adalah suatu perasaan malu
(krinking / belediging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluaarga / famili
yang dialnggar norma adatnya. (Moh Nasir Said : hal 50).
Bagi
masyarakat Sulsel khususnya suku
Makassar. Siri’ itu adalah harga diri atau martabat manusia sebagai manusia
yang s ebenarnya. Sebab banyk orang yang berwujud manusia, tapi perbuatannya
seperti binatang, karena kawin sembarangan , sama seperti binatang.
Dengan
adanya Siri’ melarang manusia untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah, karena itu sama saja seperti binatang, dan keturunan
yang dilahirkan adalah lahir dari perbuatan sina dari edua oorang tuanya.
Siri’
disini dimaksudkan untuk memanusiakan manusia. Bagaimana seorang manusia itu kelakuannya mengikuti
tata krama, sopan santun dan aturan yang berlaku di masyarakat. Bila kelakuannya seperti binatang, maka, jeas
sanksi aaat akan berlaku padanya. Hukum Adat Makassar, khusunya masalah siri’
agar pembentukan rumah tangga itu harus
dimulai dengan perkawinan.
Sanksi
Siri dimaksudkan untuk mencegah
seseorang melakukan perbuatan yang bisa dikategorikan dengan siri’.
Seperti berhubungan badan lain jenis tanpa nikah. Sanksi yang sangat berat itu, supaya
orang yang akan melakukan silariang harus lebih berhati-hati dan berupaya untuk
mencari jalan terbaik melalui perkawinan.*
Pergeseran Nilai Siri’
Siri’
pada zaman dulu sudah jauh beda dengan siri’ di zaman sekarang. Mengapa orang
tua dulu menjaga anak gadisnya keluar
rumah, karena anak gadis dianggap
sebagai mahkota dalam rumah tangga. Kalau mahkota itu rusak, maka rusak
pulalah rumah tangganya kedepan. Paara
orang trua dulu tak mau kalau lahir
cucunya dengan perzinahan.
Sekarang
ini, pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dilarang untuk
berhubungan dengan temannyn, dan ini termasuk siri’.. Sekarag ini, perempuuan
dan laki-laki dapat dengan bebas berjalan bersama, berboncengan motor, atu sama-sama satu mobil, kemudian apa yang
diperbuat dalam mobil sudah bukan lagi persoalan.
Dengan
adanya pergaulan bebas itu, sekarang ini banyak di dengar berita, ada perempuan
yang hamil diluar nikah. Kalau anaknya lahir, kemudian dicekik sampai mati,
karena malu, kalau dikethui oleh orang tuanya, bahwa anak yang dilahirkan itu
adalah hasil hubungan gelap.
Siri’
merupakan harga diri atau martabat seseorang yang perlu dijaga, agar manusia
itu berwujud seperti manusia yang sebenarnya. Manusia yang tidak punya siri’,
wujudnya memang seperti manusia, tapi sifatnya seperti binatang. Inilah yang
banyak terjadi, terutama di tempat prostitusi, dimana di temopat itu
banyak manusia yang memiliki sifat
binatang, mereka kawin seperti binatang tanpa melalui proses nikah.
Menurut
budayawan Sulsel, H. Abd Haris Dg Ngasa,
antyara sifat manusia dan sifat binatang itu hanya dibatasi oleh sebuah dinding yang sangat tipis. Itulah yang
disebut Sikedde rinring (sedikit dinding). Kalau dinding itu sempoat jebol,
maka manusia akan berubah sufatnya menjadi sifat binatang. Itulah sebabnya,
mengapa sanksi ada pada siri’ ini sangat
keras bagi masyarakat suku
Makassar di Sulawesi Selatan, karena tujuannya untuk memanusiakan manusia.
Suku
Makassar dalam menegakkan siri’ sering diistilahkan Pabbambangan na tolo
(Pemarah l;agi bodoh). Ungkapan ini
menurut Dg Ngasa, tidak selamanya benar. Mengapa orang tega membunuh anaknya atau laki-laki yang
membawa lari itu, padahal setelah
dilakukan acara abbaji (damai)
kedua pelaku silariang itu sudah
dianggap anaknya sendiri. Inilah pemikirang orang-orang yang tak mengerti
tentang siri’
Adalah
lebih bodoh, kalau melihat anak gadisnya
dipermainkan oleh laki-laki lain di depan matanya, kemudian tidak mengambil
tindakan tegas. Itulah sebabnyta pada orang tua dulu, bila melihat anak gadisnya dipermainkan oleh
laki-laki atau silariang, maka sanksinya
memang sangat tegas, yakni bisa saja mereka mati di ujung badik.
Kalau
siri’ ini ada pada tiap manusia, maka manusia itu tidak mungkin melakukan
perbuatan yang tidak senonoh yang bisa mempermalukan keluarganya. Orang tua
takut kalau anaknya jatuh ke tempat prostitusi, atau kalau mendengar anak gadisnya pernah melakukan hubungan terlarang dengan
laki-laki, maka orang tua yang punya
siri’ sangat marah pada anak gadisnya. Kalau
mereka tahu, bahwa anaknya hanya dipermainkan, maka orang tua atau
keluarganya mewanti-wantii laki-laki itu untuk diambil tindakan tegas pada
pemuda yang mempermainkan anak gadisnya itu.*
Tinjauan Hukum Pidana
Dalam
Hukum pidana (KUHP) kalau menyangkut masalah nyawa seseorang, terutama menyangkut
masalah penganiayaan atau pembunuhan, maka
tidak ada satu alasanpun untuk melakukannya,
termasuk alasan siri’ mereka bisa
dikenalan hukuman pidana penjara.
Bagi
para Tumasiri’. Bila sudah mendengar berita, bahwa anaknya atau keponakan atau sanak keluarganya melakukan silariang,
mereka dituntut oleh hukum Adat untuk menegakkan siri’nya. Sebab kalau tidak
bertindak, mereka dicap oleh masyarakat sebagai ballorang (alias
penakut). Tertapi mereka harus berani, tampil sebagai pembela martabat
keluarga.
Dalam ungkapan
orang Makassar ada yang disebut Eja Tonpi sen Na Doang (nanti merah
baru terbukti udang). Maksudnya,
penegakan siri’ itu memang banyak
resiko, terutama membunuh dan akhirnya
masuk penjara. Tetapi resiko seperti itu, tidak terpikirkan dulu. Nanti kalau
sudah berhasil menegkkan siri’ barulah terbuklti bahwa udang itu kalau sudah
dimasak merah.
Kemudian
ada pula istilah yang mengatakan, bahwa orang Makassar itu kalau menegakkan
siri, luka tusuk senjata tajam itu, bukan berada di belakangnya, tetapi harus ada dimuka. Kalau luka tusuk berada di belakang badan ,itu berarti
pengecut atau penakut, tapi kalau luka
ada di bagian depannya, itu berarti pemberani.
Dalam ungkapan orang Makassar disebutkan Tiai Mangkasara punna Bokona
Loko’ (bukan orang Makassar kalau bagian belakang badannya terluka).Inilah
yang disebut Tubarani.
Bagi
Tumannyala (pelaku silariang), juga bertekad, resiko apapun yang menimpa dirinya, harus mereka
jalani, termasuk maut demi mendapatkan
si buah hati belahan jantung. Mati itu
urusan Tuhan, tapi semangat untuk
menyatukan dirinya dengan gadis pelihannya
tak bisa dibendung, walau itu maut sekalipun. Cinnaku Cinnana pakkekkepa
pasisa’laki (Cintaku dan cintanya, hanya linggislah yang bisa
memisahkannya). Begitu eratnya cinta kedua Tumannyala, sehingga mereka nekad
kawin lari.
Bagaimana
dalam hukum pidana?. Pada kasus Silariang, tindak pidana yang banyak terjadi
adalah, kasus pengniayaan dan kasus
pembunuihan. Kadang Tumasiri’ bila
menemukan Tumannyalanya di suatu tempat, misalnya di jalanan, mereka sering
memburuh Tumannyalanya, dan bila Tumannyala tidak mendapat perlindungan,
biasanya terjdi perkelahian. Kalau ada orang yang melerai, mungkin nyawa salah satu pihak masih bisa
diselamatkan, maka dalam hal ini dapat dikenakan pasal penganiayaan (351 KUHP),
tapi kalau mereka membawa senjata tajam dan tidak ada yang melerainya, maka
biasanya kasus ini berakhir dengan maut
atau pembunuhan, maka si pelaku dapat dikenakan pasal pembunuhan yakni pasal
340 KUHP untuk pembunuhan berencna dan pasal 338 tentang pembunuhan biasa.
Selain
itu, dalam kasus silarian, tentunya kedua belah pihak, baik Tumannyala maupun
Tumasiri’ keduanya selalu siap senjata tajam berupa badik yang
terselip di pinggangny. Ini juga
melanggar pasal dalam Undang-undang Darurat tahun 1957.
Kemudian
pada kasus silariang, karena ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak yang mau kawin lari, maka
dalam KUHP tidak ada satu pasalpun yag melarang mereka untuk kawin lari. Kecuali dalam agama, biasanya
pada kasis Silariang ini, sebelumnya disertai dengan perzinahan, maka kasus sin itu melanggar aturan agama Islam.
Untuk
kasus Nilariang, ini dapat dikenakan
pasal dalam KUHP, sebab pihak perempun
itu dipaksa untuk kawin dengan cara menculik atau tipu muslihat. Pihak
laki-laki yang melakukan kawin Nilariang ini dapat dikenakan pasal penculikan
atau pasal penipuan.
Dari
aspek sosial, pada kasus silariang ini, merupakan aib bagi keluarga kedua belah pihak, baik
keluarga laki-laki lebih-lebih bagi keluarga perempuan yang merasa sangat dipermalukan oleh ulah anaknya.
Masyarakat mencelh perbuatan ini dan
mencapnya sebagai orang yang tak mampu mendidik anak-anaknya, serta menyalahi
aturan adat dan agama.
Silariang Dalam Aspek
Kriminologi
Kriminologi
berasal dri kata crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu
pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
kejahatn (Prof. Hari Sangaji, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta hal
9).
Selanjutnya
Shutterland mengemukakan, kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejhatan
sebagai masalah manusia, seperti Anthropologi, Psykiatry, psyhologo dan
ain-lain.
Luasnya
ruang lingkup kriminologi terhadap berbagai aspek disiplin ilmu, sehingga Kriminologi
mendapat julukan sebagai King Without Country (Raja tanpa
negara). Artinya kriminologi meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, walaupun
hanya sedikit-sedikit saja, seperti yang terdpat dalam ilmu pengetahuan hukum,
sosiologi, Anthropologi dn sebaginya (Prof. Dr. Ronny Niiti Baskara, Catta
kuliah di Univ. Muhammadiyah Jakarta tahun 1989).
Luasnya
cakupan lingkup kriminologi tersebut, sehingg
dlam tulisan ini, penulis batasi dengan mengupas sejauhmana aspejk
kriminologi terhadap perkawinan silariang bagi suku Makassar.. Untk mengetahui,
perlu ditunjauasp[ek kebudayaan
terhadap kawin silariang.
Selnjutnya
Prof. Dr. Koentjaraningrat, dlm bukunya Kebudyan Mentalitas dan Pembangunan, mengemukakan,
ada tujuh unsur universal dari kebudayaan yaitu:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem
dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem
matapencaharian
7. Sistem teknologi dan perlatan
(Koentjaraningrat, hal 12).
Dihubungkan
dengan perkawinan Silariang, maka termasuk manakah silariang dalam unsur
universal kebudayaan itu?
Penulis
berpendapat, bahwa bahwa silariang masuk dalam unsur sistemn dan organisasi kemasyarakatan. Tiap
satu daerah di Indonesia, terapat persekutuan hukum, seperti yng disebut Desa, ngari (minang) dan sebaaginya.
Dalam persekutuan desa itu, terdapat item kecil, namanya sistem perkawinan.
Kemudian item kecilnya lagi dari sistem perkawinan, bagi suku Makassar terdapat
item kawin silariang.
Jadi
dalam hal ini, item pertama adalah sistem organisasi kemasyarakatan, item kedua adalah persekutuan
desa, item ketiga adalah sistem perkawinan dan item keempat adalah silariang dan item kelima adalah siri’
dan item selanjutnya adalah kejahatan
pembunuhan.
Ada
beberapa aspek budaya yang mengandung unsur kriminil, seperti kesenian
jaipongan, tuyuban dan masih banyak lainnya. Jenis kesenian ini jelas memperlihatkan keindahan dan nilai
seni. Tapi dibalik keindahan itu, sebenrnya mengandung adegan yang berbau
pornografi, dimana dalam kriminologi dikategorikan sebagai kejahatan (Prof.Niti Baskara, catatan kuliah
1989).
Demikian
halnya persoalan siiri’ dalam kasus silaring bagi suku Makassar. Prof. Andi
Zainal Abidin Farid dalam bukunya Persepsi
Orang Bugis Makassar tentang Hukum dan Dunia Luar, mengemukakan,
Membunuh seseorang laki-laki yang melarikan sanak saudara, maka
sipembunuh adalah yustification menurut
hukum adat lama, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral. (Hal 107).
Persoalan
lembunuhan dengan alasn siri pada kasus Silariang, menurut hukum adt Makassar dinggap sebagai suatu
kewajiban moral yang harus dilekukan oleh pihak keluarga perempuan yang disebut
Tumasiri’. Akan tetapi kasus pembuhuhan yang bertlatar belakang siri’ oleh
hukum pidana, sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk membunuh seseorang.
Bila terjadi kasus pembunuhan atau penganiayaan dengan alasan siri, dalam hukum pidana pasti
dikenakan pasal pembunuhan datau penganiayaan
dalam KUHP.
Jadi
disini ada dua aspek hukum yang saling bertolak belakang. Disatu sisi, hukum
adaat Makassar mewajibkan seseorang yang dipermlukan (tumasiri’) untuk melakukan
tindakan kriminil, apoakah itu penganiayan atau pembunuhan terhadap pelaku
silariang yang disebut Tumannyala. Disis lain, hukum pidana melarang sama
sekali Tumasiri melakukan tindakan kriminil, termasuk alasan siri’. Inilah yang
mkenjadi sorotn kriminologi dalam
pembahasan tulisan ini.
Dalam
kriminologi yang mempalajari masalah kejahatan,
dalm kriminologo, ada tiga jenis
kejahatan yang terdapat dalam kasus silariang. Gerson Bawengan dalam bukunya
Psykologi kriminil :
1.
Kejahatan daalam arti praktis
2.
Kejahatan dalam arti religius
3.
Kejahartan dalam arti yuridis
(Gerson Bawengan , Psikologi Kriminil
: hal 20)
Kejahatan Dalam Arti Praktis
Kejahatan
dalam arti praktis adalah suatu pengertian yang merupakan campur bauran dan bermacam-macam norma.
Pelanggaran
dari berbgai macam norm, baik norma agama, adat istiadat, kebiasaan, kesusilaan
dan norma hukum, sehingga dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat, baik berupa
hukuman pidana, cemoohsn dan pengucilan dari masyarakat. Misalnya seseorang
guru berbuat kejam terhadap muridnya,
maka guru tersebut dianggap sebagai penjahat. Seseorang yang suka memukuli
temannya, maka sipemukul dapat dicap sebagai penjahat dlam arti praktis.
Demikian
halnya pada kasus siri’ silariang yang telah melanggar norma-norma hukum, maka
sipel;ku silariang juga dicap sebagai kejahatan dalam arti praktis. Bila
terjadi kasus poembunuhan dan
penganiayaan dari Tumasiiri’ terhadap
Tumannyala, maka itu juiga diktegorikan sebagai penjahat dalam arti prktis.
Kejahatan Dalam Arti Religius
Kejahatan
dalam arti religius adalah suatu pengertian yang mengidentifikasikan jahat
denganb dosa. Dalam arti ereligius merupakan sinonim, bahwa jahat adalah
berbuat dosa. Demikin pula sebaliknya, berbuat diosa adalah jahat.
Sebagai
manusia yang bergama (islam) telah mempercayai adanya kitab yang diturunkan
oleh Allah SWT. Dalam Al Qur’an tersebut, mengandung suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan dan larangan yang harus dijauhi oleh setiap umt.
Dengan
mengacu pada pengertian religius, berarti orang-orang yang melakukan perbuatan dosa dicap sebagai sebuah kejahatan. Misalnya, tidak
melaksanakan shalat lima waktu, puasa, mencuri, merampok dan sebagainya.
Demikian halnya sanksinya, tidak hanya didaopatkan di dunia, juga lebioh-lebih
di akhirat nanti.
Dalakm
kasus siri’ dan silariang, perbuatan melarikan anak gadis, bersina atau bahkan
membunuh seseorang, itu adalah suatu perbuatan dosa yang dapat dikategorikan
sebagai sebuah kejahatan..
H. Moh. Syukri Daeng
Limpo, dalam
artikelnya Kawin Silariang, mengatakan, laki-laki
yang telah menodai kehormatan (appakatianang) atau melarikan gadis keluarga
sendiri yang haram dikawini (muhrin) disebnut salimara, , maka keduanya dikutuk oleh keluarga kedua belah pihak,
dan dikutuk oleh seluruh anggota masyarakat, sebab dianggap telah melakukan
pelanggaran besar yang merusak, bukan hanya norma adat dan agama, juga
menyebabkan hujan tidak mau turun. Konon pada zaman dulu, pelakunya dikenakan
hukuman niladung (ditenggelamkan ke
air dalam keadaan hidup hingga mati). SKU Mimbar Karya, 9 Desember 1984, hal 3).
Kejahatan dalam Arti
Yurudis
Kejahatan
dalam arti yuridis dapat dijumpai dalam KUHPidana yang membedakan secara tegas
antara kejahatan dan pelanggaran. Pada buku kedua KHUP diatur delik kejahatan
dan buku ketiga diatur delik pelanggaran.
Disamping
itu, Memori van Toelicting telah membedakan antara kejahatan dan pelanggaran.
Disebutkan, kejahatan adalah delik hukuim yaitu peristiwa-peristiwa yang
berlawanan dengan atau bertentangan dengan azas-azas hukum yang hidup dalam
keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang yaitu peristiwa-peristiwa
yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai hal yang
terlarang (Gerson Bawengan, hal 5).
Lain
halnya Prof. Mr Roeslan Saleh yang mengatakan,
semua perbuatan melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum,
karena :
1. Menurut bahasa, bersifat melawan hukum
adalah sesuatu yang menunjuk ke jurusan bertentangan dengan hukum.
2. Sifat melawan hukum itu adalah unsur
mutlak dari perbuatan pidana yang berarti bahwa tanpa ada sifat melawan hukum
dari suatu perbuatan, maka tidak ada pula perbuatan pidana, dalam mana ia
menjadi esensialnya. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat
dipandang tidak boleh dilakukan atau tercela jika dilakukan. Oleh karena
apa? karena bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam
pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
3. Bertentangan tanpa hak dan melawan hak
praktis menimbulkan konklusi yang berbeda-beda (Prof. Roeslan Saleh, Sifat
Melawan Hukuim dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta 1981, hal 26 – 27).
Dalam
kasus siri’ dan silariang jelas melanggar berbagai pasal dalam KUHP yang bisa
dikategorikan sebagai sebuah kejahatan. Seperti halnya pasal 332 KUHP (silariang dengan gadis dibawa umur),
pasal 340 KUHP (pembunuhan terhadap Tumannyala), pasal 285 KUHP tentang
perkosaan dan masih banyak pasal-pasal
lainnya yang terkait dengan kasus siri’ dan silariang.
Prof.
Mr. Roeslan Saleh selanjutnya mengutip pendapat Simon dan Hasuwinkel Suringa yang
mengatakan: Untuk dapat dipidana,
perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam undang-undang. Jika sudah demikian,
biasanya tidak perlu lagi diseliidiki, apakah merupakan perbuatan hukum atau
tidak (Opcit hal 13 – 14)
Berdasar
dari pendapat tersebut berarti, kasus silariang, baik secara yuridis maupun non yuridis adalah mencakup
semuanya, karena disamping melanggar peraturan tertulis (KUHPidna) juga
melanggar norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Walau orang yang melakukan
pembunuhan dengan alasan siri’ dalam hukum adat Makassar, tidak dianggap
sebagai sebuah kejahatan, bahkan dianggap sebagai kewajiban moral, namun
dalam KUHPidana, membunuh dengan alasan
apapun, tetap dicap sebagai tindak pidana yang dapat dihukum.
Ada
beberapa pasal yang menatur tentang kejahatan yang berlatar belakang siri’ dan
silariang dalam hukum adat Makassar.
Pasal
332 KUHP
1. Paling lama tujuh tahun, barang siapa
yang membawa pergi wanita yang belum cukup umur, tanpa diketahui oleh kedua
orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk
memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik dalam maupun diluar
perkawinan.
2. Paling lama sembilan tahun, barang
siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman
kekerasan dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu,
baik dalam maupun diluar perkawinan.
Dari
bunyi pasal 332 KUHP itu memperlihatkan bahwa
perkawinan silariang, melanggar hukum pidana bila wanita yang dilarikan
itu masih dibawa umur, tipu muslihat, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Tetapi bilamana silariang itu sama-sama dilakukan oleh orang dewasa dan
dilakukan atas persetujuan keduanya, maka disini KUHP tidak mempersoalkannya
dan bukan dikategorikan sebagai
perbuatan pidana. Namun perbuatan Silariang baik dibawah umur maupun sama-sama
dewasa, apa lagi dilakukan dengan tipu daya atau kekerasan, dalam hukum adart
Makassar, dikategorikan dengan perbuatan yang melanggar norma adat khususnya
masalah siri’ dan kuluarga yang merasa dipermalukan yang disebut Tumasiiri; dapat mengambil tindakan
paada sipelaku atayu Tumannyal.
Pasal
285 KUHP
Dihukum
penjara selama-lamanya sembilan bulan:
a. Laki-laki yang beristri berbuat zina,
sedang diketahui bahwa pasal 27 KUHPerdata sipil berlaku padanya.
b. Perempuan beruami berbuat zina.
Biasanya
sebelum terjadi kasus silariang, kadang terjadi
hubungan badan atau perzinahan diantara keduanya. Bilamana perempuan
tersebut hamil, sedng kedua orang tuanya tak merestui laki-laki pilihannya,
maka disitulah serin terjadi kasus silariang.
Namun
dalam pasal 284 KUHP terlalu membatasi pegertian zina. yakni hanya
laki-laki yang sudah beristri atau
perempuan yang sudah bersuami melakukan
hubungan seks diluar nikah. Sedang bila hal ini dilakukan oleh kaum muda mudi
yang belum menikah atas dasar suka sama suka, maka menurut hukum pidana
bukanlah merupakan tindak pidana. Kalaupun terjadi kasus semcam ini, ancaman
hukumannya hanya 9 sembnilan bulan.
Pasal
340 KUHP
Barang
siapa dengan sengaja atau rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan berencana (moord) dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau selama kurun waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
Dri
pasal tersebut diatas, pengaturan tentang pembunuhan berencana. Dalam kasus
Silariang, kadang terjadi namanya kasus
pembunuhan dengan alasan siri’. Biasanya yang melakukan penyerangan adalah
Tumasiri’ terhadap Tumannyala. Bila terjadi penyerangan, terjadi pergumulan,
dan biasanya berakhir dengan duel maut, apakah yang mati itu tumannyala atau
Tumasiri atau bahkan orang yang melerai.
Bila terjadi kasus pembunuhan dengan alasan siri’, maka penegak hukum, dalam
hal ini polisi, jaksa dan hakim
menerapkan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan bila korban tidak mati. Biasanya
pasal yang didakwakan adalah pasal 340
KUHP (pembunuhan berencana), pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) dan pasal 351
KUHP tentang penganiayaan.**
Kasus
Salimara
Kisah
Ayah Perkosa Putrinya
Pak....Aku
Ini Anakmu
Kisah
tragis menimpa seorang gadis dari Kab.
Gowa. Sebut saja Ira (18) (samaran) nama gadis itu, tubuhnya aduhaai dan cantiknya
oke juga. Tapi sayang seribu sayang, cita-cita anak untuk menjadi orang baik,
terkandas di tangan ayah kandungnya sendiri (Dg Mampo (nama samaran). Ira diperkosa oleh ayak kandungnya sendiri
hingga hamil dan melahirkan bayi.
Kasus
ini bermula, ketika, Ira mandi di kamar mandi. Saat asyik mandi, tiba-tiba ada
yang ketuk pintunya. “Siapa ..” tanya
Ira dalam kamar mandi, mungkin mama kali,
pikir Ira dalam benaknya. Setelah pintu dibuka, ternyata Ayahnya. Tanpa basa basi, si ayah langsung saja nyelonong
masuk kamar mandi buang air . Sang
puntri tidak keluar, karena ia pikir, ia adalah ayahnya, Setelah selesai buang
air, ayah keluar.
Tahu-tahunya,
setelah ayah keluar dari kamar mandi, ia tergiur melihat tubuh putrinya yang molek. Nafsu syetanpun
mulai merasuk dalam diri sang ayah. Mula-mula ia mendekati putrinya,
sambil mencium, tangan ayahpun mulai nakal. Rabaan pertama ke buah dada, kemudian
ke arah terlarang. Sang putripun berteriak. Namun Ira pikir, ayahnya tak mungkin berbuat senonoh.
Tapi
lama kelamaan, nafsu bejat ayah semakin menggila. Bukan saja meraba daerah
terlarang, tetapi rural yang ia miliki
keluar dari sarangnya. Rudalnya kian tegang menbcari sasaran tembak.
Karena sang punti baru saja mandi dan hanya sarung yang melekat di badannya, maka
rudal scud sang ayah langsung nancap pada barang putrinya.
Diamnya
si anak ini, membuat ayah semkin penasaran. Rudalpun bergerak mulau masuk sasaran.
Aduh Pak...sakiiiit” keluh Ira. Memang begitu nak, sebentar lagi sembuh”
nasehat ayah.
Nampaknya
kontak pertama ayah dan anak ini, bukannya berakhir sampai disitu saja. Setiap
ada kesempatan, bila ibu keluar misalnya ke pasar, dan adik-adiknya pergi ke
sekolah, si ayah mulai lagi mendekati putrinya dan memulai lagi perbuatan
bejatnya. Si anakpun tak kuasa membendung keinginan ayahnya. Cuma Ira pernah melontarkan kata-kata : Aduuuhh.....Pak.. Aku ini anakmu., mengaapa
ayah tega berbuat begini? Kat Ira pada ayahnya. Namun nasehat sang anak
tak diperduli, rudal ayahpun terus mencari sasaran, dan terus
melampiaskan nafsu syetannya.
Ketika
sang ibu tercinta menunaikan ibadah haji , meriupakan kesempatan emas bagi ayah dan anak untuk mengulangi perbuatannya. Pergaulan suami istri bebas dilakukan. Karena
sudah terbiasa, maka tak ada lagi basa basi. Bila rudal ayah tegang, maka ia langsuing saja masuk ke kamar anaknya
untuk melampiaskan nafsunya.
Setelah
sekian lama berhubungan badan, sang putripun mulai mentah-mentah, pertanda ia
hamil. Si ayahpun mulai kelabakan. Perut sang putri dari bulan ke bulan terus membuncit. Hinggga usia kandungan
memasuki bulan keenam, Siayah mulai menghubungi Mak Nanong, salah seorang dukun
beranak di kampungnya. Kedatangan Ira ke Mak Nanong dengan maksud untuk
menggugurkan kandungannya alias aborsi. Namun Mak Nanong menolak untuk aborsi,
ia menyarankan lebih baik ke rumah sakit bersalin di Sungguminasa. Nasihat Mak
Nanong diterima, dan ia pergi bertiga ke
Rumah bersalin di Sungguminasa.
Di
rumah sakit, bayi aborsi ini lahir, ayah
dan putrinyapun menghilang, entah kemana rimbanya. Putugas rumah bersalinpun
mulai curiga, jangan-jangan bayi yang lahir adalah hasil hubungan gelap.
Akhirnya
kasus ini mulai terbongkar. Polisipun mulai melakukan pengusutan atas kasus ini. Setelah ditel;usuri, akhirnya
polisi berhasil menciduk para pelaku, yakni Ira, ayahnya Dg Mampo, dan mak
Nanong. Ketinganya tersangka langsung digirik ke kantor polisi dan
akhirnya dijobloskan ke Rutan Gunungsari.
Kasus
ayah monodai anaknya banyak terjadi dimana-mana, seperti halnya di Medan, dari
hasil hubungan gelapnya hingga melahirkan seorng anak. Demikian pula di
Sumarorong Polmas juga terdapat kasus
serupa. Pada kasus ini oleh orang Makassar digolongkan pada perbuatan
Salimara dimana hukummannya, para plaku baik ayah maupun putrinya
dikenakan hukuman Niladung, yakni ditenggelamkan ke laut hingga mati.**
Zainuddin Tika, SH alumni Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta tahun 1990. Jurusan Hukum Pidana. Sekarang menjadi wartawan pada Tabloid Bawakaraeng sn Tabloid
Deteksi, terbitan di Sulawesi Selatan. Juga selaku Ketua Lembaga Kajian dan
Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, yang kini sudah banyak menulis
buku-buku yng bernuansa sejarah dan Budaya
Sulawesi Selatan, antara lain buku
Silariang, Ammatoa (Suku masyarakat tradisionil Kajang di Bulukumba),
Malino Berdarah dan masih banyak judul lainnya yang sudah mencapai 40 judul
Khusus masalah Silariang, ini
sebenarnya adalah thesis S 1 di
Fak Hukum UMJ yang kami garap kembali menjadi
buku..**
Daftar
Pustaka
1. Ali Akbar H. Dr , Merwat Cinta Kasih,
Pustaka Antara, Jakarta 1984
2. Andi Zainal Abidin Farid, Prof.
Persepsi Orang Bugis Makassar Tentang Hukum dan Dunia Luar, Alumni, Bandung 1983.
3. Bismar Siregar, SH. Parof. Keadilan
Hukum Dalam Sspek Hukum Nasional,
Rajawali, Jakarta, 1986.
4. Bertling C,T Mr. Huelijk En
Huwelijrecht In Zuid Celebes.tth
5. Chabot H.Th. Verwatenschap Stand En
Sexe In Zuid Celebes t, Groningen,
Jakarta, 1950. Gerson Bawengan SH, Drs, Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
6. Gerson Bawengan, Pengantar Psykologi
Kriminil Pradnya Paramita, Jakarta 1974.
7. Koentjaraningrat, Kebudayaan
Mmentalitet dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta 1985.
8. Muin MG A. Menggali Nilai Sejarah
Kebudayaan Sulselra, Siri’ na Pacce, Makassar Pres 1970.
9. Nasir Said Moh, Siri’ dala Hubungannya
dengan perkawinan ddi Masyarakat Mangkasara Sulsel, P. Sejahtera, 1962, Ronny Niti Baskara,
Prof. Dr. Kriminologi, Diktat Kuliah di
Fak. Hukum Universitah Muhammadiyah Jakarta 1988.
10. Roeslan Saleh, Prof. Mr. Perbuatan
Pidana dn pertanggungjawban Pidana, Ghalian Indonesia, Jakarta 1981.
11. Syukri Dg Limpo, Muh. Drs, Artikel
masalah Kawin Silariang, SKU Mimbar Kary. 9 Desember 1984.
12. H. Halik Mone , Budayawan Gowa,
Wawancara.
13. H. Haris Dg Ngasa, Budayawan Gowa,
Wwawancar
..
Pidana dn pertanggungjawban Pidana, Ghalian Indonesia, Jakarta 1981.
11. Syukri Dg Limpo, Muh. Drs, Artikel
masalah Kawin Silariang, SKU Mimbar Kary. 9 Desember 1984.
12. H. Halik Mone , Budayawan Gowa,
Wawancara.
13. H. Haris Dg Ngasa, Budayawan Gowa,
Wwawancar
..