Sejarah Kerajaan Gowa


Penentuan hari Jadi Gowa telah ditetapkan pada hasil seminar yang diadakan pada Tgl 10 – 11 November 1990 lalu yang diprakarsai oleh Bupati Gowa H. Azis Umar saat itu, dan menghadirkan beberapa pakar sejarah dan budaya diantaranya Prof. H. Paturungi Parawangsa, Prof. Dr. Mattulada,  Prof. Abu Hamid, Prof. Dr. Mukhlis Paeni, Drs H. Daeng Mangemba dan Dr. Darmawan Masud. Dari hasil  seminar itulah telah disepekati tanggal, bulan dan tahun sebagai tonggak lahirnya pemerintahan  di Kerajaan Gowa, yakni 17 November 1320.
Penetapan  tanggal, bulan dan tahun Hari jadi Gowa itu didasarkan pada peristiwa yang terjadi di Gowa, yakn i: Tanggal  17 adalah tanggal diundangkannya dalam Lembaran negara UU darurat No. 5 tahun 1957 tentang  Pembentukan Daerah Tingkat II  Gowa yang merupakan basis yang  tidak terpisahkan dengan NKRI. Demikian halnya Tgl 17 merupakan hari keramat bagi bangsa Indonesia yakni  diproklamirkannya kemerdekaan  bangsa Indonesia.
Bulan November adalah bulan Bulan pelaksanaan sembahyang Jum’at pertama di kerajaan Gowa yang merupakan tonggak awal tersebarnya agama Islam di Kerajaan Gowa. Pada bulan November itu pula merupakan bulan dinobatkannya Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna dimana dalam masa pemerintahannya membawa Gowa mencapai kejayaan  dan diakui oleh dunia internasional.
Tahun 1320 adalah tahun awal berdirinya pemerintahan di Kerajaan Gowa yang ditandai dengan diterimanya  Tumanurung Baineya sebagai Raja Gowa pertama. Penetuan Hari Jadi Gowa tersebut telah ditetapkan dala Perda No. 4 Tahun 1990 dan disahkan oleh Gubernur Sulsel dengan SK No. 132/II/1991 tanggal 8 Februari 1991 dan diundangklan dalam Lebaran daerah Dati II Gowa No. 3 tahun 1991  seri D No. 2 pada Tgl 1 Maret 1991.
Pada masa pemerintahan raja Gowa pertama Tumanurunga (1320),  wilayah Gowa saat itu hanya terbatas pada sembilan daerah kasuwiang  yang disebut Kasuwiang Salapanga. Kesembilan kasuwiang dimaksud adalah:  Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Jeknek, Bisei, Kalling, dan Sero.
Ketika Tumanurunga menjadi Somba  di Gowa, ia kemudian dikawinkan dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pemuda dsri Selatan. Ia datang bersama  seorang temannya  bernama Lakipadada. Dari hasil perkawinan itulah, maka lahirlah seorang anak laki-laki bernama  Tumassalangga Baraya yang kelak menjadi Raja Gowa kedua menggantikian ibunya. Pada masa pemerintahan Raja Tumanurunga hingga Raja Gowa ke VIII I Pakare’ Tau, pusat pemerintahan masih berada di Bukit Tamalate.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa IX bernama  I Manuntungi Daeng Matanre atau lebih tersohor dengan julukan Karaeng Tumapakrisik Kallonna, maka beliaulah  memindahkan ibu kota kerajaan dari Tamalate ke daerah pesisir di Sombaopu. Istana yang dibangun di daerah pesisir itulah kemudian dilindungi dengan membuat benteng yang terbuat dari gundukan tanah. Benteng itu kemudian terkenal dengan nama Benteng Sombaopu.
Karaeng Tumapakrisik Kalolnna  juga membuat sebuah dermaga di depan istana.  Untuk mengatur  administrasi pelayaran  di dermaga tersebut, maka ditunjuklah Daeng Pamatte sebagai syahbandar pertama di Sombaopu.  Pada saat itu pula Karaeng Tumapakrisik Kalonna memerintahlkan  pada Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara. Maka diciptakankanlah sebuah aksara dengan nama Aksara Lontara makassar yang kemudian digunakan  untuk mencatat beberapa peristiwa yang terjadi di kerajaan Gowa. Lontarak itu kemudian terkenal dengan nama Lontarak bilang Gowa Tallo.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa pemerintahan  Raja Gowa ke XIV bernama I Manga’rangi Daeng Manrabbia bersama Mangkubuminya I Mallingkaang Daeng Nyonri. Pada masa pemerintahanya, beliau didatangi tiga orang ulama dari Minangkabau, masing-masing Dato ri Bandang, Dato Patimang dan Dato ri Tiro.
Dato Patimang kermudian ke negeri Luwu dan Dato ri Tiro ke Kerajaan Gantarang Bulukumba, sedang Dato ri Bandang tetap di Gowa untuk menyebarkan agama islam. Alhasil, kedua pembesar Kerajaan Gowa yakni I Mangta’rangi daeng Manrabbia dan I Mallingkaang daeng Nyonri menerima baik  ajakan Dato ri Bandang untuk menerima Islam sebagai Agama kerajaan. Setelah  kedua pembesar itu menerima Islam, maka  Dato kemudian memberi gelar Islam pada I Manga’rangi dengan gelar Sultan Alauddin, sedang mangkubuminya bergelar Sultan Awwalul Islam. Pada masa itu pula, Gowa menjadi pusat penyebaran agama islam di wilayah timur Nusantara ini.
Setelah masa pemerintahan Sultan Alauddin, digantikan oleh purtranya Sultan Malikussaid dengan Manmgkubumi I Mangadacinna Daeng Sitaba yang lebih tersohor dengan gelar Karaeng Pattingalloang. Pada masa pemerintahan Sultan Malikussaid inilah, Gowa mencapai puncak kejayaannya, karena dermaga sombaopu yang dibangun Raja Karaeng Tumnapakrisik Kallonna, pada saat itu berubah menjadi Bandar niaga Internasional, karena telah banyak didatangi kapal-kapal asing dari mancanegara, dan di daerah pesisir pelabuhan telah banyak berdiri beberapa  kantor perwakilan dagang negara asing, diantaranya dari Den Mark, Inggeris, Belanda, Portugis, Arab serta beberapa negara Asia lainnya. Disamping itu, juga karena kepiawaian Karaeng Pattingalloang  dalam mengiuasai beberapa bahasa asing, seperti Inggeris, Belanda, Portugius, Perrancis, Arab dan Cina.
 Dari sekian banyak orang asing yang masuk ke Kerajaan Gowa, maka pedagang dari Belandalah yang memperlihatkan gelagat yang tidak baik. Mereka ingin melakukan monopoli perdagangan. Berkali-kali utusan Belanda datang menghadap Raja Gowa agar diberi isin untuk melakukan monopoli perdagangan, , tetapi selalu ditolak.
Puncak pertentangan antara kerajaan Gowa dengan belanda, terjadi pada masa Pemerintahan  Raja Gowa ke XVI bernama  I Mallombasi daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan Mangkubumi Karaeng Karunrung. Pada masa pemerintahannya Belanda selalu memaksakan kehendaknya agar diberi kekuasaan untuk melakukan monopoli perdagangan, namun mendapat tantangan  keras dari  Sultan Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin yang dikenal  ksatria dalam menyelesaikan setiap permasalahan, tak mau kalah dengan gertak Belanda. Kerajaan Gowa saat itu memiliki ribuan armada tempur yang tersebar di beberapa daerah kekuasaannya menyatakan siap menghadapi tantangan Belanda walaupun resikonya harus mengorbankan  banyak jiwa maupun harta.
Pada bulan Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada persenjataanya yang dipimpin oleh Cornelis Spelman di Perairan Indopnesia Timur guna menyerang Kerajaan Gowa. Dibantu oleh pasukan dari Bone pimpinan Arung Palakka dan poasukan dari Ambon pimpinan Kapitan Jongker. Dalam posisi  itu, Prajurit Kerajaan Gowa dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin, bukan hanya  berperang melawan bangsa asing  (Belanda) tetapi juga sesama saudaranya sendiri  yang sebangsa dan setanah air.
Pada tahun 1667 terjadi perang besar-besaran. Parjurit Kerajaan Gowa yang tersebar di berbagai tempat, baik di darat maupun di laut dengan pasukan semut merahnya mencoiba mendekati kapal-kapal belanda untukj diledakkan. Sementara di benteng Sombaopu juga terdengar dentuman meriam yang ditembakkan secara bertubi-tui kje kapal Belanda yang mencoba memasuki perairang Sombaopu. Demikian halknya  kapal belanda .
Dari serangan itulah, Belanda berhasil merebut benteng pertahanan Gowa satu persatu, diantaranya benteng Barombong, benteng Galesong yang merupakjan tepat penyimpanan logistik persiapan perang kerajaan Gowa.benteng yang direbut belanda itu kemudian dihancurkan rata dengan tanah.
Pertenpurasn yang hebat itu menelan banyak korban dikedua belah pihak. Belanda mengakui kehebatan Sultan hasanuddin dalam melakukan perlawanan, sehingga salah seorang penyair belanda memberikan julukan pada Sultan Hasanuddin sebagai Het Haantjes van Oesten (Ayam jantan dari Benua Timur, sedang  putrinya yang mewarisi sifat ksatria ayahnya yakni I Fatimah Daeng Takontu pada masa peperangan yang memimpin pasukan Srikandi balira   juga mendapat julukan Garuda betina dari Timur.
Dengan pertimbangan, demi untuk  menyelamatkan generasi  sebagai akibat peperangan, untuk mencegah kerugian yang lebih besar dan diharapkan ada generasi kedepan yang bisa melanjutkan perjuanganemlawan Belanda, maka Sultanb hasanuddin terpaksa menandatangani Cappaya ri Bungaya pada Tgl  18 November 1667.
Setelah Perjanjian Bungaya, bukan berarti Raja-raja berikutnya harus takluk pada Belanda. Banyak raja-raja berikutnya yang melakukan perlawanan, walau dibawah tekanan belanda , diantaranya Raja Gowa ke 26 Amas Madina atau I Sangkilang yang melakukan perlawanan terhadap bvelanda, sehingga beliau diasingkan ke Ceylon (Srilanka). Demikian juga Raja I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang. Juga harus mati di tangan Belanda demi membebaskan   rakyatnya dari pengaruh penjajah belanda.
Namun berkat perjuanmgan seluruh bangsa Indonesia, maka pada Tgl;  17 Agustus 1945 Bangsa indonesia telah berhasil memproklamirkan kemerdekaan . Walau saat itu masih banyak tantangan, akan tetapi cikal bakal tumbunya negara Indonesia tercinta ini sudah nampak hingga akhirnya penjajah  dienyahkanbdari bumi Indonesia.
Setelah pasca kemerdekaan, bangsa Indonesia bisa mengenyam kemerdekaannya tanpa ada tekanan dar pihak asing. Sistenm pemerintahan  di Indonesia juga diatur sesuai dengan keinginan bangsa Indonesia yang  sesuai  dengan  adat  dan budaya bangsa Indoinesia  dalam Pancasila dan UUD 1945
Gowa pada masa pemerintahan Pasca kemerdekaan, sudah beberapa kalu melakukan pergantian bupati, ytakni dimulaio dari  Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Raja terakhir dan bu[ato Gowa pertama,  Andi Tau, HM Yasin Limpo (Carateker), KS Mas’ud, HM Arif Sirajuddin, H.A. Kadir Dalle, H. Azis Umar, H. SyahrulYasin Limpo, H. Hasbullah Jabbar, H. Andi Baso Mahmud (Carateker). H. Ikhsan Yasin Limpo,SH. MH.*

Penulis: Zainuddin Tika

One Response so far.

  1. Sangat membantu sebagai referensi untuk tugas presentasi. Terima kasih pak.

Leave a Reply