Desa
Tana Toa sering juga diistilahkan dengan nama Tana Kamase-masea. Tana
kamase-masea dalam bahasa Makassar berarti negeri yang miskin.(bersahaja) Tana
Kamase-masea, bukan berarti penduduk di dalam desa itu semuanya miskin.
Kehidupan masyarakat Tana Toa justru lebih banyak yang sejahtera dibanding
degan masyarakat yang ada di daerah perkotaan yang banyak menempati rumah
kumuh. Kamase-mase disini berarti, hidup dalam kesederhanaan dengan tetap
memelihara tradisi seperti yang dianut oleh nenek moyang mereka dulu.
Dalam
Pasang ri Kajang disebutkan Kupalabbakkangko
Tunaya Anne, Iami Tuna Kamase-masea (Saya berikan kehidupan, yakni kehidupan
yang sangat sederhana). Pada bagian lain disebutkan, Sikaliji Kamase-mase, takkulleami Nipinra (sekali hidup sederhana
tetap sederhana, tak bisa dirubah). Namun pada Pasang ri Kajang lainnyua,
memberikan kelonggaran pada setiap warganya untuk hidup serba ada (kaya) tapi
dengan syarat, jangan tinggal dalam kawasan Tana toa, harus diluar kawasan.
Dalam Pasang ri Kajang disebutkan : Punna
Erokko Kalumannyang, Assulu Pa’rasangangko ri tana Toa
(Kalau mau kaya,
keluar dari negeri Tana Toa).
Menurut
H. Mansyur Embas, salah seorang tokoh
masyarakat Kajang, Ketika Tumanurung
pertama datang (Bohe Mula Tau), ia memerintahkan pada warganya untuk selalu
hidup sederhana dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada disekitarnya.
Pasang ri kajang untuk hidup sederhana ini terus dilestarikan oleh Bohe atau
Ammatoa berikutnya, hingga saat ini, masih memegang teguh Pasang ri Kajang.
Itulah sebabnya, warga disekitar Tanah Toa, hidupnya sangat sederhana.
Mereka ikhas menerima apa adanya
pemberian dari Tu Rie A’ra’na (Allah
SWT).
Tak
ada warga yang berani menimbun kekayaan untuk dirinya atau keluarganya. Semua
kekayaan alam , terutama lahan
persawahan dibagikan kepada setiap penduduk untuk kehidupan mereka. Disamping
itu, ada namanya tanah Ulayat atau tanah
adat, yang penggunaannya diatur menurut
adat secara bergilir dari tiap kelompok dalam satu turunan. Misalnya dalam satu kelompok, ada lima bersaudara,
maka tanah ulayat tersebut, pada tahun
pertama diberikan kepada kakak pertama, pada perguliran berikutnya diberkan
lagi kepada adik-adiknya hingga seterusnya terus bergulir dalam kelompoik itu.
Namun untuk tanah pribadi, tetap dikerjakan oleh pemilik yang bersangkutan.
Dalam
kawasan tanah Toa, tak ada warga yang
hidup melarat, seperti yang banyak terjadi di kota. Mereka menempati rumah
penggung dengan mengambil bahan dari sumberdaya alam yang ada dalam kawasan
itu, seperti kayu, bambu, daun rumbia
untuk atap rumah. Pekerjaan mereka rata-rata bertani, beternak. Dari hasil
usaha mereka itu, duiguakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hasil
pertanian, seperti padi, jagung, palawija serta hasil hutan seperti langsat,
mangga, ramburtan dan coklat, banyak dijual ke pedagang. Setiap musim, hasilnya
bisa mencapai sampai puluhan juta. Hitungan kasar, mereka bisa hidup
bermewah-mewah, bisa membeli mobil sebagai salah satu ukuran bahwa mereka orang berada. Tetapi keinginan untuk hidup
mewah itu, tak ingin digunakan. Sebab mereka
takut pada Pasang ri Kajang, yakni hidup sederhana(Kamase-masea).
Kalaupun
mau hidup serba ada atau mewah sekalipun, itu bisa diakukan kalau tinggal diluart kawasan tanah Toa. Terbukti
banyak orang Kajang yang tinggal diluar kawasan Tana Toa, gaya hidupnya sama
seperti orang berada, karena mereka memiliki rumah batu yang besarnya cukup
lumayan, memiliki mobil, anak-anak mereka rata-rata tamat perguruan Tinggi dan
umumnya mereka bekerja pada berbagai instansi negeri maupun swasta. Gaya hidup
seperti ini dibolehkan menurut Pasang ri kajang, asal berada duiluar kawasan Tana
Toa.
Dalam
kawasan Tana Kamase-masea semuanya serba tradisional. Pada malam hari, mereka
hanya menggunakan lampu penerang yang terbuat dari biji kemiri atau getah karet yang ditumbuk bersama kapas. Tak
ada suara bising kendaraan dalam kawasan itu,. Yang terdengar hanya suara burung malam, seperti burung hantu,
kelelawar, suara monyet dan suara anjing
menggonggong.
Tiap
rumah memiliki lumbung pangan, yang disimpan diatas loteng. Jumlahnya tak
seberapa, tetapi cukup dikonsumsi untuk satu musim panen, selebihnya dijual ke
pedagang untuk memenuhi kebutuhan lainnya,
seperti membeli ikan, pakaian dan
bahan keperluan lainnya.Orang Tanah Toa sangat ramah. Setiap tamu yang
masuk, pasti mereka jamu dengan baik. Kalau pemilik rumah yang didatangi, terlihat cukup sibuk, maka tetangganya ikut berpartisipasi dengan
mengantarkan bahan makanan untuk tamunya
itu..
Ketika
penulis mendatangi rumah Puto Kabutung, waktu itu sudah jam 12.00.
Istri kabuton belum pulang dari sawah, maka tetangga lainnya mengantarkan
makanan ke rumah Kabuton untuk tamunya.
Selesai makan, barulah Kabuton banyak melayani tamunya untuk berbicara. Menurut
kabuton, bagaimanapun baiknya pembicaraan, kalau perut terasa
lapar, pasti pembicaraan berlalu begitu saja. Untuk itulah servis pertama yang
dilakukan adalah bagaimana tamunya merasa kenyang dan senang tinggal di
rumahnya.
Tidak
adanya listrik, jalan aspal maupun alat teknologi lainnya yang masuk dalam
wilayah Tana Toa, bukan berarti, pemerintah daerah setempat tidak memperhatikan warganya di Tana Toa. Daerah
sekitarnya ada listrik, ada jalan aspal
juga sebagaian memiliki mobil, tapi karena masyarakat dalam kawasan itu tetap
teguh pendidinnya terhadap Pasang ri Kajang untuk menerapkan pola hidup
kamase-mase, maka mereka pantang
merubahnya.
Kenapa
sampai mereka pantang memasukkan alat teknologi modren pada kawasan Tana Toa? Menurut Poto Palasa,
Ammatoa Kajang, masuknya alat teknologi itu akan merubah segalanya, terutama
cara hidup masyarakat. Mereka tak ingin
terkontaminasi dengan budaya luar yang dianggap merusak tatanan adat dan budaya di Tana Toa yang masih
memegang teguh Pasang ri Kajang.
Dengan teknologi, akan dapat merubah rumah penduduk
jadi rumah batu, lampu penerangan yang hanya terbuat dari kemiri dan kapas,
akan diganti dengan listrik dan yang paling mengkawatirkan lagi, masuknya alat
teknologi, akan merusak kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat Tana Toa.
Salah
satu pola kehidupan masyarakat Tana Toa
yang patut dicontoh oleh masyarakat di seluruh negeri ini, adalah mereka
mencintai produksi daerahnya sendiri. Mulai dari makanan seperti beras, dan sayur-sayuran serta makanan lainnya
kebanyakan diperoleh dari desanya sendiiri. Demikian juga pakaian hitam yang
hanya diproduksi dalam kawasan itu sendiri. Sebab anak-anak gadis mereka,
bila menginjak dewasa harus tahu menenun
kain sutera hitam.
Dalam
konteks nasional, masyarakat Indonesia perlu mencontoh warga Tana Toa untuk
tetap mencintai produksi dalam negeri. Hasil karya putra bangsa harus dihargai,
walaupun ada produk dari luar negeri
yang jauh lebih bagus, tetapi karena rasa cinta pada tanah air, mereka tetap
mencintai produk dalam negeri. Inilah yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Tana Toa. Menggunakan produk dalam
negeri, akan memancing warga lainnya untuk lebih kreatif meningkatkan usahanya.
Sebaliknya kalau terlalu
mengagung-agungkan produk luar negerri, industri dalam negeri pada akhirnya
akan mati, Inilah yang banyak dialami oleh pengusaha dalam negeri. Hingga tak
bisa berkembang. Padahal, pasar dalam negeri Indonesia yang penduduknya 260
juta sangat potensial untuk memasarkan berbagai produk dalam negeri. Mengapa pemerintah
tidak belajar pada masyarakat Tana Toa untuk tetap mencintai produksi dalam
negerinya.
Dengan berpegang teguh pada Pasang ri kajang,
bukan berarti warga tana Toa menutup diri bagi kedatangan tamu-tamu dari luar.
Justru mereka merasa senang didatangi, asal kedatangan mereka menghargai adat
dan budaya yang berlaku di Tana Toa. Kalau kedatangannya baik-baik, warga tana
toa akan menerima secara baik-baik pula, tapi kalau kedatanganya merusak, misalnya merusak hutan, menembak
burung yang ada dalam kawasan, maka warga Tana Toa akan cepat bertindak untuk
mengusir tamu itu atau bahkan ada
sebuah kekuatan magis yang bisa menimpa
perusak hutan yang bersangkutan, misalnya bingung mencari jalan keluar,
atau perutnya tiba-tiba sakit. Bagi masyarakjat tana Toa, Alam adalah bagian
dari kegidupan mereka, merusak hutan berarti merusak kehidupannya.
Karenanya mereka marah, alau ada tamu yang merusak alam sekitar.*
Penulis: Zainuddin Tika
Sumber : Lembaga Kajian Sejarah Budaya Sulawesi Selatan